Part 13

1K 39 7
                                    

Hampir setengah jam berlalu begitu saja, Michael menunggu di sebuah kafe seorang diri membuatnya hampir jengah. Jennifer yang ditunggu-tunggu tak kunjung sampai juga. Seorang datang memberikan buku menu makanan, namun lagi-lagi Michael hanya menyimpannya rapi di atas meja, ia tak ingin memesan lebih dulu sebelum Jennifer hadir.

“Terima kasih,” ucap Michael menatap waitress. “Nanti aku memesannya,” sambungnya lagi.

“Baiklah Tuan.” Waitress itu melangkah menjauhi Michael yang masih duduk manis menantikan Jennifer.

Beberapa saat kemudian seorang gadis berjalan elok dari luar menghampiri Michael. Perempuan yang hanya memakai jin ketat sepaha dan singlet super ketat itu tersenyum seraya duduk di hadapan Michael.

“Sorry,” ucapnya sambil melihat jam tangan pada lengan kirinya. “Telat tiga puluh dua menit.”

“Tidak apa. Aku memaklumi kesibukanmu.”

“Ada apa mengajakku bertemu di sini? Biasanya kau selalu mampir ke rumah terus.”

“Ada hal yang harus aku ceritakan. Mungkin ini terlalu riskan bagi kita jika ketahuan oleh pihak luar.”

“So?”

“Aku mengajakmu bertemu di sini sekadar untuk menjemputmu. Kita akan pergi ke suatu tempat yang jarang manusia.”

“Baiklah, aku mengikuti ke mana pun kau mau.”

Michael beranjak dari tempat duduk. Tangannya meraih Jennifer yang masih terduduk kemudian membantunya berdiri. Ia jalan beriringan menuju halaman parkir. Beberapa menit berlalu Michael mulai menancapkan gas mobil.

Di dalam perjalanan, sesekali mereka bercengkerama layaknya seorang kekasih. Mimik wajah ceria ditunjukkan oleh Jennifer. Tampak berbeda sekali ekspresi Jennifer kala menghadapi dua orang yang berbeda, Michael dan Alan Smith.

“Jennifer.” Michael berhenti dari candanya. Ia memasang raut yang benar-benar serius, sangat tegang.

Jennifer pun menanggapi panggilan Michael dengan serius pula. “Ya, kenapa?”

“Aku dengar-dengar kemarin saham motor terbesar di Amerika telah dijual. Siapa pemilik baru sekarang?”

“Aku tidak tahu. Aku juga tidak mau tahu atau mencampuri urusan itu.”

“Jangan berbohong!” bentak Michael sedikit meninggikan suaranya. Sementara matanya enggan menatap Jennifer, ia lebih memilih untuk menatap ke depan.

“Aku benar-benar tidak tahu siapa pemilik baru dari saham motor itu.” Jennifer pun tak kalah tinggi nada bicaranya dari Michael.

Untuk masalah pembelian saham dan penggunaan uang, Jennifer memang tidak mengetahui sama sekali ke mana atau siapa pemegangnya. Ia hanya mengetahui kalau uang yang dia simpan di bank adalah milik Alan Smith.

Mereka lama terdiam. Berkutat pada pikirannya masing-masing. Michael yang tak percaya begitu saja pada Jennifer, sementara Jennifer sangat merasa bodoh dengan pertanyaan-pertanyaan yang Michael lontarkan.

Mobil melaju tanpa henti, kecepatan semakin meningkat kala jalanan sepi. Mobil sport milik Michael pun seolah menemukan akselerasi saat memasuki desa pinggiran Amerika Serikat. Sesaat kemudian mobil itu berhenti di tepian jalan.

“Kau sengaja membuka kenanganku?” tanya Jennifer sinis.

“Tidak. Aku hanya membawa fantasimu di saat kamu kecil dulu.”

Sebuah desa yang mayoritas penduduknya sebagai petani. Dari kuda hingga ladang terhampar sangat luas sejauh mata memandang. Jennifer kembali terdiam, tak banyak kata yang keluar dari bibir manisnya ketika melihat orang-orang desa sibuk bekerja meski telah hampir senja. Air matanya tiba-tiba saja menetes membasahi pori-pori pipinya.

“Maafkan aku ... tidak bermaksud membuatmu sedih ...,” lirih Michael sambil mengusap air mata yang hampir jatuh.

“Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu apa membawaku ke sini?”

“Sangat sederhana. Aku membawamu ke sini agar kamu bisa mengenang masa kecil dulu bersama orang tua. Mencari mimpi-mimpimu yang dulu hadir dan tenggelam bersama kematian orang tuamu. Aku berharap dengan cara ini kamu bisa mengenang mimpimu kembali,” jelas Michael menyimpulkan bibirnya.

Jennifer berusaha tersenyum membalas perkataan Michael. Ia bersusah payah memekarkan bibirnya meski luka lama terus menggerogoti perasaannya sekarang. Hatinya hancur berkeping-keping saat melihat masyarakat desa itu berpeluh keringat.

“Apa mimpimu dulu?” tanya Michael.

Untuk ke sekian kalinya Jennifer tak menjawab sepatah kata pun. Bibirnya seolah terkunci, susah bicara. Pikirannya tenggelam bersama masa lalu, ia mengingat kembali kenangan bersama keluarga kecil sederhana, namun bahagia.

Sesekali pikiran Jennifer terbang pada hari itu, di mana ia bersama mamanya menghidangkan makanan untuk papa yang seharian bertani. Ia sangat antusias menyiapkan makanan itu ke atas meja. Papanya tiba dengan peluh bercucuran membasahi pakaiannya. Ia tampak begitu kasihan melihat papa yang begitu kelelahan, lalu ia berjanji ketika besar nanti akan kuliah di fakultas hukum agar kelak bisa menjadi aktivis orang-orang bawah.

Air matanya begitu deras tak tertahan lagi. Mengingat harapan saat kecil itu telah pupus, sementara sekarang bukan menjadi aktivis, melainkan seorang sampah masyarakat.

Tak kuat menahan kenangan, Jennifer merebahkan kepalanya yang terasa berat pada pundak Michael. Ia terus saja menangis tak henti-hentinya. Sementara tangan Michael mengusap rambut Jennifer, coba menenangkan perasaannya sementara waktu.

“Hari mulai gelap, ayo kita kembali pulang!” ajak Michael dengan suara lemah, ia tak berani lagi membentak perempuan yang sedang gusar.

“Kalau ingin pergi ... pergilah!” Jennifer menatap Michael dalam-dalam. “Biarkan aku di sini sementara waktu.”

“Kamu mau tinggal di mana? Di sini kamu terasing, tidak punya kerabat, tidak punya tempat tinggal.” Michael bersikeras mengajak Jennifer untuk pulang kembali ke New York. Namun ajakannya selalu mendapat tolakan. Hingga akhirnya ia harus menyerah karena keras kepala Jennifer. “Baiklah, aku akan menemanimu hingga kau mau pulang.”

“Terima kasih, Michael.”

Michael mengangguk. Kemudian ia masuk ke dalam mobil untuk beristirahat sejenak. Sementara Jennifer masih duduk di atas kabin mobil Michael menatap matahari yang mulai terbenam, senja di pedesaan membuatnya terpaku. ‘Aku pun tidak tahu kapan terakhir kali melihat matahari menepi,’ batin Jennifer.

Hari kian gelap, mentari perlahan hilang dari pandangan Jennifer dan membuat gelap negara bagian Amerika Serikat itu. Ia pun kembali memasuki mobil.

“Sudah?” tanya Michael memastikan saat melihat Jennifer membuka pintu.

Ia menggelengkan kepala. “Aku belum puas. Jika besok kembali lagi ke sini, apa kau bersedia?”

“Kita lihat saja.” Michael melemparkan senyuman pada Jennifer. Lalu sibuk melilitkan sabuk pengaman.

Black  Business: Lady Escort √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang