4. Pulang

7 0 0
                                    

Tepat pukul 1 dini hari, Egi mengantar Diandra pulang. Tapi tidak ke rumah Vania, melainkan ke rumah Diandra sendiri. Padahal Diandra lihat garasi Vania sudah terisi mobil, itu artinya Vania sudah pulang.

"Ngapain kesini? Kan nggak ada orang," tanyanya.

Tanpa disuruh, Diandra sudah turun dari motor, begitupula Egi yang juga lekas melepas helmnya.

"Akhirnya anak Mama pulang," sambut Mamanya yang baru muncul dari balik pintu.

"Gimana? Udah selesai kencannya?" Tanyanya lagi.

"Hehe, udah, Tante. Makasih," jawab Egi sopan.

Seharusnya Diandra sudah menyadari ini dari awal. Tidak mungkin Mama tiba-tiba saja membuatnya pulang larut malam. Pasti mereka berdua bersekongkol.

"Iya sama-sama,"

"Nanti aku jemput jam 9, ya?"

Egi tampak memastikan. Diandra mengangguk saja. Benar juga, ini sudah hari minggu, pemilihan kata "nanti" itu tidak ada salahnya, tapi aneh saja jika itu diucapkan pada malam hari.

"Iya,"

- - -

Benar saja, Egi menjemput Diandra tepat pukul 9, tidak lewat dan tidak kurang. Mereka menyusuri desa, sampai tidak lama tiba di sebuah Panti Asuhan.

Egi menjelaskan dengan rinci, Diandra mendengarkan dan menarik kesimpulan. Bahwa uang hasil perkusi itu dikumpulkan, lalu didata setiap satu bulan. Ada yang dimasukkan ke dalam uang kas Blast, dan ada juga yang untuk dibagi bersepuluh. Memang hasilnya tak seberapa, tapi Egi tetap mengumpulkannya dan setiap 3 bulan sekali akan datang ke Panti Asuhan Kasih ini untuk memberikan hak mereka.

Seharusnya Egi datang bulan kemarin, tapi ia menundanya agar bisa datang hari ini bersama Diandra. Ketika sampai di halaman depan, mereka lekas disambut oleh banyaknya anak kecil yang-- terlihat --bahagia.

"Mas Egi?! Benaran Mas Egi?" Seorang lelaki kecil menghampiri mereka.

"Iya, Do. Ibu ada?" Egi kembali bertanya pada-- Edo, begitu namanya disebut.

"Bu! Ibu! Mas Egi datang lagi!" Teriaknya sambil berlari ke dalam.

Egi dan Diandra mengikutinya dari belakang, berjalan dengan santai.

"Gi, Terakhir datang kamu belum lulus SMP. Sekarang sudah SMA, to?"

Egi menyalami tangan wanita tua itu, tampak seperti pengasuh juga pemilik yayasan disini.

"Enggeh, Bu,"

Diandra turut serta menyalaminya, tersenyum dan menunjukkan rasa hormat.

"Pacarmu, Gi?"

"Bukan, Bu,"

Diandra mengerutkan kening. Tak percaya. Lantas malam tadi itu apa? Menyebalkan sekali.

"Dia perempuan yang akan saya bagi tentang banyak hal,"

- - -

Sepulang dari Panti Asuhan, mereka pulang. Pulang ke rumah Egi. Diandra terus mengoceh penasaran dengan rumah Egi, terus saja mengganggu lelaki itu menyetir dengan berteriak tanpa peduli jika di dengar orang lain. Jadi dengan sangat terpaksa Egi menurutinya.

"Kamu anak orang kaya?"

Terlihat jelas dari depan sini. Rumah dengan 2 lantai yang megah, pekarangan yang luas dengan taman bunga, dan garasi yang berisi 2 mobil sedan dan avanza. Tentu saja, rumah dan barang-barang itu tidak murah. Berbeda dengan rumah Diandra yang minimalis dan tidak terlalu besar.

Tapi bukan, bukan maksud Diandra untuk matre. Hanya saja jika Egi anak orang kaya, bukankah mudah untuk meminta uang pada Mama dan Papanya lalu disumbangkan? Kenapa dia harus bersusah-susah begadang tiap malam minggu?

"Uang mereka ya uang mereka, uangku ya uangku,"

Terjawab sudah pertanyaan Diandra.

Egi memimpin langkah, Diandra mengikuti di belakangnya. Saat pintu dibuka, terlihat 2 lelaki kecil dengan kisaran usia 8 tahun sedang bermain playsation.

"Inget rumah, Mas?" Sindir salah satunya.

Bahkan anak sekecil itu bisa berkata sebegitu sarkasnya. Memangnya sudah berapa lama Egi tidak pulang?

Abaikan anak lelaki tadi, Egi tidak tertarik untuk menjawabnya. Dia melempar jaketnya ke sembarang tempat, dan mulai melempar tubuhnya ke sofa.

"Mau minum apa, Mas?" Tanya seorang wanita renta-- yang mungkin pembantunya.

"Kamu suka mangga?" Lemparnya pada Diandra.

"Suka,"

"Jus mangga satu,"

Wanita itu hanya menggangguk, kemudian berlalu meninggalkan mereka.

"Ngapain sih berdiri aja? Duduk sini," Egi menepuk sisi lain sofa panjang itu.

Diandra tidak mengerti ada apa disini, rasanya seperti canggung.

"Tadi siapa?"

"Budhe Sumi, pembantu disini,"

"Bukan, maksudku, adik itu?"

Sofa mereka sangat jauh dari ruang PS itu, belum lagi suara dari game itu sepertinya disetel dalam mode volume penuh. Pasti mereka tidak bisa mendengar percakapan Egi dan Diandra.

"Adikku,"

"Namanya siapa?"

"Arga,"

Diandra terkejut, bagaimana bisa Egi tidak menceritakan kalau dia punya adik selucu itu. Dirinya hendak berdiri, menyapa Arga dan mengakrabkan diri, namun satu lengannya ditahan oleh Egi agar terduduk kembali.

"Ngapain?"

"Nyapa adik kamu,"

"Gak usah," nadanya datar.

Jus mangga buatan Budhe Sumi baru saja sampai. Diandra tersenyum dan berucap "terimakasih", lalu diam, tidak berani melawan Egi.

"Ada ataupun tidak ada aku dirumah ini, itu tidak merubah apapun," Egi angkat bicara.

"Berapa lama kamu nggak pulang?"

"Aku pulang," elaknya.

"Berapa lama?!" Diandra menegasi pertanyaan pertamanya.

"Dua minggu,"

Itu cukup lama untuk ukuran seseorang yang masih punya rumah.

"Kenapa?" Diandra menatapnya. Menunggu jawaban.

"Nggak ada yang butuh aku, Sayang," dihindarinya tatapan itu.

"Aku butuh kamu," Diandra meyakinkannya.

"Tapi kamu nggak dirumah ini,"

Egi menatap lurus ke depan, tidak peduli perempuan di sampingnya ini sedang geram atau bagaimana.

"Mama sama Papa nggak pernah pulang. Mereka ada di luar negeri. Dan bahkan aku nggak peduli mereka bakalan pulang atau enggak,"

"Tapi Arga butuh kamu, kan,"

"Siapa bilang?! Hidupnya lebih baik tanpa aku. Dia lebih milih Budhe Sumi untuk ngajarin PR atau ngambilin raport. Dan dia juga lebih milih anaknya Budhe Sumi untuk diajak main,"

"Mungkin Arga hanya perlu waktu,"

"Waktu itu diciptakan, Di, bukan ditunggu. Berkali-kali aku mencoba banyak hal. Tapi aku tidak menemukan apapun. Lantas apa yang diharapkan dari seorang aku?"

Diandra merangkulnya dengan sabar, menyenderkan kepala Egi agar nyaman di bahunya.

"Kata orang, 'kita harus sengaja pergi agar dicari'. Aku sudah berkali-kali pergi, Di. Tapi nyatanya, pepatah itu salah,"

"Kamu tidak perlu pergi kemanapun, Sayang. Aku selalu mencarimu. Lantas apa yang diharapkan dari seorang kamu? Tidak ada, selain, ketabahan dan keputusanmu untuk tetap hidup,"

Kurang tabah apa aku, Di? Bahkan sebenarnya aku tidaklah lebih dari seorang anak yang tidak diinginkan.

- - -

Berulang KaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang