Tak ada yang mendambakan akhir perjalanan tragis.
Sehingga tak ada seorang pun menantikan goresan penanya yang penuh lara. Namun, apa yang menarik dari sebuah dongeng? Seperti menyibak tirai yang mengusut; meski gumpalan hitam pekat itu tetap mengik...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jantungku berdetak lebih cepat.
"H-hai?" Sapaanku yang pertama tak digubrisnya. "Apa aku mengganggumu?" sambungku, berusaha menciptakan kesan akrab.
Akhirnya gadis itu mengangkat kepalanya, menatap ke arahkuㅡatau mungkin berdasarkan asal suara. Dia ... tak mempunyai kehidupan. Auranya sendu, seperti vinyet bernuansa abu; ada warna di sana namun suram. Tapi bisa melihatnya sedekat ini aku merasa senang. Dan apakah sebentar lagi aku akan menjadi Pangeran untuknya?
"Siapa?" Ia berucap. Suaranya lembut meski serak. Air matanya masih menetesㅡaku ingin mengusapnya. Dokter Jess bilang, sedih dan menangis itu wajar. Tapi alangkah baiknya jika kita bisa menenangkan orang yang sedang berada di posisi tersebut.
"Namaku Certa," kataku, "dan kamar kita sebelahan."
"Cer... ta," ulangnya, seperti mengeja. "Siapa itu Certa?"
"Certa itu aku, dan aku ada di dekatmu sekarang," jelasku. "Ini kamarmu, dan kamar kita sebelahan. Aku masuk ke kamarmu. Apa artinya itu? Kuharap kita bisa menjadi teman." Aku tersenyum meski kutahu dia tidak bisa melihatnya. "Siapa namamu?"
Ia mengusap air matanya, laluㅡsepertiㅡmemperhatikanku cukup lama. Matanya memang buta, pandangannya kosong. Biasanya teman-temanku akan memekik ketakutan, tapi aku menyukai sepasang mata kelamnya.
"Cinzel."
Ternyata dia memang Nona C, dan aku tidak bisa berhenti tersenyum. "Namamu cantik. Salam kenal, Cinzel."
"Namamu juga, nama kita sama."
"Apanya yang sama?"
"Sama-sama berawalan huruf C." Lalu, sebentar saja dia tersenyum. Ah manisnya. "Kenapa kamu ke sini?"
"Supaya kamu tidak sedih."
"Kenapa kalau aku sedih?"
"Soalnya nanti aku jadi sedih."
Lagi-lagi ia mengangkat bibirnya, lantas cepat-cepat kutambahkan, "Tuh kan, aku senang kalau kamu senyum."
Detik berikutnya, Cinzel tertawa sambil menutup mulutnya. Wah, aku berhasil menghiburnya. Seperti ini saja ... aku ingin Cinzel tidak merasa sendiri. Dokter Jess bilang, semua orang berhak bahagia. Dan Cinzel tidak bahagia karena atmosfer hitam menghantuinya terus.
Maka akan kubuat Cinzel mencicipi kebahagiaan. []
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.