Part 2

6K 127 11
                                    

New York.

Impitan gedung-gedung tinggi menjulang menembus langit terdapat sebuah gedung kecil namun sederhana, terlihat ramai dari luar. Mobil-mobil sedan kelas atas sudah terparkir dengan rapi di depan gedung itu. Dari depan pintu masuk, terpampang sebuah papan besar bertuliskan nama gedung tersebut.

‘Pedro Moris’

Pedro Moris adalah sebuah bar yang belum lama dibuka. Target utama pengunjungnya adalah pejabat-pejabat pemerintahan dan para pengusaha. Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, tidak menerima.

Seorang gadis berumur belasan tahun, berpakaian sangat seksi, memakai hot pants dengan atasan yang menonjolkan kedua belah dadanya duduk bersantai sambil berbincang-bincang dengan seorang pria paruh baya. Dari kedua bibirnya mengapit sebatang rokok, melepasnya lalu menyemburkan asap pekat memenuhi ruangan itu.

“Berapa honor semalam untukmu?” tanya seorang pria berdasi. Seorang pejabat yang baru saja mencoba dunia malam, melobi salah satu lady escort.

Lagi-lagi gadis itu tersenyum kecut, menghisap kembali rokok yang tersisa di antara belahan jarinya. “Sanggup bayar saya berapa, Tuan?”

“Berapa pun yang kamu mau, saya bisa memenuhinya. Asal saya bisa puas malam hari ini.”

“Tiga ribu dolar?” tawar gadis itu coba membuka harga.

“Dua ribu,” tawar pria berdasi dengan raut wajah meyakinkan.

Gadis itu tersenyum kecut. Seolah mengejek pria paruh baya yang mengajaknya berbicara. “Maaf, Tuan, kami bukan barang yang bisa dinego. Kalau mau tiga ribu, saya temani.”

Pria tadi berpikir keras menerima harga yang diajukan oleh lady escort. Harga segitu memang tak ada apa-apanya dibanding gaji dia yang diterima dari pemerintah, belum lagi dari uang tambahan, tentu tidak ada apa-apanya.

Sesekali pandangannya menatap paha mulus gadis escort yang terbuka lebar. Tak jarang ia menelan ludah menikmati boddy seksi. Fantasinya liar, pikirannya tak lagi jernih saat suara musik yang DJ mainkan menggelegar menembus telinga.

“Baiklah, saya terima tawaranmu. Tiga ribu dolar akan saya transfer ke rekeningmu. Siapa namamu?”

“Jennifer.” Ia membuka tas lalu mengambil ponselnya dari dalam. Menunjukkan nomor rekening yang ada di balik layarnya.

“Saya George.” Dia menerima ponsel Jennifer lalu mulai mengetikan satu per satu nomor rekening yang akan ditransfer sejumlah uang dari rekening pribadinya. Tak lama, ia menunjukkan bukti transfer telah selesai.

“Ok.” Jennifer mematikan rokoknya yang hampir habis.

Mereka berdiri. George menarik tangan Jennifer pelan, membantu mengarahkan langkahnya menuju lahan parkir. Beberapa menit kemudian, mereka melaju di atas sedan hitam dengan begitu cepat menuju hotel berbintang.

Hotel yang sudah biasa dijadikan ajang prostitusi terselubung. Tak heran hotel ini pun harganya sangat fantastis. Jarang-jarang ada orang yang bermalam di sini kecuali orang-orang yang sudah kebanyakan uang. Dengan fasilitas bintang lima, hotel ini aman dari razia polisi malam. Maklum saja, hotel ini selalu memberi pajak pada pihak kepolisian New York.

George melakukan check-in kepada pelayan hotel, beberapa detik kemudian ia menggandeng gadis escort menuju kamar hotel yang telah di sediakan.

Kasur empuk berbalut kain putih, kamar mandi dilengkapi swoher, dan tatanan lainnya yang membuat kamar ini terlihat megah bak sebuah istana. Jennifer dilempar dengan kasar ke atas kasur. George yang telah lama memendam hasrat pun dibuat gila, seperti kuda yang lepas dari kandang, sangan brutal. Secepat kilat ia melucuti pakaian Jennifer hingga ia telanjang tanpa sehelai benang yang menutupi tubuhnya.

Tidak sampai pagi, acara penginapan telah usai. Jennifer diantar kembali ke diskotek tempat ia berdiam sebelumnya.

Pukul 04.00 waktu New York,  para pengunjung sudah sepi. Hanya beberapa orang saja yang masih menikmati alunan musik khas disko.

“Terima kasih, Sayang, telah menemani saya di malam hari ini. Sangat puas sekali rasanya,” puji George sambil mengecup kening Jennifer.

“Sama-sama, Tuan.” Jennifer tersenyum kecut. Ia merasa risi karena tangan George terus saja melingkar di pundaknya. “Tolong lepaskan tangannya, bisa?”

George melepaskan lilitannya. Ia berdiri menuju meja bar untuk memesan dua gelas minuman jenis Whsikey lagi sebelum ia pamit pulang.

Saat semuanya sudah benar-benar pergi dari diskotek, Jennifer masih duduk sendirian. Ia termenung seorang diri tanpa ditemani oleh siapa-siapa. Hanya sebuah rokok yang masih setia menemaninya.
Dari pintu masuk seorang perempuan lebih tua muncul di hadapannya.

“Jennifer.” Perempuan itu mengejutkan Jennifer yang tengah melamun.

“Ya, Ma.” Jennifer bersikap tenang, matanya sayu menahan kantuk semalaman bermain dengan lelaki tua tadi.

Perempuan yang tidak diketahui namanya itu duduk di hadapan Jennifer. “Berapa orang malam hari ini?”

“Apa itu penting bagimu?” Jennifer sedikit emosi saat perempuan itu bertanya tentang pelanggan. “Bukankah yang terpenting setiap hari saya kasih uang? Benar begitu?”

Perempuan itu tersenyum.

Jennifer mengeluarkan dompet dari tas mungilnya, ia mengambil uang dari dompet lalu memberikannya kepada perempuan itu. “Ini jatahmu.”

***

Tak ada yang istimewa dari Jennifer. Ia seorang mahasiswi di salah satu universitas milik pemerintah. Hidupnya sebatang kara, jauh dari pengawasan orang tua. Apartemennya pun sangat kecil, tak jarang jika ada teman-temannya yang berkunjung selalu ditolak dan meminta bertemu di luar saja.

Dalam urusan percintaannya pun tak begitu indah. Ia pernah percaya dan menaruh perasaannya kepada seorang lelaki asal Australia yang sekolah di Amerika, namun cintanya harus pupus ketika lelaki itu harus pulang dan tak pernah kembali lagi.

Pukul setengah 5 sore ia bangun, lalu melakukan aktivitas seperti biasanya, menjadi seorang lady escort di sebuah klub malam. Terkadang jika ada kelas kuliah, ia harus rela tidak tidur setelah bekerja.

Sama halnya seperti hari ini, ia rela tak tidur hanya untuk lanjut kuliah lagi. Dalam pikirnya tak peduli selelah apa pun, yang terpenting adalah bisa mendapatkan gelar dan menerima pekerjaan lebih baik lagi.

Mata bulat memerah dengan wajah yang pucat pasi tak bisa ia tutupi. Meski harus senyum tapi rasa lelah tak bisa dibohongi. Seperti bunga layu yang telah lama kekeringan.

“Kamu baik-baik saja, Jennifer?” seorang lelaki menyentuh pundaknya dari belakang.

Spontan Jennifer yang memegang kepala berbalik menatap lelaki itu. “I’am ok. Thank you.”

Lelaki itu pun tersenyum mendengar jawaban Jennifer. Ia lanjut berjalan mendahului Jennifer yang masih berdiri sambil memegangi kepalanya yang pusing.

Black  Business: Lady Escort √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang