Tak ada yang mendambakan akhir perjalanan tragis.
Sehingga tak ada seorang pun menantikan goresan penanya yang penuh lara. Namun, apa yang menarik dari sebuah dongeng? Seperti menyibak tirai yang mengusut; meski gumpalan hitam pekat itu tetap mengik...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mereka bilang gadis itu buta, dan juga gila.
Para perawat biasa memanggilnya Nona C. Kesehariannya melamun terus, dalam kamar kecil yang pengap dan baju lengan panjang kedodoran. Terkadang akan menangis tersedu-sedu sambil mendekap lututnya, tapi ia tidak berisik. Malah, tangisannya sangat tenang. Mengalir diam-diam tanpa membebani orang lain.
Mungkin cuma aku, yang rela menatap wajah cantiknya setiap hari. Mungkin cuma aku, yang berharap kelak aku bisa menjadi Pangeran untuknya. Dan, mungkin cuma aku, yang tergila-gila padanya. Lantas teman-temanku mengejek, apa yang akan aku lakukan demi gadis itu?
Wajahnya memang terlalu putih dan pucat, kesannya menggambarkan pribadi yang dingin. Rambutnya panjang dan lepek. Tubuhnya kecil kurus. Bagiku, seperti itu saja sudah cantik. Aku tahu, sangat tahu malah, jika ia sama sekali tidak punya gairah untuk hidup. Namun, aku ingin membuatnya tersenyum. Sekali saja.
Kami sama-sama penghuni rumah sakit jiwa di belokan menuju ke Hutan Perakㅡsetidaknya aku tahu karena pernah berolahraga di luar. Tempatnya terpencil? Tidak juga, dan fasilitasnya bagus. Aku berada di sini selama empat tahun, sejak usiaku sepuluh. Sementara dia? Aku kurang tahu karena tiba-tiba saja kamar kami bersebelahan.
Sejak saat itu aku selalu mengintip di balik pintu, memperhatikannya diam-diam dan tersenyum samar. Berbeda dengannya, aku berkawan banyak di sini. Mereka menyenangkan dan selalu mengisi hari-hariku. Aku sedih karena dia terus mendekam di kamarnya. Dia ... pasti kesepian.
Sebentar lagi aku akan pulang karena otakku sudah hampir stabil. Sebenarnya aku ingin lebih lama berada di sini, walau kebanyakan orang tidak betah. Itu kan mereka, bukan aku. Bagaimana aku akan pulang sementara aku sendiri lupa siapa keluargaku?
Malam ini setelah sesi terapiku selesai, aku kembali mengintip. Dia menangis. Ada perasaan sesak di dadaku yang turut memikul lara. Sebesar itukah beban hidupnya? Aku tidak bisa membiarkannya sendirian terus. Setidaknya aku harus menghapus rasa kesepiannya.
Kuberanikan diri melangkah masuk.
Dan untuk pertama kalinya, aku mengajaknya berbicara. []
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.