17 # Ibnu Hajar

10.9K 881 16
                                    

Aku mengamati barisan huruf-huruf arab itu. Mengembuskan napas panjang. Berulang kali aku sudah melakukannya. Namun rasanya masih saja sama. Sesak dan penuh tekanan.

Ada beban berat yang serasa menggunung di pundak. Pun dengan tekanan pikiran yang entah sejak kapan melonjak tinggi. Aku bukanlah tipikal orang yang mau berpikir terlalu keras. Namun situasi ini benar-benar memaksaku untuk terus memutar otak.

Ya Allah ... aku lelah!

Sungguh!

"Ssstt ... Zila jangan melamun. Nanti kesambet." Suara Andin terdengar berbisik di telingaku. Aku meliriknya. Dia duduk di sisi kanan bangkuku. Tangannya mengenggam buku tipis.

Buku apa itu?

Aku mengamatinya sekali lagi. Dan Andin menyadari arah fokusku. Dia mengarahkan sampul buku sepenuhnya. Budi daya bunga. Itulah judulnya. Aku mengernyit. "Untuk apa kamu membaca buku itu? Ini mau ujian. Lebih baik belajar yang mau keluar di UN nanti."

Decakan terdengar pelan. Andin melirikku sengit. "Biarin. Aku mau jadi petani bunga lulus nanti."

"Kalau mau jadi petani, buat apa sekolah sampai mondok segala? Toh kamu juga bisa belajar dari para tetanggamu."

Andin sepenuhnya menatapku. Tangannya melengkung di kedua pinggang. Sepertinya dia kesal. Apa kata-kataku keterlaluan?

"Lalu buat apa kamu masih belajar fathul qorib yang nggak ada kaitannya dengan ujian? Terus untuk apa kamu masih mempelajarinya padahal kamu udah ditunjuk jadi pembaca kitab? Kamu udah jago, kan?"

Aku mengernyit. Apa-apaan sih Andin nanya-nanyain begitu. Memang benar sih sekarang jajaran kalimat itu memang tak begitu sulit untuk kubaca. Aku pun sudah bisa mengartikan kalimat-kalimat itu dengan bahasaku sendiri. Memahami arti yang sesungguhnya. Tidak seperti dulu, ketika melihat kitab di depanku ini--aku pasti akan segera menutup dan menyingkirkan lalu mengganti dengan Novel pinjaman dari teman.

Tapikan bukan berarti aku jago terus harus melepaskannya. Nggak tau aja kalau setelah terpilih malah bebanku semakin sulit. Hish! Gemas juga.

"Aku masih butuh bimbingan kali, Ndin. Ya kali aku langsung lepas tangan cuma karena udah terpilih."

"Nah!" Andin menunduk kearahku. Berdiri tiba-tiba. Aku bahkan nyaris terlonjak melihatnya seperti itu. Ada apa sih dengan anak ini?! "Itu juga yang aku pikirkan. Aku memang ingin menjadi petani. Tapi bukan berarti aku harus merendahkan pendidikan. Semakin tinggi ilmu yang kita miliki, pasti pekerjaan apapun akan terasa mudah. Aku nggak peduli meskipun udah lulus aliyah kemudian boyong dan jadi seorang petani. Yang penting, aku udah punya ilmunya."

Dia menjelaskan panjang lebar. Tak sadar jika diperhatikan banyak orang. Memang sih dia tak meninggikan suaranya, namun tingkahnya itu lho ... bar-bar banget!

"Duduk, Ndin. Banyak yang ngelihat." Andin menoleh. Mengamati sekitar. Sekejap kemudian dia cengengesan dengan menggaruk rambutnya. Dan duduk perlahan.

Please deh! Jangan malu-maluin! Pengen banget mendorong kursinya kebelakang supaya dia langsung tersungkur aja lalu kutinggal lari. Hih!

"Zila, kamu kok nggak bilang kalau lagi dilihatin orang?" tanyanya tanpa dosa. Ingin sekali kojedotkan kepalanya pada permukaan meja atau buku itu. Mungkin biar normal kembali otaknya.

"Kalau aku tidak bilang, kamu pasti belum duduk sekarang, Ndin."

Andin hanya cengengesan. Aku kembali berfokus pada kitab fiqh ini. Melirik arloji, tak terasa waktu istirahat tinggal dua puluh menit. Padahal belum banyak yang aku pelajari. Ini semua gara-gara Andin. Lima menit berhargaku jadi hangus sia-sia.

Love You, Gus! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang