Pernah dengar cerita Tuan?
Tentang puannya yang begitu cantik
Tentang cintanya yang begitu indah
Tentang hidupnya yang begitu bahagia
Tapi, ia lupa kalau pada akhirnya,
puan pergi lebih duluSampai-sampai,
hidupnya berakhir tragisApa kau pernah mendengar ceritanya?
Cinzel membiarkanku mengajarinya banyak hal. Berkat alasan itu, aku jadi lebih sering mengunjungi kamarnya. Kalau ketahuan perawat, aku bisa diseret ke luar. Sehingga Cinzel memberi tahu jadwal pertemuannya dengan dokter, selanjutnya aku sesuaikan dengan jadwal rumah sakit (seperti kapan perawat memandikan atau membawakan makanan pasien).
"Aku senang belajar matematika," ucapnya, begitu bisa menghitung lewat jari. Usianya tiga belas, satu tahun di bawahku. Rupanya Cinzel anak yang pandai, dan aku suka dia pandai. Karena otak akan bekerja untuk menyerap apa yang diberikan, bukan membiarkannya semakin mengeluarkan kortisol toksik.
Ia masih suka menangis, tapi karena ada aku, Cinzel menangis di bahuku. Dan dia merasa lebih baik. Aku senang dia tidak malu jika menangis di depanku. Dokter Jess bilang, jika demikian maka orang tersebut menerima keberadaanmu. Kuharap aku bisa menjadi Pangerannya lebih lama.
"Apa kamu bisa menyanyi?" tanya Cinzel.
"Tidak bisa, suaraku jelek."
"Menurutku bagus, ah." Ia mencibir. "Aku ingin dengar Certa menyanyi, soalnya aku sering bermimpi ada seorang laki-laki menyanyikan sebuah lagu untukku."
"Suaraku jelek, nanti telingamu sakit."
"Tapi di mimpi, suaranya merdu sekali. Cinzel jadi ingin dengar."
"Terus yang di mimpi itu kan bukan aku, aku adanya di sini."
Kulihat Cinzel mengulum bibirnya. "Menurutku itu kamu, si Certa hehe."
Sebenarnya suaraku tidak buruk-buruk amat, sih. Aku malu, soalnya Cinzel selalu menganggap serius apa yang aku ucapkan. Makanya Cinzel itu cerdas dan mudah belajar. Aku memang ingin melakukan apa saja supaya dia tersenyum, tapi aku tidak punya kepercayaan diri dalam menyanyi.
"Kapan-kapan saja," kataku, menolak secara halus.
"Kamu payah, ah." Cinzel memeluk gulingnya, suaranya serak. Aku tahu dia kecewa. Detik berikutnya, sesuatu yang berkilauan mengenang di matanya. Dan, Cinzel tidak bisa menahannya.
Aku merasa bersalah, karena aku kan tidak ingin Cinzel merasa sedih. Tapi aku membuatnya sedih, makanya dia menangis. Kupeluk dia dan tubuhnya yang kurus juga memelukku. Selalu seperti ini; tentang Cinzel yang menangis begitu deras dan gemetaran hebat. Aku juga pernah merasakan, tapi ada Dokter Jess yang menenangkanku. Kalau dipikir-pikir, itu juga menyesakkan.
Bodoh. Seorang Certa juga rapuh, tapi ingin membahagiakan orang lain?
"Maaf," bisikku pelan. []
KAMU SEDANG MEMBACA
The End of Fairytale
FantasyTak ada yang mendambakan akhir perjalanan tragis. Sehingga tak ada seorang pun menantikan goresan penanya yang penuh lara. Namun, apa yang menarik dari sebuah dongeng? Seperti menyibak tirai yang mengusut; meski gumpalan hitam pekat itu tetap mengik...