Part 7

2.5K 65 2
                                    

“Ke mana saja kamu semalam? Pergi tanpa perkataan yang jelas, membuatku khawatir,” kata Michael tak bisa menyembunyikan rasa kekecewaannya atas perlakuan Jennifer padanya semalam.

“Maafkan aku ... aku semalam—“

“Ada seseorang yang lebih beruang mengajakmu pergi? Lalu meninggalkanku tanpa pamit. Seolah-olah aku tak membayarmu?”

Jennifer menggelengkan kepala. Ia membalikkan badannya, saling bertolak belaka dengan Michael. Tangannya saling berdekap. “Bukan. Kamu salah sangka, aku tidak seperti itu, Michael. Semalam aku pulang ke rumah karena merasa lelah menunggu kamu sendirian.”

“Jadi alasannya karena aku? Padahal aku sudah berkata sebelumnya kalau aku akan membelikan minum.”

“Ya, aku tahu itu. Tapi menunggumu hampir setengah jam lamanya tanpa kepastian sampai kapan harus menunggu. Aku lelah!” Jennifer tak mau kalah. Ia berargumen dengan segala cara untuk meyakinkan kalau ia tak sepenuhnya salah.

Michael membalikkan badan, kini ia menatap Jennifer yang membelakangi dirinya. “Baiklah, aku memang salah karena terlalu lama membiarkanmu sendiri.”

Jennifer pun berbalik, kini mereka saling behadapan. “Baiklah, kamu tak salah dalam masalah ini. Aku maafkan.” Ia memeluk Michael, tangannya melingkar pada punggung lelaki itu. Michael pun tak mau kalah, ia mengusap rambut pirang perempuan tersebut dengan lembut.

Berpelukan pada siang hari dan di tempat umum sangat wajar, bahkan bagi orang yang tidak punya hubungan spesial. Jangankan sekadar peluk, banyak sekali orang-orang di sekitar yang tiap kali berjumpa dengan kolega atau teman saling berciuman. Ini menjadi hal wajar di negara Adi Daya.

Jennifer melepaskan pelukannya. Ia memberikan kabar bahagia bagi Michael.
“Apa?” tanya Michael dengan antusias.

“Aku tidak bisa bicara sekarang. Aku mau menunjukkannya saja. Mau ikut?” Jennifer mengembangkan senyum genit pada Michael, satu matanya berkedip.

“Baiklah, tunjukkan padaku,” kata Michael masih dalam perasaan antusiasnya.

Jennifer segera menarik tangan Michael menuju tempat parkir. Ia menyuruh Michael mengantarkan pada suatu tempat yang akan ia tunjukkan. Dengan dorongan rasa penasaran, Michael bersemangat mengantar Jennifer.

Setengah jam berlalu, mereka telah sampai di tempat yang ditunjukkan oleh Jennifer. Mereka turun serentak dan perlahan memasuki halaman yang dibatasi oleh pagar.

“Ini rumahmu?” Mata Michael terbelalak tak percaya melihat kemegahan rumah milik Jennifer.

Jennifer tak berkata apa-apa, ia hanya menganggukkan kepalanya saja.

“Serius?” Lagi-lagi Michael terpukau dengan keindahan dan kemewahan rumah Jennifer.

“Maaf sebelumnya aku tak pernah mau memberi-tahumu sebelumnya. Dan kamu adalah satu-satunya orang yang mengetahui rumahku sekarang.”

Michael mengangguk. Ia berjalan memasuki rumah Jennifer. Matanya liat menatap ke seluruh sudut rumah. Ornamen-ornamen dari kaca dan lukisan menambah kesan kemewahan rumah ini. Namun ada sesuatu yang mengganjal perasaannya sekarang, yaiut tak ada tanda-tanda aktivitas orang lain.

“Jennifer ...,” lirih Michael. Suaranya kecil, namun tembok-tembok dan ruangan yang besar memantulkannya menjadi besar.

“Ya, ada apa?”

“Apa kamu tinggal sendiri di rumah yang besar ini? Ke mana orang tuamu?”

Beberapa langkah kemudian Jennifer telah sampai di depan pintu kamarnya. Ia membuka pintunya perlahan lalu rebahan di atas kasur yang empuk. Sementara Michael mengikutinya dari belakang. Dari samping ranjangnya, terpajang bingkai foto yang memuat gadis kecil sekitar umut 4 tahunan diapit oleh sepasang orang tua.

Michael mengambil bingkai itu, ia menatapnya dalam-dalam. Kemudian berkata, “Cantik sekali. Gadis kecil yang polos dan dua orang tua ... keluarga petani.”

Mendengar celotehan itu, Jennifer bangkit dari rebahannya lalu mengambil paksa bingkai yang sedang ditatap oleh Michael. “Jangan menyentuh barang-barangku. Tidak semua yang ada di sini untuk diketahui, termasuk foto keluargaku.”

“Ke mana orang tuamu? Apa kamu hidup sendiri di rumah ini?” Michael menanyakan hal itu untuk kedua kalinya.

Jennifer membalikkan bingkai itu hingga tak terlihat lagi gambarnya. Ia duduk di tepi ranjang, napasnya terasa berat, matanya mulai berkaca-kaca. Michael segera duduk di sebelahnya, ia mendekap Jennifer.

“Kenapa menangis? Apa aku salah bicara?”

“Tidak ...” Jennifer menggelengkan kepalanya pelan, ia berusaha tegar. “... aku hanya teringat dengan orang tuaku.” Suaranya tiba-tiba berubah menjadi lirih.

“Ke mana mereka?”

“Mereka sudah meninggal saat aku kecil.” Jennifer tak bisa lagi menyembunyikan rasa sedihnya, ia tak mampu berpura-pura tegar saat mengenang kisah kelabu yang merengkut nyawa kedua orang tuanya. Hingga akhirnya ia tak kuasa membendung air matanya.

“Maaf aku tak bermaksud membongkar masa lalumu.”

“Tidak apa-apa. Lagi pula sudah lama sekali dan tidak harus aku ingat.” Jennifer bangkit dari pelukan Michael, ia mengusap sendiri air matanya. Setidaknya ia lega saat air matanya jatuh, jauh berbeda saat ia harus berpura-pura kuat. “Aku mau menebus kesalahanku.”

“Kesalahan apa?” Michael terkejut tiba-tiba saja Jennifer berkata seperti itu.

“Bukan kesalahan. Lebih tepatnya mengganti rugi yang semalam karena aku meninggalkanmu.”

Michael tersenyum simpul. “Sudahlah, anggap saja semalam sudah lunas. Dan aku tak ingin mengungkit lagi.”

“Tapi kamu telah membayarku. Dan artinya aku harus memuaskanmu.”

“Aku tak ingin jika ada paksaan.”

“Aku tidak terpaksa. Aku akan melakukannya atas dasar suka terhadapmu, Michael.” Jennifer memejamkan matanya perlahan. Beberapa detik kemudian bibir mereka saling bertemu. Michael dan Jennifer saling bercumbur dengan mesra.

***

Jennifer berjalan keluar sendirian. Cuaca yang sedikit panas membuat ia hanya memakai kaos tipis. Di Amerika, perempuan berjalan keluar malam-malam seorang diri tak ada perasaan khawatir. Meski terkenal rawan anggota gangstar, tetapi dalam masalah pelecehan seksual atau pelecehan terhadap wanita hampir jarang terjadi.
Malam ini ia berniat mengunjungi pasar terdekat, sekadar untuk mencari stok bahan makanan dalam beberapa minggu ke depan. Belum sampai di toko, ia berpapasan dengan salah seorang koleganya.

“Kamu tak kerja hari ini?”

“Tidak. Hari ini aku ambil cuti untuk dua hari ke depan.”

“Oh, baiklah.”

Jennifer mengangguk kemudian melanjutkan perjalanannya.

Satu jam berlalu ia telah membeli persediaan makanan untuk beberapa minggu ke depan. Ia terkejut saat melihat seseorang sudah berada di dalam rumah dan menunggunya. “Dari mana ia bisa masuk?” pikirnya.

“Selamat malam, Cantik. Wah ... tampaknya habis belanja bulanan,” sapa lelaki tersebut dengan basa-basi.

Black  Business: Lady Escort √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang