La ilaha illaallah!
Aku benar-benar ingin menagis sekarang. Nodanya telah mongering. Berarti kopi itu ditumpahakan sejak semalam. Lebih tepatnya adalah lebih dari tangah malam, karena aku selasai belajar mungkin pukul satu. Entah lebih atau kurang.
Tapi siapa? Aku yakin, hanya beberapa orang yang masih sadar pada jam segitu. Dan semua orang itu kukeanal dengan baik. Mbak Aisyah dan Mbak Mia tak menyukai kopi. Lalu siapa?
***
Happy reading 😘
“Zila, kitab kamu tersiram kopi, benar?” Mataku melirik sekilas pada Mbak Mia. Anggukan adalah jawaban terbaik untuk saat ini. Moodku benar-benar kacau. Dan aku terlalu malas meladeni pertanyaan Mbak Mia yang pasti akan dibalasnya dengan cerocosan panjang lebar. “Kenapa bisa? Ceroboh banget sih!” Kan?
Tanpa jawaban aku melenggang pergi. Cercaan dari Mbak Mia hanya akan menambah moodku semakin rusak.
“Zila!” teriakannya tak mampu menghentikanku. “Sopan sekali anak itu. pasti kebanyakan makan micin. Habis ini makan mie instan aja deh.” Gerutuan anehnya masih sanggup kudengar.
Kakiku perlahan memasuki dapur pesantren putri. Satu-satunya tempat untuk membuat kopi. Aku menuju tempat sampah. Kejadiannya baru tadi malam. Jika tidak salah pasti ia akan membuang sampah disini. Terdekat dengan gas dan kompor. Jemariku mulai mengambil sampah plastic mie instan, menyingkirkan untuk kemudian menggapai beberapa pembungkus kopi instan. Kira-kira yang mana harus kuambil? Yang berwana cokelat tua ataukah merah? Bodoh!
Seharusnya aku cari tahu dulu kopi apa yang tumpah di kitabku? Dengan kesal aku membuang kembali beberapa pembungkus kopi dan mie instan. Tunggu … bukannya tadi pagi baru dilakukan piket bergilir. Dan aku sendiri yang membuang sampah ini? Ya Allah! Bagaimana aku bisa lupa? Bodoh kamu, Zila! Sekarang bagaiaman aku harus mencari bukti dimana lagi? Bagaimana caranya aku bisa tahu siapa yang yang menumpahkan kopi pada kitabku? Tubuhku merosot. Menghadap tepat pada sampah. Bau busuk sama sekali tak kuhiraukan. Aku ingin menangis. Kitabku telah rusak. Dan pelaku sama sekali tak kuketahui.
“Zila, kamu ngapain di sana?”
Brak!
Beberapa bungkus kopi berceran. Bahkan ada plastic bekas teh ikut menguncur. Sedikit mengenai bajuku. Ugh! Kenapa aku ceroboh sekali sih?
“Kamu ngapain sih, Zil?”
Mbak Aisyah mengulurkan tangan. Menjumputi sampah yang kececeran. Tangannnya yang lain kembali membangkitkan tempat sampah. Aku masih terdiam melihatnya. Tak berusaha membantu, padahal akulah yang membuat kerusuhan. Arg! Moodku benar-benar kacau.“Zil, bantuin aku kenapa?” Dahi Mbak Aisyah berkerut dalam. Ia menatapku heran. Sedangkan aku? Hanya membalas dengan pergerakan memunguti beberapa sampah. Setelah selesai, kami menuju kamar mandi untuk membasuh tangan dan bajuku yang sedikit terkena noda teh tadi.
“Kamu sebenarnya ngapain sih tadi?” Sepertinya Mbak Aisyah sudah tak mampu menahan rasa penasarannya. Aku mengembuskan napas berat. Menetralisir seluruh perasaan marah dan jengkel di dalam hati. Berusaha menekan untuk tidak terlalu kukeluarkan.
“Cari bukti buat tau siapa yang menumpahkan kopi pada kitabku.”
“Ketemu?” Aku menggeleng. Helaan napas panjanglah yang kudengar setelahnya. Sepertinya Mbak Aisyah sedang mencoba menyabarkan hatinya, apa ia juga merasa turut marah pada si pelaku?
“Ya udah. Sebaiknya kamu ikut Mbak ya … kamu dipanggil abah.”
APA!!! Tubuhku mendadak kaku tak bisa digerakkan. pandanganku lurus pada mbak Aisyah. apakah dia berbohong? kurasa tidak. Mbak Aisyah bukan tipikal orang jahil. Dia itu jujur, santun dan kalem. tidak neko-neko. Lantas sekarang aku mulai meragukan ketajaman pendengaranku? mungkinkah aku sudah tuli di usia dini? mungkin saja. Dan aku harus menanyakan kebenarannya kebada orang di depanku ini. "Siapa yang dipanggil Abah, Mbak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love You, Gus! (END)
General Fiction#rangk 3 in pesantren entahlah... banyak hal yang berubah.. banyak hal yang terlupakan. waktu menghapusnya. waktu menutupnya dan waktupun yang merubahnya. tapi kenapa? kenapa waktu tak merubah perasaanku atas dirimu? tak menghapusnya atau menc...