Chapter 9

4.1K 311 18
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Rafa menatap Darel yang masih terlelap di kasurnya. Rafa harus apa? Ponsel Darel yang sudah terisi penuh baterainya terus berdering. Bunda Darel terus-terusan menelpon.

Rafa menghela napas. "Gue kenapa jadi ngebaikin Darel, sih? Niat awal gue kan mau jahatin dia," ucap Rafa yang mulai heran dengan sikapnya belakangan ini.

"Harusnya gue mulai nyakitin dia ...," gumam Rafa.

Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di pikirannya. "Delon besok masih tanding, kan?"

Rafa langsung mengambil ponselnya, dan menghubungi seseorang.

"Ngapain lo?"

"Tenang dulu, dong. Gue cuma mau ngasih tau satu hal—"

"Ngga usah basa-basi! Cepet, Lo mau ngomong apa? Kalo nggak penting, gue tutup."

Rafa berdehem. "Gue minta, lo ke rumah gue sekarang juga—"

"Lo gila apa? Lo pura-pura atau gimana kalo gue lagi di Bogor sekarang? Ngapain lo nyuruh gue ke rumah lo?"

"Jangan motong ucapan gue bisa nggak sih?" Rafa berucap dengan penuh penekanan. "Lo ke sini sekarang, atau besok, lo nggak akan bisa liat adek lo lagi."

"Hah? Darel? Lo apain Darel?!"

"Kalem. Paling cuma kegores sedikit," balas Rafa santai.

"Kalo sampe Darel kenapa-napa, gue bunuh lo, Rafa!"

Rafa tersenyum miring, walau ia tahu Delon tak akan melihatnya. "Apa lo belum puas bunuh kakak gue, hah? Lo juga mau bunuh gue? Dasar pembunuh," desis Rafa.

"Gue ke sana sekarang," ucap Delon sebelum mematikan sambungan telepon.

Rafa tersenyum miring. "Well, memancing Delon semudah itu ternyata."

Rafa duduk di kursi belajarnya, sambil mengetukkan jarinya ke meja, Rafa berucap, "Gue bakal hancurin lo pelan-pelan, Delon."

***

"Gue harus pulang sekarang juga, tolong pengertiannya."

Delon menatap Gara—kapten tim basketnya dengan tatapan memohon.

"Kita punya cadangan, kan? Lo bisa pake mereka, Ra. Gue mohon, gue mau pulang."

Gara menyilangkan tangannya di dada sambil menatap Delon. "Nggak semudah itu, Delon. Gue nggak yakin pembina bakal setuju. Kita nggak mau ngambil resiko dengan pake cadangan. Kita semua tau, permainan lo cukup bagus. Dengan nggak adanya lo, gue pesimis kita kalah."

Sebenarnya, Gara kasihan saat melihat wajah Delon. Sepertinya, anak itu benar-benar ingin pulang.

"Emangnya, lo kenapa mau pulang?" tanya Gara pada akhirnya.

"Adek gue ... dia dalam bahaya. Gue harus nyelametin dia," balas Delon sendu.

Gara mengangkat sebelah alisnya. "Gue tanya pembina dulu, okay?"

INBLITHE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang