Chapter 10

1.7K 124 1
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Sudah dua hari lamanya Darel mendekam di rumah sakit. Dan selama itu pula Delon absen tidak masuk sekolah. Padahal, Darel sudah bilang kalau dirinya tidak apa-apa. Kata dokter juga tidak ada yang serius, yang Darel alami kemarin hanyalah serangan kecil. Namun, Delon tetaplah Delon, sosoknya akan berubah keras kepala jika itu sudah menyangkut tentang Darel.

"Pokoknya besok Kakak harus sekolah," kata Darel sedikit kesal. Tadi saat ia bangun dan melihat ke sekeliling ruangannya tidak ada tanda-tanda jika Delon di sana ia pikir lelaki itu pergi ke sekolah. Tapi dugaannya salah saat beberapa menit kemudian Delon masuk dengan sebungkus makanan yang dibawanya.

Alhasil, Darel harus mengeluarkan jurus ngambeknya biar Delon kapok dan tidak bolos-bolos lagi.

"Ya elah, Rel. Baru juga dua hari gue bolos," terangnya dengan sedikit senyum menggoda.

"Dua hari itu termasuk lama, Kak. Coba deh, hitung. Udah berapa mata pelajaran yang kakak tinggalin? Dan Kakak malah duduk diem di sini nggak ngapa-ngapain." Omelan dari Darel membuat hati Delon sedikit menghangat.

Jika sudah cerewet begini berarti adiknya memang sudah baik. Ah, Delon lupa Darel tidak pernah baik-baik saja. Tapi setidaknya dengan cerewetnya Darel begini, itu lebih baik.

"Iya-iya, Cil, bawel banget, sih." Delon bangkit dari sofa yang didudukinya mendekat ke arah Darel dan mengusak rambut anak itu dengan gemas.
Tangan Darel yang terbebas dari infus mencoba mengenyahkan tangan Delon yang mengusak rambutnya.

"Ihh, Kakak lepas."

Tawa Delon menggema saat melihat wajah Darel memerah karena kesal.

***

Rafa tidak tahu kenapa dari kemarin moodnya sangat jelek dan diapun suka uring-uringan tidak jelas. Hal itu sudah terjadi selama dua hari ini, tepatnya setelah tumbangnya Darel tempo lalu.

Sejak malam itu pikirannya selalu berperang dengan batinnya. Di satu sisi, dia sangat ingin melukai anak itu agar dendamnya terbalaskan. Namun di sisi lain, hatinya selalu memberontak dan membuatnya gelisah. Rafa mengacak rambutnya frustasi.

"Argh, shit!" umpatnya seraya menggebrak meja kantin sehingga menimbulkan bunyi nyaring yang membuat orang-orang menatap kearahnya.

"Apa liat-liat?!"

Keadaan kembali seperti semula seolah baru saja tidak terjadi apa-apa.

Yang membuat Rafa semakin gusar juga karena Delon. Dari kemarin Rafa tidak melihat batang hidungnya. Apakah Darel separah itu? Sampai-sampai Delon rela alpa selama Darel tidak masuk.

"Hisss gue kenapa, sih?" racau Raffa, anak itu menelungkupkan kepalanya di atas meja, hanya sebentar karena beberapa detik setelahnya tubuhnya kembali menegak.

"Rafa, Rafa lo nggak boleh bego. Kalau Darel mati atau sekarat itu lebih bagus kan. Jadi, rencana lo buat hancurin Delon lebih mudah," monolognya sendiri dengan sorot mata tajam penuh akan kebencian.

Seringaian muncul dari bibir Rafa seolah anak itu kembali menemukan dirinya yang dulu. Anggap saja dia psikopat yang siap menerkam mangsanya. Dia tidak peduli setelah ini orang akan memandang bagaimana yang pasti dia harus segera melenyapkan orang-orang yang telah membuat hidupnya hancur. Mereka harus menerima balasan yang setimpal dengan apa yang dia rasakan dan dia alami.

"Lo harus mati, Darel. Ya, lo harus mati. Biar Delon ngerasain apa yang gue rasain."

Siapapun yang melihat Raffa saat itu pasti akan langsung lari terbirit-birit karena aura dan wajah yang terpancar darinya begitu menyeramkan.

***

Darel bosan, kini anak itu tengah sendirian di kamar rawatnya. Delon, tadi pagi ia paksa untuk berangkat ke sekolah karena dua hari kemarin ia sudah alpa dan Darel tidak mau nilai Delon jelek karena kebanyakan membolos. Bunda tadi pamit ingin keluar sebentar untuk membeli makan. Sedangkan Ayah, lelaki itu pasti tengah berkutat dengan berkas-berkas yang membuat kepalanya pusing di kantor. Dan tinggallah Darel seorang.

"Sepi juga, ya," ucap Darel dengan wajah tertekuk.
Tangan Darel meraba nakas mencari remote TV, siapa tau ada serial bagus yang berhasil membuat kebosanannya hilang. Begitu dapat ia segera menekan tombol power.

"Diduga para napi kabur setelah beberapa diantara mereka berhasil mengelabui polisi. Saat ini kepala kepolisian telah menerjunkan anggotanya untuk mencari para napi yang berhasil kabur diimbau untuk masyarakat agar lebih berhati-hati lagi. Berikut adalah foto para napi yang berhasil kabur."

"Darel ini bunda bawain---"

Dinda membeku di tempat kala melihat layar televisi yang menyuguhkan gambar beberapa foto seseorang berpakaian napi. Fokus Dinda seketika buyar saat Darel memanggilnya dengan suara gemetar.

"Bu-bunda."

Dinda meletakkan buah serta camilan yang sempat ia beli diatas meja dan langsung menghampiri Darel yang seperti masih syok di atas brankarnya.
Dengan cepat Dinda meraih remot dari tangan Darel, memencet tombol off dan langsung memeluknya dengan erat. Bisa Dinda rasakan betapa tegangnya tubuh Darel.

"Stt, tenang, Sayang. Nggak pa-pa Bunda di sini," kata Dinda menenangkan.

Pikiran Darel mulai dipenuhi dengan hal-hal yang tidak pernah ia inginkah. Haruskah semua akan terulang seperti dulu?

"Darel dengerin bunda." Dinda melepas pelukkannya dan menangkup pipi Darel dengan kedua tangannya. "Semua pasti akan baik-baik saja. Ada Bunda, Ayah sama Kakak yang akan selalu ngelindungin Darel," jelas Dinda, meski tak bisa dipungkiri jika wanita itu juga merasa ketakutan.

Mata Darel berkaca-kaca, air mata sudah bergerumbul disana. Sekali kedip pasti akan luruh.

"Bunda, Darel takut." Anak itu mendekap Dinda dengan erat.

"Nanti kalau dia dateng lagi gimana, Bun? Nanti kalau Darel sama Bunda-Bunda, Dare nggak mau Bunda," racau Darel dengan air mata yang sudah berderai membasahi pipinya.

Dinda hanya bisa mendekapnya seraya menenangkan Darel. Jujur, sebenarnya ia juga takut.

***

"Mas," panggil Dinda. Yuda menoleh dan menutup laptopnya.

Tadi setelah Delon pulang sekolah dan menggantikannya menjaga Darel, Dinda langsung bergegas menuju kantor suaminya.

"Loh, kok nggak ngabarin dulu?" Yuda bangkit menghampiri Dinda.

"Aku takut," ucap Dinda membuat kernyitan terlihat di dahi Yuda.

"Takut kenapa?"

Dinda diam mulutnya tak bisa berucap barang sekata saja.

"Din," panggil Yuda seraya menyentuh lembut pundak Dinda.

"Dia kembali."

***










INBLITHE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang