Part 6

2.8K 86 6
                                    

Jennifer berjalan pelan mengikuti pria itu. Ia tak tahu ke mana akan dibawa pergi, namun yang pasti ia akan dibeli oleh pria itu dalam satu malam dan ia harus memuaskannya. Mobil melaju dengan kencang melewati gedung-gedung tinggi yang menjulang ke langit. Tak ada sepatah kata yang keluar dari kedua bibir mereka selama dalam perjalanan. Jennifer lebih fokus melihat ke sebelah kanan jalan, menembus kaca gelap. Sedangkan pria itu menatap jalan, tak pernah melirik ke sampingnya.

Tiba di suatu tempat, Jennifer turun sendiri. Tak seperti pria-pria sebelumnya yang mengajaknya berkencan, lelaki yang satu ini lebih banyak diam dan seolah dingin.

“Michael, kamu mau membawaku ke mana?” Jennifer membuka suaranya setelah sekian lama diam. Ia memperhatikan di sekelilingnya, tampak keheranan dengan maksud dari Michael yang membawanya ke sebuah taman bermain. Di mana taman-taman tersebut banyak anak-anak remaja yang berpasangan.

Michael tak menggubris, ia berjalan lurus meninggalkan Jennifer yang masih terpaku melihat situasinya yang berbeda.

“Michael, dengarkan aku. Mau kamu apa sekarang? Kau tak menikmati tubuhku layaknya seorang wanita jalang?” Jennifer tak bisa menyembunyikan emosinya. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang akan Michael lakukan.

Michael berhenti tepat di depan bangku panjang yang kosong. Kemudian ia duduk bersandar pada besi di belakangnya. Jennifer mengikuti Michael, ia duduk di sampingnya.

“Berapa tarif per malammu?” Michael menatap tajam pada Jennifer yang tengah kebingungan. Jennifer tak bisa menjawabnya, ia menatap kelopak mata Michael. Kini mereka beradu pandang. “Kenapa tidak menjawab?”

“Kamu yakin bisa membayarku malam ini?” Jennifer menghela napas sesaat. Matanya terpejam, kemudian melek kembali. “Tiga ribu dolar,” sahutnya dengan wajah yang sedih.

“Aku tidak bisa memberikanmu uang sebanyak itu tiap hari. Tapi setidaknya untuk malam ini aku punya lima ribu dolar,” ucap Michael penuh percaya diri. “Dan aku akan membayarmu, membayar waktumu satu malam saja.”

“Waktuku?” Jennifer menyeringai, ia semakin tidak mengerti dengan pembicaraan Michael. “Kamu sedang tidak mabuk, kan?”

“Tidak,” ucap Michael singkat.

“Lalu untuk apa waktuku? Dasar aneh!” Jennifer menyeringai. Ia tersenyum simpul, wajahnya penuh dengan ejekan kepada Michael.

Michael hanya tersenyum mendengar perkataan Jennifer, ia tak sakit hati sedikit pun. “Aku memang aneh, menurut orang lain. Tapi tidak dengan diriku sendiri.”

“Kamu bayar aku semahal itu, lalu tidak memakai tubuhku untuk meluapkan hasratmu? Aku pikir kamu benar-benar tidak normal!” Kembali ejekan Jennifer terlontar begitu deras untuk Michael.

“Aku tidak harus menikmati kamu. Aku hanya perlu waktumu saja. Memakai waktumu di jam kerja sama saja aku memakaimu. Bukan begitu?” Michael membalikkan pertanyaan kepada Jennifer.

“Ya-Ya-mungkin ... mungkin iya.” Jennifer terbata-bata menjawab pertanyaan dari Michael.

“Bagiku kamu seperti orang yang sedang berdagang, dan badanmu sendiri adalah dagangannya. Mengganggumu saat berdagang artinya aku harus membayar waktumu yang telah kuambil.” Michael mengguri Jennifer. “Jennifer?”

Yes ...,” lirihnya.

Im sorry ....”

“Untuk?”

Michael berhenti, ia tak menjawab pertanyaan Jennifer. Kata selanjutnya yang akan ia ceritakan justru membuatnya ragu untuk jujur. Michael lebih memilih untuk menutupnya rapat-rapat, menunggu waktu yang tepat untuk ia bicarakan kepada Jennifer.

Sekejap kemudian mereka saling diam. Tak ada sepatah kata pun yang mengusik dari keduanya. Mereka berkutat pada pikirannya masing-masing. Jennifer penasaran apa yang akan Michael katakan. Michael pun demikian, ia bingung harus berkata dari mana dahulu.

Musim panas di Amerika Serikat tampaknya semakin dekat, terlihat dari bulan dan bintang yang bermunculan di langit Paman Sam tersebut. Mereka saling memandangi sembari memikirkan perasaan satu sama lain dan saling menduga.

Michael berdiri dari duduknya, membuat Jennifer sedikit terkejut.

“Mau ke mana?” tanya Jennifer memperhatikan Michael sesaat.

“Diam di sini, aku akan membeli minuman untuk kita.” Michael melanjutkan langkahnya meninggalkan Jennifer yang masih duduk.

Beberapa detik kemudian, Michael hilang dari pandangannya. Ia menunggu seorang diri di tengahnya pekat malam yang sunyi sepi. Tiba-tiba saja telepon genggamnya berbunyi.

“Jennifer ... sedang berada di mana? Kamu lupa dengan tugasmu?” suara dari balik telepon terdengar begitu nyaring.

Jennifer mengembuskan napas panjang, seperti sangat kelelahan. “Maaf, Mami ... aku sedang ada client.”

“Itu bukan urusanku. Lagi pula kamu menjadi pelacur bukan untuk memuaskan semua orang. Sekarang, kamu pulang dan datanglah ke kantorku!” Sebuah ancaman dan sindiran keras bagi Jennifer. Mau tidak mau ia harus mengikuti keinginannya.

Jennifer mematikan teleponnya. Ia bergegas bangkit lalu keluar taman dengan cepat. Kemudian mencari sebuah taksi untuk mengantarnya ke kantor kecil di pesisir New York.

Setengah jam berlalu, sekitar pukul 01.30 dini hari ia telah tiba di depan kantor. Kemudian memasuki ruangan dengan terburu-buru. Langkahnya tergopoh-gopoh dengan deru napas yang tidak teratur. Saat membuka pintu, ia mendapati satu orang perempuan yang disebut ‘Mama’ oleh Jennifer dan satu orang lagi lelaki berbadan tegap dengan cukuran rapi, memakai dasi dan jas hitam ala pejabat.

“Maafkan, aku—“

“Sudahlah, sekarang kamu harus ikut dengan beliau!” perintahnya dengan mata tajam.

Jennifer yang baru saja sampai pun harus rela balik lagi ke halaman parkir dan ikut bersama lelaki berbadan tegap tersebut. ‘Kapan semua ini akan berakhir,’ pikir Jennifer tak kuasa menahan keluh kesahnya.

Tidak lama, mobil yang membawanya berhenti di sebuah perumahan besar nan megah. Sebuah kompleks perumahan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Dan rata-rata masyarakat sipil tak mungkin bisa memilikinya.

“Ayo, masuk!” perintah lelaki itu lalu berjalan di depan Jennifer.

Ia mengangguk lalu mengikutinya dari belakang. Langkahnya sedikit dilambankan agar ia bisa leluasa melihat ke sekeliling.

Lelaki itu keluar dari salah satu ruangan rumah. Membawa amplop besar berwarna cokelat ke hadapan Jennifer yang maish berdiri mematung.

“Silakan duduk. Anggap saja rumah sendiri.”

Lagi-lagi Jennifer mengangguk, ia duduk pada sebuah sofa yang sangat empuk. Hampir tidak pernah ada yang mencobanya karena semenjak membeli rumah ini dibiarkan kosong tak berpenghuni.

“Begini ... aku akan memberikan rumah ini untukmu,” ucap lelaki itu tiba-tiba membuat Jennifer hampir pingsan. “Rumah ini juga telah aku sertifikatkan atas nama dirimu.”

“Aku boleh tinggal di sini?”

“Tentu, ini rumahmu sekarang.” Lelaki itu menberikan berkas-berkas berisi hak kepemilikan rumah di kompleks elit New York.

Black  Business: Lady Escort √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang