Part 4

3.8K 83 3
                                    

Jennifer menghentikan taksi yang berjalan lambat, ia meminta untuk diantarkan menuju hotel yang sudah dijanjikan oleh seseorang lewat pesan singkat. Sopir itu mengangguk pelan lalu mengantarnya hingga depan pintu hotel.

Ia berjalan santai menuju lobi hotel, belok kanan menuju lift lalu menaikinya hingga ke lantai empat. Tempat di mana seorang itu menunggunya.

Jalan beberapa langkah dari pintu lift, ia mengetuk kamar hotel. “Excuse me, Jennifer.”

“Oh, ya ... silakan masuk,” kata seorang lelaki dari balik pintu kamar.

Jennifer membukanya pelan, seorang lelaki putih berbadan gemuk terlihat bersantai di atas kasur hanya mengenakan celana dalam saja.

“Anda memanggil saya, Tuan?” tanya Jennifer kaku melihat lelaki itu sudah bersiap tanpa pakaian.

Pria tersebut tersenyum nakal, kemudian bangkit dari tempat tidurnya mendatangi Jennifer yang masih berdiri di samping pintu. “Ya, aku menunggu hampir satu jam.”

“Maafkan saya. Saya—“

“Tidak apa-apa. Yang penting sudah sampai di sini.” Ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat, lalu menekan tombol kunci.

Tidak berapa lama, ia dapat menelanjangi Jennifer dengan cepat. Sebuah adegan yang dilakukan secara berdiri bersamaan. Tanpa perasaan ragu, Jennifer pun melayani lelaki hidung belang itu.

Cepat, tidak butuh waktu lama. Jennifer kembali lagi menuju Pedro Moris. Malam ini ia telah memuaskan satu laki-laki hidung belang yang kaya raya begitu cepat. Sehingga honor yang ia terima pun begitu besar, lima ribu dolar Amerika dibayar dengan tunai, tanpa transfer melalui rekening lagi.

Raut wajah yang ceria dengan mata berbinar-binar menghiasi ruang diskotek. Sambutan dari teman-teman dan koleganya membuat ia semakin bahagia malam hari ini.

“Sudah dapat berapa pelanggan?” tanya koleganya, seorang lady escort juga.

“Hanya satu, dan kurasa itu sudah cukup. Tak perlu banyak-banyak, aku tak sanggup melayani tiga lelaki sekaligus,” jelas Jennifer disertai senyuman genit.

Jennifer melihat sebuah jam tangan mungil yang terletak di lengan kirinya. Angka jarum jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari waktu New York. Masih terlalu siang untuk seukuran wanita malam. “Masih dini untuk pulang,” pikirnya.

Satu per satu temannya dijemput oleh lelaki. Hanya menyisakan ia sendiri dan bartender yang asyik memainkan botol bir. Ia berdiri, kemudian duduk di depan meja bar.

“Mau pesan apa, nyonya Jennifer?” tanya bartender melihat ke arah Jennifer sekejap, lalu kemudian fokus melempar-lempar botol lagi.

“Whiskey satu, Jo.”

“Siap, Sayang.” Jonathan menuangkan minuman pada gelas kaca. Ia berhenti sejenak dari atraksinya lalu menatap Jennifer tajam. “Kamu tidak ada job?”

Jonathan adalah lelaki satu-satunya yang dekat dengan Jennifer. Ia mengetahui cerita latar belakang hidup Jennifer, dan orang satu-satunya pula yang sering kali membantu mengerjakan tugas kuliah milik Jennifer.

“Sudah,” ucap Jennifer datar, ia meneguk minuman yang telah disediakan oleh Jonathan. “Lelaki tua bangka tidak mampu bertahan lama, ia lebih dulu klimaks dari pada aku.”

“Lalu?” Jonathan fokus mendengarkan kelanjutan cerita dari Jennifer.

Jennifer menyeringai. “Tugasku selesai, dan aku menerima uang imbalan dari lelaki payah itu.”

“Maksudku ... lalu kau sekarang masih ingin mencari pelanggan?”

Senyum mengejek keluar dari bibir manis Jennifer. “Tentu tidaklah, bodoh. Satu pelanggan saja sudah lebih dari cukup untuk membayar sebotol minuman.”

“Bagus ...” Jonathan mengangguk. “... lebih baik sekarang kamu pulang agar besok bisa kuliah dengan badan yang lebih segar.”

“Baiklah, terima kasih sarannya.”

Jennifer membayar segelas minuman, lalu keluar dari diskotek dengan perasaan yang malas. Ia sering kali lebih suka bermain di luar dari pada harus berdiam diri di dalam apartemennya.

Ia melihat jam tangannya lagi, waktu hanya berjalan 30 menit sejak terakhir ia melihatnya tadi. Sementara matanya masih terlihat segar, tak mungkin bisa langsung tidur ketika sampai di apartemennya.

Jennifer putuskan untuk berjalan kaki menuju apartemennya, melewati gang sempit yang gelap di tengah malam tak membuatnya merasa takut. Tak ada ancaman kejahatan di kota ini.

Menyusuri trotoar jalan, melihat keindahan malam dengan kilauan bintang di langit dengan berjalan kaki membuat pikirannya segar kembali. Sudah berapa lama ia tidak pernah melakukan seperti ini, berjalan kaki menikmati angin malam. Ditambah lagi dengan sorotan lampu jalan dan sinar lampu kendaraan, semuanya begitu teramat damai.

Hampir satu jam lamanya ia berjalan kaki, sampailah ia di apartemennya. Seharusnya tidak begitu lama jarak yang ia tempuh, hanya saja Jennifer berjalan sangat lamban karena sesekali berhenti di tepian trotoar. Mengenang kembali saat ia keluar malam terakhir kalinya bersama mantan kekasihnya.

Tibanya di atas kasur, ia merebahkan tubuhnya. Matanya terpejam begitu cepat.
Keesokan paginya, Jennifer menyusuri lorong kampus yang menghubungkan ke ruang fakultas. Sebuah lorong yang tidak begitu lebar sehingga harus jalan pelan dan saling berdesakkan.

Michael melihatnya dari belakang, memperhatikan dengan saksama seorang gadis berambut pirang tersebut. Setelah cukup lama memastikan kalau itu Jennifer, barulah ia memanggilnya, “Jennifer!”

“Hey, Michael.”

Michael berjalan menghampiri Jennifer. Ia memandang matanya dalam-dalam. Sekarang, mereka saling beradu pandang.
“Ada apa? Apa yang salah denganku?” Jennifer membuka suara.

Michael tertawa kecil. “Tidak ada. Aku hanya memastikan kalau kamu semalam tidur.”

“Menurutmu?” Jennifer mengernyitkan dahinya.

“Aku tidak melihat mata merahmu lagi. Lalu wajahmu tidak pucat seperti kemarin. Artinya kamu semalam tidur.”

Jennifer tersenyum. “Kamu pikir aku seorang perempuan malam, selamanya tidak pernah tidur malam?”

“Pikirku, ya,” ejek Michael. “Ada acara apa hari ini?”

Ia menggelengkan kepalanya spontan. Kemudian menjawab, “Tidak ada. Hari ini aku bebas ... untuk tidur.”

“Aku akan mengajakmu!”

“Ke mana?”

“Ayolah, ikut saja denganku. Jangan banyak tanya.”

Michael menarik tangan Jennifer, membawanya ke lahan parkir untuk mencari mobilnya. Setelah menemukannya, ia mengajak Jennifer untuk ikut masuk ke dalam mobil, kemudian menuju tempat tujuan yang Michael maksud.

Black  Business: Lady Escort √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang