Chapter 11

3.5K 291 6
                                    

***

Darel kembali sekolah setelah keadaannya membaik. Sebenarnya, hari ini Darel tidak ingin pergi ke sekolah. Delon sedikit tak percaya. Bagaimana bisa adiknya yang rajin itu malah meminta untuk bolos?

Lihat saja, pada jam terakhir pelajaran, Darel malah terlelap. Angga sudah lelah untuk mencoba membangunkan Darel, karena anak itu terus memberi alasan. Angga tidak tahu mengapa Darel menjadi seperti ini. Yang Angga tahu, mood Darel sedang tidak bagus dan ia tidak boleh mengganggunya.

"Nanti tugasnya jangan lupa dikerjakan, ya. Ibu keluar dulu. Kalian jangan pulang sebelum bel, oke?" ucap guru sejarah yang paling dibenci Darel.

"Oke, Bu!"

Kelas langsung ricuh begitu guru meninggalkan kelas. Bel pulang masih lama, sekitar 40 menit lagi. Entah apa yang membuat guru mereka meninggalkan kelas lebih awal.

Darel yang sedang tertidur terpaksa membuka matanya saat Angga bilang ada yang mencarinya.

"Siapa, sih?" tanya Darel sambil mengucek matanya.

"Itu, kata anak sebelah lo dipanggil sama guru piket," jelas Angga.

Tanpa bicara apa-apa, Darel langsung meninggalkan kelas dan menggerakkan tungkainya menuju lobi.
Sampai di lobi, Darel tak melihat siapa-siapa. Guru piket juga tak ada di tempatnya. Darel mengedarkan pandangannya, kemudian matanya melebar saat melihat laki-laki paruh baya yang sedang menatapnya juga.

"A-ayah ...," ucap Darel pelan. Saat melihat Rean menuju ke arahnya, entah kenapa tungkainya reflek untuk berlari menjauh. Namun, Rean berhasil menggapai tangan Darel yang gemetar. Darel berontak di depan perpustakaan yang kala itu sangat sepi karena jam pelajaran yang masih berlangsung.

"Darel, hei. Tenang. Ini Ayah," ucap Rean.

Darel memberontak. Ia berteriak meminta pertolongan. Namun, siapa yang akan melalui lorong sepi di jam pelajaran seperti ini?

"Lepasin! Darel nggak mau!"

"Darel, ini Ayah, Nak. Tolong, Ayah mau bicara sebentar sama kamu," ucap Rean dengan nada penuh harap.

Rean mendekap tubuh Darel saat anak itu kembali berontak. Darel menangis sambil terus meracau. Hingga pekikan seseorang menyapu pendengaran Darel.

"Darel!"

Delon mendekat ke arah Darel dan Rean. Tadi, ia disuruh gurunya untuk mengambil buku di perpustakaan. Namun, Delon malah dihadapkan dengan situasi ini.

Rean melepas dekapannya saat Delon datang. Darel langsung bersembunyi di belakang Delon untuk menghindari Rean. Dalam hati, Darel mengucap syukur karena Delon datang tepat waktu.

"Anda siapa?" tanya Delon.

"Saya Rean. Ayah Darel," jawab Rean yang membuat Delon membulatkan matanya. Memang Delon tidak pernah tahu-menahu siapa ayah Darel yang sebenarnya dan kemana perginya.

Delon menoleh ke arah Darel, memastikan apakah orang di depannya ini berkata benar atau hanya mengada-ada. Darel hanya menunduk sambil menggeleng. Tubuhnya gemetar. Kentara sekali kalau Darel benar-benar ketakutan sekarang. Dapat Delon simpulkan bahwa Darel tidak suka orang ini ada di sini, meskipun itu ayahnya sendiri.

Delon kembali menatap Rean. "Maaf, tapi saya rasa Darel nggak nyaman atas kedatangan Anda. Silakan pergi," ucap Delon dengan nada datar.

"Memangnya kamu siapanya?" tanya Rean dengan penuh penekanan. "Bisa-bisanya kamu mengusir saya."

"Saya kakaknya," balas Delon singkat. "Darel adik saya."

Rean tersenyum miring. "Oh, jadi benar, Bunda kamu sudah menikah lagi, Darel?"

Darel tidak menjawab sepatah kata pun. Dia masih diam menunduk sambil meremat seragam kakaknya.
"Baik. Saya akan pergi," ucap Rean final. "Tapi saya akan kembali."

***

Setelah sampai di rumah, Darel langsung masuk ke kamarnya. Dinda tentu heran dengan sikap si bungsu. Tak biasanya ia begitu. Saat Delon menyalaminya, Dinda langsung menanyakan apakah Darel ada masalah atau tidak.

"Eum ... itu ...." Delon sendiri bingung bagaimana mengatakannya.

Dinda menggiring Delon untuk duduk di sofa terlebih dahulu. "Darel kenapa?" tanya Dinda lagi.

"Itu, Bun. Tadi ada yang datang ke sekolah. Dan dia bilang kalau dia itu ... Ayah Darel," ucap Delon dengan mengecilkan suaranya di bagian akhir.

Dinda terkejut, tentu saja. Bagaimana Rean bisa bergerak secepat itu? Dinda pikir, Rean tidak akan langsung mencari mereka. Nyatanya Dinda salah.

"Emang bener, ya, Bun?" tanya Delon saat melihat bundanya hanya melamun.

"Namanya siapa? Kamu tahu nggak?"

"Rean, namanya Rean."

Dinda mengangguk pelan. "Iya, itu Ayah Darel. Mantan suami Bunda."

Delon mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tapi, Darel takut sama Om Rean, Bun. Dia gemeteran tadi."

Dinda menghela napas. "Bunda bisa minta tolong nggak, Lon?"

"Bisa dong, Bun. Bunda mau minta tolong apa?"

"Pastikan Darel nggak ketemu orang itu lagi."

***

Delon masuk ke kamar Darel tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Kamar Darel yang sengaja dimatikan lampunya oleh sang pemilik membuat Delon tak bisa menemukan adiknya itu. Tangan Delon meraba-raba dinding untuk mencari sakelar lampu. Saat lampu sudah menyala, Delon melihat Darel yang sudah tertidur dengan posisi miring membelakangi Delon.
Delon duduk di tepi kasur Darel sambil menaikkan selimut Darel hingga batas dada. Delon hanya duduk di sana sambil mengamati Darel dari belakang. Sampai akhirnya Delon sadar, tubuh itu semakin meringkuk ditambah dengan punggungnya yang bergerak naik turun dengan cepat.

Delon menepuk bahu Darel berkali-kali sambil memanggil anak itu. Namun, Delon tak mendengar balasan apa pun. Delon segera menarik bahu Darel agar anak itu telentang.

"Darel, bangun, Dek," ucap Delon sambil mengusap dahi Darel yang berkeringat. Pasti adiknya mimpi buruk lagi.

Darel membuka matanya dengan napas tak beraturan. Setitik air mulai mengalir dari matanya membuat sungai kecil di pipinya. Delon memeluk Darel selagi anak itu menangis.

"Stt .... Nggak usah nangis ...," ucap Delon menenangkan.

"Bunda ...."

"Mau gue panggilin Bunda?" tanya Delon sambil mengusap kedua pipi Darel menggunakan kedua ibu jarinya. Darel mengangguk pelan.

"Sebentar, ya."

Darel mengangguk lagi. Setelah kepergian Delon, Darel kembali mengingat mimpinya barusan yang benar-benar terasa nyata. Darel takut kalau hal itu akan terjadi lagi. Darel tidak ingin bertemu dengannya lagi. Sudah cukup orang itu menyakiti Darel selama ini.

Dinda datang dan langsung merebahkan dirinya di samping si bungsu. Tanpa bertanya apa pun, Dinda tahu apa yang terjadi pada Darel. Darel memeluk bundanya tanpa bicara. Darel hanya butuh pelukan bundanya. Pelukan Bundanya yang menghangatkan untuk menemani tidurnya.

***

INBLITHE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang