Chapter 2

7.4K 555 23
                                    

******

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

******

Senja telah datang menyapa, namun Darel masih berdiri di depan sekolah menunggu jemputan dari ayahnya. Tadi Delon bilang bahwa ia ada tugas kelompok di rumah Billy dan meminta sang ayah untuk menjemput Darel. Namun, sudah hampir tiga jam Darel menunggu sang ayah tak kunjung datang. Bahkan, saat ini hanya tinggal dirinya yang berada di sekolah. Bodohnya lagi dia lupa membawa ponselnya.

Rasa resah mulai menggelayuti dirinya. Matanya masih menerawang jauh, mengharapkan kedatangan sang ayah.

Darel berjengit kaget saat seseorang menepuk bahu kanannya. Dan mendesah lega saat tahu jika ternyata pelakunya adalah Pak Markus, satpam sekolah.

"Aduh, si Bapak ngagetin aja," ucap Darel sambil mengelus dadanya pelan.

Pak Markus nyengir. "Hehehe, maaf atuh Mas, Bapak udah ngagetin. Udah hampir malam, kok Mas Darel belum pulang?" tanya Pak Markus ramah.

"Iya, Pak. Ayah belum jemput," balas Darel dengan raut sedih.

"Udah hampir magrib loh, Mas. Nggak mau naik ojol atau bus aja? Siapa tau bapaknya Mas Darel lagi ada perlu."

Darel tersenyum canggung seraya menggaruk tengkuk nya yang tak gatal. "Anu pak—"

"Anu opo to, Mas?" tanya Pak Markus sambil menautkan kedua alisnya.

"Uang saku saya habis, saya juga lupa nggak bawa HP," kata Darel malu-malu.

"Oalah, Gusti. Ngobrol dari tadi dong, Mas. Ini pakai uang Bapak dulu." Pak Markus menyodorkan uang lima puluh ribu pada Darel.

"Eh, nggak usah, Pak," tolak Darel halus.

"Udah saya nggak nerima penolakan pokoknya," seloroh Pak Markus sambil tersenyum. "Udah gih pulang, itu mumpung ada bus.

Mau tak mau, Darel mengangguk dan menerima uang yang tadi Pak Markus berikan padanya. "Makasih, Pak. Asalamualaikum."

Pak Markus mengangguk. "Iya sama-sama, Mas. Wa alaikum salam."

Darel berlari menuju halte bus yang tak jauh dari tempatnya berdiri tadi. Dan dalam hati anak itu berdoa, semoga sang kakak tidak lupa memberi tahu sang ayah untuk menjemputnya.

***

Di sebuah rumah besar bergaya klasik, Yuda duduk disofa ruang tamu dengan wajah merah padam menahan marah. Hari sudah petang namun kedua anaknya belum pulang juga sampai sekarang.

Lelaki paruh baya itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul setengah tujuh malam.

Yuda mendesah keras. Kemana kedua anaknya? Kenapa belum pulang juga hingga saat ini? Bahkan, ponsel keduanya juga tidak ada yang bisa dihubungi. Untuk kesekian kalinya Yuda mendial nomor sang putra.

Nihil. Hanya suara operatorlah yang menyambut gendang telinganya. Hingga tak lama kemudian, pintu utama rumah itu terbuka dan menampilkan salah satu sosok anaknya.

Yuda langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri Darel yang berdiri dengan kepala menunduk takut.

"Dari mana kamu?!" Suara tegas Yuda langsung menyapa telinga Darel. Anak itu semakin dibuat takut saat mendengar suara Yuda yang sarat akan amarah.

Darel semakin menunduk dalam dengan kedua tangan yang saling meremat. "Da-darel ...." Darel gugup. Entahlah, saat berhadapan dengan ayahnya, nyali anak itu seketika menciut. Apalagi saat melihat tatapan Ayah yang terlihat menyeramkan.

"Apa? Pasti kamu habis main, kan?" bentak Yuda, membuat Darel langsung mendongak dan menatap ayahnya dengan tatapan yang tak bisa diartikan.

"Eng-enggak kok. A-aku dari sekolah," cicit Darel kembali menunduk.

Yuda tersenyum miring dan itu sangat terlihat menakutkan bagi Darel. "Mana ada sekolah yang pulang jam segini?!"

"Darel nungguin Ayah, tapi Ayah nggak datang juga."

"Alasan! Sini kamu." Yuda menarik kasar lengan Darel. Sesekali anak itu meringis karena tarikan ayahnya yang semakin menguat.

"Sa-sakit, Yah," ringis Darel.

"Kamu harus dikasih pelajaran biar jera," ucap Yuda masih sambil menyeret Darel menuju gudang di belakang rumah.

"Ayah-ayah jangan. Ayah Darel mohon."

Bugh!

Tubuh Darel terdorong dan jatuh pada dinginnya lantai gudang.

"Ini pelajaran buat kamu!" Yuda berbalik. Menutup pintu dengan sedikit keras dan menguncinya dari luar.

Darel bangkit dan mencoba memanggil nama ayahnya berkali-kali, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Darel meluruhkan tubuhnya di balik pintu. Anak itu menangis. Takut. Darel sangat takut di gudang sangat gelap dan dia tak tau sampai kapan ayah akan mengurungnya di sana.

"Bunda pulang, Darel takut," lirihnya dengan tangis yang semakin menjadi. Kalau saja bundanya tidak sedang ke rumah Oma, Darel pasti tidak akan berada di sini.

Sesak. Darel memukul dadanya untuk mengurangi sesak yang semakin mendera.

"Kak, aku takut," ucapnya lirih, sebelum kegelapan merenggut dirinya.

***

Delon sampai di rumah saat jam menunjukkan pukul delapan malam. Anak itu memasuki rumahnya dengan santai. Hingga saat sampai di ruang tengah, Delon melihat ayahnya yang sedang asik menonton acara di televisi seorang diri. Bundanya sedang menginap dirumah Oma, karena Oma sedang sakit.

"Malam, Yah," sapa Delon sambil mendudukkan dirinya di single sofa.

"Dari mana kamu jam segini baru pulang?" tanya Yuda sambil mengambil cangkir kopinya yang ada di meja.

"Habis belajar kelompok di rumah Billy. Terus sekalian nganterin temen pulang," jawab Delon.

"Kenapa nggak ngabarin Ayah?"

"HP aku mati, habis baterai."

"Yaudah mandi sana, lalu makan."

Delon mengangguk. Namun sebelumnya, lelaki itu mengernyit. Sepertinya dia melupakan sesuatu, tapi apa?

"Kenapa?" tanya Yuda, membuat Delon mengalihkan atensinya pada sang ayah. Netranya tak sengaja menangkap sebuah pigura yang berada tak jauh dari Yuda.

Delon menepuk jidatnya. Astaga, dia lupa menghubungi ayahnya untuk menjemput Darel di sekolah.

"Kamu kenapa, sih?" tanya Yudo penasaran dengan tingkah aneh anaknya.

"Adik aku mana, Yah? Dia udah pulangkan? Tadi Ayah jemput dia apa nggak?" tanya Delon bertubi-tubi.

"Maksud kamu Darel?" balas Yuda bertanya.

"Iyalah, Yah. Emang siapa lagi?"

"Oh. Ayah kunci di gudang."

Delon melotot tak percaya dengan ucapan ayahnya yang setenang itu. Anak itu langsung berlari menuju gudang.

Tok, tok, tok.

"Rel, Darel, lo denger gue, kan?"

"Darel, please jawab gue."

Tak ada jawaban dari dalam. Dengan segera Delon mendobrak pintu yang berada di depannya.

Bruk.

Bruk.

Bruk.

"Darel!"

***

Cerita ini dire-publish dan dalam tahap penerbitan.

Bersambung...

INBLITHE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang