****
"Darel!"
Betapa terkejutnya Delon saat melihat Darel tergeletak di lantai dengan keadaan tidak sadarkan diri.
"Darel, bangun, Dek." Delon menepuk pipi Darel berkali-kali, berharap adiknya segera bangun.
"Darel. Hei, bangun. Jangan bercanda."
Melihat tak ada respon dari adiknya, rasanya Delon ingin menangis. Bagaimana tidak? Wajah adiknya sudah pucat. Delon yakin, adiknya sudah lama terkurung di gudang ini.
Dengan cepat, Delon menggendong tubuh adiknya. Saat melewati ayahnya, Delon berteriak, "Ayah jahat! Delon benci Ayah!"
Setelah itu Delon membawa Darel ke rumah sakit diantar supir keluarga.
"Tahan sebentar ya, Dek ...."
***
"Ka-kak ...." Suara lirih itu menyapu pendengaran Delon. Delon langsung menoleh ke arah Darel.
"Alhamdulillah," ucap Delon saat melihat mata yang sejak tadi terpejam itu mulai terbuka. "Darel? Bangun, Dek ...."
Mata Darel sudah sepenuhnya terbuka. Ia mengerjap beberapa kali sebelum mengedarkan pandangannya. Sedangkan Delon, ia langsung memencet tombol di samping ranjang. Dan tak lama, dokter datang untuk memeriksa keadaan Darel.
"Sudah lebih baik. Semuanya stabil, besok pagi boleh pulang. Tapi jangan beraktivitas berat dulu, ya."
Delon mengangguk. "Iya, Dok. Terima kasih."
Setelah dokter pergi, Delon kembali duduk di kursi samping brankar Darel.
"Ada keluhan?"
Darel hanya menggeleng lemah. Delon merasa iba melihatnya. Pasti Darel masih memikirkan perihal ayahnya yang menguncinya di gudang. Bisa saja mental Darel tengah terguncang saat ini.
"Rel, jangan banyak pikiran dulu, ya. Fokus sama kesehatan lo dulu," ucap Delon lembut sambil terus mengelus surai lembut adiknya.
"Ayah, Kak ...." Suara Darel terdengar bergetar. "Ayah marahin aku ... bentak aku ... dorong aku ke gudang terus dikurung di sana, Kak." Darel berucap gelisah. Matanya tak bisa fokus pada satu titik. Dia ketakutan.
"Iya, gue tahu. Jangan dipikirin, ya? Ayah lagi banyak masalah mungkin."
"Aku takut," cicit Darel.
"Jangan takut, gue janji gak akan ninggalin lo sendirian. Maaf gue lupa bilang Ayah buat jemput lo. Maaf banget," ucap Delon merasa sangat bersalah.
Darel hanya mengangguk. Kemudian ia mengambil tangan kanan Delon dan meletakannya di atas kepalanya. "Aku mau tidur," ucapnya singkat dan langsung memejam.
Delon paham. Darel memintanya untuk mengelus kepalanya agar ia bisa tidur nyenyak. Ada-ada saja.
***
Darel dan Delon sampai di rumah pukul 11 siang. Delon terpaksa izin tidak masuk sekolah karena harus menemani Darel.
"Istirahat di kamar aja, ya?"
Darel mengangguk. Kemudian Delon menuntun Darel sampai kamar.
"Ayah, di mana?" tanya Darel saat ia sudah berbaring di tempat tidurnya.
"Ayah kerja," balas Delon. "Gue mau buatin lo makan dulu ya. Lo istirahat aja, jangan kemana-mana."
Darel hanya mengangguk. Ia baru memejamkan matanya saat bunyi nada dering dari ponsel Delon berbunyi.
Rafa is calling ....
Awalnya Darel berniat untuk turun dan menyuruh Delon mengangkat teleponnya. Namun, saat dirasa tubuh masih terasa lemas, akhirnya Darel memutuskan untuk mengangkatnya.
"Halo?"
Hening sebentar.
"Lo siapa? Gue cari Delon."
"Aku adiknya Kak Delon. Sebentar ya, aku panggil Kakak dulu."
"Eh, nggak. Gue ngomong sama lo aja deh, kalau gitu."
"Sama aku? Ada apa, Kak?"
Terdengar, Rafa berdehem sebelum melanjutkan pembicaraannya. "Sebelumnya, kenalin gue Rafa. Temen baik Kakak lo di sekolah. Gue bisa minta kontak lo?"
"Hm? Buat apa?"
"Ya ... mungkin nanti ada perlu. Atau mungkin nanti gue mau ngajak lo ngobrol."
Beneran temen Kakak? Kok aku gak kenal sih? batin Darel.
"Oke. Nomor aku, 08xxxxxxxxxx."
"Sip. Udah ya, nanti lanjut ngobrol lewat nomor lo aja."
Darel hanya membalas, "Iya." Kemudian panggilan terputus, tepat saat Delon masuk ke kamar dengan nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih.
"Habis teleponan?" tanya Delon saat melihat Darel memegang ponselnya.
"Oh, ini. Tadi temen Kakak telepon. Kak Rafa."
Pupil mata Delon membesar. "Rafa?" Delon langsung merampas ponselnya. "Kenapa lo angkat? Kenapa gak kasih gue? Jangan asal sembarangan angkat telepon gitu, selain gak sopan, bahaya juga, Rel! Jangan pernah kayak gitu lagi!"
Darel hanya menunduk sambil meremat jarinya. Lagi-lagi Delon membentaknya.
Delon diam, begitu pun dengan Darel. Delon mulai menyadari satu hal, ia membuat Darel ketakutan, lagi.
"Rel?" Delon duduk di tepi tempat tidur Darel. "Darel? Liat sini."
Tak ada balasan, hanya terdengar suara napas berat Darel.
"Darel," panggil Delon lagi, sambil mengangkat dagu Darel. Oh, ini benar-benar fatal.
Darel menjatuhkan tubuhnya ke dekapan kakaknya.
"Astaga, Rel. Buka mata lo," ucap Delon sambil menepuk pipi Darel pelan.
Darel mencoba membuka matanya walau sulit. Setidaknya, kakaknya tahu kalau ia masih sadar.
"Darel ... kenapa?"
Darel tak menjawab, sulit rasanya. Delon yang mengerti hanya bisa mengelus punggung Darel.
"Sakit?" tanya Delon. Darel membalasnya dengan anggukan.
"Maafin gue." Delon mengecup puncak kepala Darel dan membiarkan Darel terus memeluknya hingga anak itu merasa lebih baik.
Ketika Delon merasa bajunya basah, saat itulah Delon baru menyadari bahwan adiknya tengah menangis.
"Hei, kenapa?" Delon menangkup wajah Darel menggunakan kedua tangannya.
"Maaf ...," lirih Darel yang masih menangis.
Delon mengusap air mata Darel dengan kedua ibu jarinya. "No, it's okay. Gue yang harusnya minta maaf sama lo."
"Maafin aku ...," ucap Darel lagi.
"It's okay, Rel. Gue gak marah."
"Ta—tadi aku mau ke bawah, kasih HP-nya ke Kakak. Tapi akunya lemes, jadi aku angkat aja. Maaf, Kak ...."
"Iya iya, gue ngerti. Gue minta maaf, gue cuma gak mau lo kenapa-napa."
Darel yang mulai tenang mengernyit heran. "Kenapa? Kak Rafa bilang, dia temen baik Kakak di sekolah."
"Udah, jangan bicarain dia dulu. Sekarang, lo makan dulu, nanti keburu dingin," ucap Delon. Darel hanya menurut. Ia tak mau kakaknya kembali marah.
***
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
INBLITHE ✔
Novela Juvenil[DITERBITKAN] [PART TIDAK LENGKAP] Aku ingin disayang tanpa tapi dan dipedulikan tanpa nanti.