Sudah kuputuskan.
Baiklah, Certa. Katakanlah jika aku terlalu naif, tetapi mau bagaimana? Jauh di lubuk hatiku yang terdalam, aku membutuhkan Cinzel; dia menyeretku sudah sejauh ini dan aku tidak tahu apa-apa? Jangan gila.
Jadi, aku akan menurutinya. Mendengar apa itu? Ketukan pintu bernada? Ya, apa pun itu kuharap aku bisa mendapat penjelasan.
Aku bahkan tidak tahu apakah ini merupakan janji atau bukan, yang jelas sebelum jam sembilan malam aku harus masuk ke kamarnya dan memastikan Cinzel kalau aku memang datang. Lagi pula, bukankah aku seharusnya senang? Ini Cinzel hei, gadis yang kusukai.
Begitu tanganku mencapai gagang pintu, sekujur tubuhku menegang. Harusnya aku tidak perlu takut. Aku hanya takut jika aku merasa sedih kembali dan hari-hari suram itu menyertai. Bahkan, sekarang pun, aku belum sepenuhnya merasa baik-baik saja.
"Certa, kamu ada di sana." Suara Cinzel memanggil dari dalam.
Sontak, aku merinding. Walau yah, itu hal yang wajar bukan? Tidak apa-apa Certa, tak akan ada hal buruk yang terjadi.
Aku membuka pintu kamar Cinzel perlahan. Tidak ada yang berubah, ada Cinzel yang duduk di atas kasurnya sembari memandang ke arah pintuㅡke arahku. Ia tersenyum, dan aku merindukan senyum itu.
Kamu ini kenapa, Certa?
"Maaf untuk yang kemarin," ujar Cinzel. "Apa kamu bisa mengingat perkataanku sebelumnya?"
"Bayaran mengingat rasa sakit setelah kebahagiaan di dalam mimpi?" tebakku, yang sudah dipastikan seratus persen benar saat Cinzel mengangguk. "Lalu, kenapa kamu mengajakku ke mimpi itu? Bukankah berarti aku akan tetap merasa sakit setelah bahagia di sana? Karena alasan itulah kamu berada di sini kan, Cinzel?"
Baiklah, Certa. Aku memang keterlaluan. Seharusnya aku tidak berucap demikian, meski Cinzel membuatku seperti ini. Dia tidak salah, yang salah itu adalah sesuatu di balik matanya, atau mimpi, atau apalah yang bisa meledak.
Jawaban Cinzel sungguh tidak kuduga: "Karena aku tidak ingin sendiri. Certa yang kulihat adalah Certa berhati baik, menyukai seorang gadis bernama Cinzel. Mataku memperlihatkan semuanya. Dan aku tidak ingin sendiri, tetaplah menjadi Pangeranku." Ia menangis, amat pilu. Meski aku tahu Cinzel itu sakit dan tidak mudah melaluinya, tapi kenapa harus rela menukarkan kebebasan?
Tanpa aku sadari, jam sembilan malam telah tiba. Tubuhku kembali merinding kala mendengar ketukan pintu bernada (yang entah dari mana) secara halus, kemudian sedikit demi sedikit bertambah cepat secara teratur. Kulihat Cinzel masih bergeming, tidak menunjukkan tanda-tanda merespons suara ketukan pintu itu.
Sepertinya aku telah tersihir, sebab aku hampir tidak sadar sedang bernapas dan berada di sini. Lantas, titik-titik biru muda bercahaya berterbangan semakin menyihirku.
Cinzel menyatukan tangannya di depan dada, pun segera berucap, "Wahai kekuatan bunga eldeweis yang jauh dan luas, dengarlah panggilanku dan datanglah.
"Namaku Cinzel de Zoyard, jadilah kekuatanku untuk mengantarkanku pada bunga tidur."
Suaranya lembut, seperti alunan melodi. Telingaku menyukai suara itu. Titik-titik biru muda bercahaya semakin terang benderang di sekitarku. Detik setelahnya, aku tidak sadar apa yang telah terjadi. []
KAMU SEDANG MEMBACA
The End of Fairytale
FantasyTak ada yang mendambakan akhir perjalanan tragis. Sehingga tak ada seorang pun menantikan goresan penanya yang penuh lara. Namun, apa yang menarik dari sebuah dongeng? Seperti menyibak tirai yang mengusut; meski gumpalan hitam pekat itu tetap mengik...