Aku menceritakan kedekatanku dengan Cinzel pada Dokter Jess. Seperti biasa, dia tampak begitu antusias. Awalnya kukira dia akan marah karena aku memasuki kamar orang lain tanpa izin (dan para perawat pun pasti menyeretku ke luar). Meski ini di luar jam konselingku, dia mau mendengarkanku dan aku senang karenanya. Mulutku tak bisa berhenti meracau, dari A sampai Z kuceritakan segala-galanya.
"Kenapa kamu ingin menghibur Cinzel?" Ia bertanya lembut.
"Saya merasa sedih ketika melihatnya sedih." Kepalaku menunduk, memikirkan sepertinya alasanku selalu sama.
"Karena Cinzel cerminan diri kamu di masa lalu?" tebak Dokter Jess.
Aku mengigit bagian bawah bibirku, dan kurasakan gumpalan hitam menusuk dadaku. Sesak. Lalu, kepalaku seperti dihantam kapak raksasa. Dokter Jess menyadari hal itu, ia menggeser tempat duduknya menjadi di sebelahku dan berkata semuanya baik-baik saja, aku bisa melaluinya.
Dokter Jess baik, dia orang dewasa favoritku yang pernah ada. Kuharap dialah ibuku, walau aku tidak tahu siapa ibuku (lebih tepatnya telah lupa). Semenjak aku ada di sini, tidak ada yang datang berkunjung untuk menengokku. Aku merasa putus asa di tengah "kehilangan ingatan" ini dan "sakit jiwa" yang menggerogoti.
Sampai aku bertemu Dokter Jess, wanita itu hebat dalam balutan jas putih. Beliau orang yang sabar dalam mengurusku. Dan meskipun Dokter Jess seorang psikiater yang bisa menyadari situasi, dia tidak pernah memaksa walau tahu aku berbohong. Ia bilang, "Saya ingin kamu menceritakan semuanya ketika kamu sudah siap." Makanya, aku amat sangat menyayanginya dan percaya padanya.
"Sekarang pergilah temui Dokter Pauly," suruhnya tersenyum hangat.
Aku mengedipkan mataku. "Untuk apa?"
"Saya rasa kamu harus bertemu dengannya."
Oh ... karena itu. Ada maksud lain, namun aku membungkam diri. Tidak, bukannya aku tidak menyukai Dokter Pauly. Semua dokter di sini baik dan begitu peduli pada pasiennya. Aku hanya merasa ....
Dokter Jess masih tersenyum, aku tahu dia belum menyelesaikan perkataannya. "Meskipun kamu ingin membantu orang lain, tetaplah pikirkan dirimu sendiri. Tetaplah menjadi seorang Certa yang kamu kenal." []
KAMU SEDANG MEMBACA
The End of Fairytale
FantasyTak ada yang mendambakan akhir perjalanan tragis. Sehingga tak ada seorang pun menantikan goresan penanya yang penuh lara. Namun, apa yang menarik dari sebuah dongeng? Seperti menyibak tirai yang mengusut; meski gumpalan hitam pekat itu tetap mengik...