Part 11

1.3K 44 2
                                    

Satu bulan berlibur di Panama Beach City menikmati pesta spring break kini telah usai. Michael dan Jennifer kembali ke kota asalnya, New York City. Namun bukan berarti pantai di bagian negara Amerika Serikat ini sepi pengunjung, pantai itu masih ramai dengan segala hingar-bingar kebebasan, seperti minum alkohol, sex bebas, atau menikmati narkotika secara terbuka.

Michael kembali datang ke rumah Jennifer yang terletak di antara perumahan elite. Ia menyambangi tempat kediaman Jennifer untuk memastikan keadaannya setelah lama berlibur di pantai penuh kebebasan itu.

Dari dalam, seseorang membukakan pintu. Seorang gadis yang hanya mengenakan bikini mini tersenyum melihat kedatangan Michael.

“Hay ...,” sapa Jennifer yang mengenakan bikini berwarna hitam polos itu. Ia merasa tak canggung memamerkan tubuhnya yang hanya memakai celana dalam dan BH saja. Bagi dirinya, atau bagi masyarakat Amerika Serikat itu suatu kewajaran.

“Aku pikir kau sedang kuliah hari ini,” jawab Michael sekadar untuk basa-basi.

“Tidak. Hari ini aku libur semester.” Jennifer berjalan memasuki rumahnya. Sementara Michael mengikutinya dari belakang. “Kau mau minum apa?”

“Ah, tidak. Terima kasih. Aku sudah minum.”

“Jangan sungkan,” ejek Jennifer tersenyum penuh gairah. Matanya nakal saat mengedipkan salah satu kelopak matanya, bibir yang tipis tanpa lipstik itu terlihat menggoda bagi kaum adam. “Tunggu sebentar, aku akan kembali lagi.”

Beberapa menit kemudian Jennifer kembali menemui Michael yang masih duduk manis di atas sofa empuknya. Ia membawa sebotol minuman anggur merah dengan kadar alkohol cukup tinggi. Sesaat kemudian menuangkan ke dalam dua gelas kaca. “Silakan diminum.”

“Terima kasih,” ucap Michael menerima gelas tersebut. Michael sebenarnya enggan untuk minum lagi, apalagi minuman yang mengandung alkohol. Rasa tak enak hati menolak permintaan Jennifer akhirnya meluluhkan niatnya.

Mereka terdiam, berkutat pada pikirannya masing-masing saat meneguk air di dalam gelas tersebut. Hampir lama mereka tak bersuara hingga keheningan pun mengisi seluruh sudut ruangan rumah Jennifer.

“Sesama lady escort. Apa kau mengenal Sabrina, Jennifer?”

Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari Michael hingga membuat Jennifer terdiam dalam lamunannya. Beberapa detik kemudian ia tertawa kecil lalu berkata, “Di Amerika terlalu banyak bar. Di setiap negeri bagian Amerika Serikat hampir menyediakan bar dan lady escort. Apa aku harus menghafalnya satu per satu?”

“Aku pikir kamu mengenalinya.”

“Kenapa? Dia cantik, bukan? Sebagai anak keturunan dari tanah Amerika, wajah yang mirip dengan suku di Brasil sangat membuatnya terlihat begitu memesona.” Jennifer mengagumi Sabrina. Tak ada apa-apanya jika ia dibandingkan dengan Sabrina.

“Dari mana kamu tahu kalau dia gadis Brasil?”

“Tidak. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Aku hanya coba menebak dari warna kulit yang agak gelap kehitaman dengan rambut ikal. Perempuan seperti itu biasanya berasal dari Amerika Latin,” jelas Jennifer.

Hampir satu jam lamanya mereka berbincang-bincang santai. Terdengar suara mobil berhenti dari depan rumah.

“Sudah pasti itu lelaki tua,” pikir Jennifer menduga-duga.

Benar saja, beberapa detik kemudian lelaki itu muncul dari balik pintu berjalan dengan elegan sambil membawa koper hitam. Jennifer tak menyambutnya, ia tak mengacuhkan kedatangan lelaki berpakaian jas hitam tersebut.

“Jennifer,” panggil Alan Smith yang berdiri di antara mereka berdua.

Jennifer serba salah. Di satu sisi ia sedang dengan orang yang dicintainya. Di sisi lain, ia tak bisa menolak semua keinginan Alan Smith yang memberinya penghidupan. “Yes, Dad.”

Tiba-tiba saja Michael terdiam. Matanya liar memperhatikan koper yang tengah dijinjing oleh lelaki yang belum ia ketahui namanya. ‘Mungkin orang ini yang pernah Jennifer ceritakan tentang orang tua angkatnya.’ Michael berdiri berhadapan dengan lelaki tua tersebut kemudian berpamitan pergi dari hadapan mereka berdua.

Alan Smith mempersilakan kepergian Michael. Sementara wajah Jennifer merasa kebingungan, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Menahannya atau membiarkan Michael pergi.

Suara mobil dari luar terdengar lagi, kali ini bukan untuk kedatangan melainkan kepergian. Kepergian sosok orang yang Jennifer cintai, Michael.

Setelah beberapa menit sampai suara mobil tak terdengar lagi, Alan Smith duduk di tempat bekas Michael. Masih terasa hangat. Kemudian ia membuka koper yang sedari tadi di bawanya.

“Ini untukmu,” kata Alan Smith sambil membuka kopernya memperlihatkan sejumlah uang. “Tiga juta dolar jumlahnya. Tolong kamu simpan di rekeningmu dulu, atau kau bisa pakai untuk keperluan yang lain.”

Jennifer tercengang melihat dan mendengar jumlah uang sebesar itu. Ia tak percaya dengan nominal sebesar itu untuk dirinya. “Dari mana uang ini didapatkan?”

“Jangan banyak tanya. Lakukan saja apa yang aku katakan!” perintah Alan Smith, matanya menatap tajam bola mata Jennifer yang masih terbelalak. “Atau kamu bisa menyimpannya secara perlahan, jangan semuanya. Bank akan curiga jika kamu masukkan semua.”

“Baiklah, akan aku lakukan sesuai permintaanmu, Sayang.”

“Setelah melihat uang, baru kamu memanggilku ‘sayang’. Saat tadi pertama melihatku apa yang kamu katakan? ‘Dady’?” sindir Alan Smith mengernyitkan keningnya.

“Maafkan aku ... aku tidak bermaksud untuk merendahkanmu dengan panggilan ‘Dady’. Aku hanya mencoba agar temanku tidak curiga dengan kehadiranmu.” Jennifer membela dirinya. “Dia memang mengetahui kalau aku pelacur, tetapi ia tidak mengetahui kalau aku simpanan seorang pejabat sepertimu.”

“Aku percaya pada dirimu. Tapi jangan pernah beritahu siapa pun tentang kita. Jika saja rahasia ini terbongkar ke publik, nyawamu sebagai taruhannya!” ancam Alan Smith dengan wajah serius. Ia memang tak main-main jika berbicara, ia pernah membunuh salah satu rivalnya di dunia perpolitikan yang ingin membocorkan aibnya. Tidak terlalu sulit bagi Alan kalau hanya menyingkirkan seorang gadis lemah seperti Jennifer jika rahasia ini terbongkar.

Jennifer mengangguk pelan. Rasa-rasanya ini menjadi rahasia yang besar jika dibocorkan kepada publik, apalagi kepada Michael yang statusnya seorang jurnalis. Mungkin ia dan Michael akan mati konyol.

Alan Smith menuangkan minuman yang masih tersisa di dalam botol yang Jennifer suguhkan kepada Michael. Ia meneguknya dengan pelan namun pasti hingga tak ada yang tersisa di dalam gelas tersebut.
“Oh, ya. Aku akan mengirimkan uang dengan jumlah yang tidak tentu kepadamu. Ini hanya awalan dari rahasia kita,” sambung Alan Smith.

Lagi-lagi Jennifer mengangguk pelan. Ia menutup koper lalu berdiri. Tangannya mengangkat koper berisi uang tiga ribu dolar dengan santai menuju kamarnya lalu memasukkan uang tersebut ke dalam sebuah brankas rahasia di balik lemari kayu. Rumah pemberian Alan Smith ini ternyata sudah menyediakan tempat-tempat rahasia, termasuk brankas.

Black  Business: Lady Escort √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang