"Kak, pengen deh, disayang sama Ayah. Kayak Kakak."
Ucapan Darel yang tiba-tiba sontak saja membuat Delon menghentikan aktivitasnya. "Jangan ngomong gitu."
"Terus, ngomong apa?" balas Darel polos.
Delon hanya menatapnya dengan malas. Adiknya benar-benar polos, sangat berbeda dengan dirinya yang berandal dan selalu bicara sekenannya. "Terserah, deh."
Hening beberapa saat, sampai akhirnya suara Darel kembali memecah keheningan. "Kak! Ada bintang," kata Darel sambil menunjuk langit. Ia bangkit dan berjalan menuju pagar balkon.
"Ini anak, gak pernah lihat bintang atau gimana sih," gumam Delon.
"Bintangnya beda dari yang lain. Dia paling terang. Itu pasti Ayah."
Darel mulai berimajinasi, saat itu pula Delon ingin pergi meninggalkan adiknya. Bukan karena tak sayang, tetapi jika Darel sudah tenggelam dalam imajinasinya ia akan lebih banyak mengoceh. Tentunya, ocehan itu melenceng jauh dari topik awal.
"Nah, di kanannya itu Bunda dan di kirinya itu Kakak," lanjut Darel.
Delon melangkah menuju adiknya. Sedikit tertarik dengan imajinasinya kali ini. Mungkin Darel memiliki keinginan terbang ke bintang dan mengajak keluarganya. "Terus, lo, di mana?"
Darel tersenyum sambil menatap kakaknya, sedikit mendongak mengingat tingginya tak seberapa. "Aku? Gak tahu."
Lagi-lagi Delon menatap adiknya. Darel memang mmenyenangkn, selalu menjadi mood maker-nya di rumah. Namun, ada kalanya anak itu bertingkah menyebalkan, atau mengatakan hal-hal bodoh seperti ini.
Delon kembali masuk sambil berkata, "Lanjutin imajinasi lo, gue udah gak tertarik."
***
Sekolah masih nampak sepi. Ya, karena jam baru menunjukkan pukul 06.15, tetapi Darel sudah sampai dan duduk manis di tempatnya. Bukan karena dia belum mengerjakan PR ataupun piket. Dia berangkat pagi, karena sedang tidak ingin sarapan di rumah, apalagi ayahnya baru saja pulang dari luar kota.
Darel menghela napas panjang. Dia selalu berpikir kapan ayahnya akan memperlakukannya seperti Delon. Dia juga ingin. Kalau dibilang iri, itu pasti. Namun, apa yang bisa anak itu lakukan selain diam dan berdoa pada Tuhan.
Baru saja Darel ingin menidurkan kepalanya pada meja kelasnya, seseorang datang dan langsung membalik kursi yang berada di depannya. Kalau dari bau-baunya sih, Darel sudah sangat hafal di luar kepala.
Yaps! Siapa lagi kalau bukan kakaknya. Bau parfum milik kakaknya itu khas dan menenangkan, membuat Darel betah dan selalu ingin berlama-lama dengan sang kakak.
Darel menatap Delon dengan polosnya. "Ini apa?" tanya Darel memunjuk Tupperware berwarna biru yang tadi Delon berikan padanya.
"Makan!" ucap Delon memerintah.
"Tapi, kak, aku-"
"Makan! Gue nggak nerima penolakan macam apa pun," tegasnya dengan nada yang sedikit tinggi membuat Darel langsung menunduk diam. Dia tidak suka dibentak dan baru saja Delon berkata dengan suara yang menyerupai bentakan.
Bodoh!
Delon merutuki mulutnya yang terkadang tidak bisa mengontrol intonasi suaranya. Delon menghela napas pendek, menatap dalam pada Darel yang masih menunduk dan asik meremat jari-jarinya.
"Dimakan, ya. Gue tau lo belum sarapan. Makanya tadi gue nyuruh Bunda buat bikinin bekal buat lo."
Perlahan Darel menaikkan padangannya guna menatap sang kakak yang kini sedang menatapnya dengan lembut. Darel menganguk tangannya membuka tutup Tupperware dan mulai memakan bekal yang Delon bawakan.
"Gitu dong, ini baru adik gue." Delon tersenyum mengusak pelan rambut Darel.
"Kak, kakak nanti ada latian futsal nggak?" tanya Darel di sela-sela makannya.
Delon diam, berpikir sebentar untuk mengingat-ingat jadwalnya hari ini. "Ada. Kenapa? Mau ikut?"
Darel menggeleng dengan pipi menggembung karena mulutnya masih dipenuhi makanan. Membuat dirinya semakin terlihat gemas di mata siapa pun yang melihatnya.
Setelah berhasil menelan makanannya Darel berucap, "Berarti nanti aku pulang naik-"
"Nggak!" potong Delon dengan cepat.
Darel menatap Delon penuh tanya. "Terus aku harus nungguin kakak gitu?" tanyanya seraya menutup kotak makan yang telah kosong dan memberikannya kembali pada Delon.
"Harus! Pokoknya lo nggak boleh balik sendiri, harus balik sama gue," ucap Delon telak.
"Tapi, Ayah lagi di rumah, Darel takut kalau Ayah marah karena kita pulang telat." Lagi-lagi Darel menunduk, menatap kosong ke arah lantai kelas.
"Kan, pulangnya sama gue. Pasti Ayah nggak akan marah," kata Delon meyakinkan sang adik.
"Oh, iya. Tadi, Bunda bilang mau ke rumah Oma. Oma lagi sakit," ucap Delon menambahkan.
"Sampai kapan?" tanya Darel dengan binar yang sedikit redup. Tidak ada Bunda di rumah, jadi tolong bawa Darel menginap di rumah kalian sekarang juga.
"Belum tau. Emangnya kenapa? Nggak usah takut, ada Kakak."
"Siapa yang takut? Masa di rumahnya sendiri takut."
"Mata dan tubuh kamu yang bilang kalau kamu takut. Adiknya Delon Caslavo harus tangguh, jangan lembek."
"Aku nggak lembek, tuh."
"Ya, ya, terserah. Udah, gue ke kelas dulu. Nanti tunggu di sini, jangan ke mana-mana." Darel mengangguk sebagai jawaban.
Delon bangkit dan keluar dari kelas Darel yang mulai dipenuhi dengan teman-teman kelasnya yang berdatangan. Tatapan mata memuja dari gadis-gadis di sana membuat Delon risih. Dengan cepat lelaki itu melangkahkan tungkainya menuju kelasnya sendiri.
***
Cerita ini dire-publish dan dalam tahap proses penerbitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
INBLITHE ✔
Teen Fiction[DITERBITKAN] [PART TIDAK LENGKAP] Aku ingin disayang tanpa tapi dan dipedulikan tanpa nanti.