Tak ada yang mendambakan akhir perjalanan tragis.
Sehingga tak ada seorang pun menantikan goresan penanya yang penuh lara. Namun, apa yang menarik dari sebuah dongeng? Seperti menyibak tirai yang mengusut; meski gumpalan hitam pekat itu tetap mengik...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Teman-temanku bertanya.
Pertanyaan membosankan seperti, (a) bagaimana kabarku? (b) apa yang terjadi denganku? (c) apa aku butuh bantuan? (d) lalu serpihan motivasi untuk menguatkanku. Aha, aku tahu teman-temanku jelas khawatir. Tetapi entah mengapa, aku seperti tidak membutuhkan itu semua.
Terapi yang kulakukan bersama Dokter Jess menjadi lebih sering guna menstabilkan kondisiku. Untuk yang satu ini, aku tidak bisa berkata-kata. Jika dulu sewaktu berumur sepuluh tahun aku sangat sulit diajak terapi (bahkan berkata pun enggan), sekarang meskipun dalam kondisi yang sama aku tidak menolak Dokter Jess sambil membentak-bentak. Aku tidak punya tenaga untuk melakukannya. Aku tahu terapi itu sangat berguna, tetapi, aku merasa kosong.
Dibanding beberapa hari yang lalu, kambuhku tidak separah sebelumnya. Aku baik-baik saja, dan aku menyakini itu sepenuh hati. Bahwa aku memang baik-baik saja.
Hanya saja aku tidak punya keberanian lebih untuk pergi ke luar, menyapa teman-temanku, ataupun menghirup udara segar. Aku selalu mengintip di balik jendela, jauh di sana terselip pemandangan Hutan Perak. Dokter Jess selalu melarang kami pergi sana (tentu saja). Padahal jika ditilik lebih dalam, Hutan Perak itu indah dan mengagumkan. Kurasa, Hutan Perak bisa menjadi banyak hal terkenang di memoriku.
Jika Dokter Jess bersedia menemaniku, aku pasti akan memintanya setiap sore, sungguh.
Tetapi, aku hanyalah Certa, si serpihan jiwa tak berdaya.
Terlalu lama terlena dalam jurang hitam, tanpa sadar aku menciptakan suara-suara yang kubuat sendiri, dengan maksud tak lain sebagai perantara menyalahkan diri sendiri. Kuharap aku bisa merasa lebih baik, si serpihan jiwa tak berdaya.
Kenapa kamu berpikir seperti itu?
Kenapa? Kamu tanya kenapa? Sudah jelas kanㅡ
Itu hanya ada di kepalamu.
Kemudian, aku sadar, suara itu bukan tercipta di kepalaku, melainkan aku mendengarnya langsung di telinga. Ah … ini bukan delusi kan? Semakin lama aku semakin tak waras saja, dan aku muak.
Sama sekali tidak seperti itu.
Baiklah, baiklah. Tidak bisakah aku menikmati masa kacauku sebentar saja? Ah tunggu, sudah lama juga kan. Jadi, sekarang aku harus 'bertarung' dengan suara itu?
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk ke luar kamar, suara itu tetap tidak sirna. Aku pergi untuk mencari Dokter Jess, meminta obat penenang atau mungkin obat tidur supaya aku bisa terhindar dari si suara aneh. Ya! Katakanlah Certa yang sekarang sedang lari dari masalah.
Namun yang kulihat di ujung belokan adalah … si gadis putih pucat, berdiri mematung di sana. Hatiku bergejolak, kenapa aku harus bertemu Cinzel?
Dia tersenyum lembut padaku, menguraikan debu-debu kebahagiaan yang meluap.
"Lama tak berjumpa ya, Certa." []
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.