Part 22

497 17 0
                                    

Jennifer menatap jendela kamar yang menghubungkan pandangannya ke arah pusat kota New York tanpa sehelai benang pun. Ia merindukan sosok Michael yang tak kunjung pulang, sementara pesan yang ia kirimkan belum terbalas.

Perasaan sedih dan khawatir menyayat hatinya. Ia ingin menyusul ke kota Moscow tapi tak tahu alamat pasti, tak mungkin juga ia harus menjadi gelandangan di negeri orang. Sepinya malam membuat pikirannya melayang tentang Michael, ia benar-benar ingin menceritakan semuanya selama tak ada Michael.

Jennifer menuju tempat tidurnya dan membiarkan tirai jendelanya terbuka begitu saja, agar dia dapat melihat keindahan kota New York dan gemerlap bintang. Setidaknya untuk menghibur dirinya yang dilanda sepi.

Tidak terasa, air mata Jennifer jatuh begitu saja tatkala memejamkan mata. Pikiran-pikiran buruk pun melintasi di tengah malam.

Keesokan paginya ia terbangun masih dalam keadaan tanpa busana, menatap langit biru di kota New York. Tiba-tiba terdengar suara bel yang berbunyi. Dengan perasaan yang kalut ia turun ke bawah menemui tamu.

“Michael.” Jennifer tak bisa menyembunyikan antusiasnya saat melihat Michael berdiri di depan pintu. Kemudian Jennifer memeluk dengan erat.

Setelah melepaskan pelukannya, Michael menatap mata Jennifer yang lebam dan berair. “Kenapa kamu bersedih?”

“Tidak ... aku tidak sedih sama sekali. Air mata ini adalah rasa haruku saat melihatmu datang lagi ke sini.”

“Kau baru bangun?” tanya Michael melihat lekuk tubuh Jennifer tanpa busana itu. Ia menggelengkan kepala. “Aku tunggu di sini, kau mandi dulu.”

“Baiklah.” Jennifer menuju kamar, ia memakai kamar mandi yang berada di lantai dua, dekat kamarnya.

Sedangkan Michael masih duduk di sofa. Ia menyalakan televisi sekadar untuk membuang rasa sepi di rumah yang sebesar itu. Tidak lama kemudian Jennifer turun dari kamarnya, ia sudah berbusana seperti biasa, memakai jin pendek ketat.

Kali ini Michael menatap dengan pandangan yang berbeda. Belum genap satu minggu meninggalkan Jennifer, tampak ada perbedaan yang mencolok dari badannya. Ia bangkit menjemput Jennifer yang masih berjalan santai sambil membenarkan pakaiannya.

“Jen. Kau sakit apa?”

“Apa? Aku tidak sakit apa-apa.”

“Kau bisa saja berbohong kepada orang lain. Tapi tidak denganku. Aku bisa merasakan perbedaan.”

Jennifer bergeming.

“Baiklah kalau kau tidak mau bicara tentang penyakitmu. Tapi aku akan mencari tahu semuanya. Jika benar kamu sakit, aku sangat marah besar.”

Mendengar ancaman tersebut Jennifer tak tahu harus bagaimana lagi. Ia khawatir Michael akan meninggalkannya setelah tahu penyakit yang ia dera, atau marah karena ia tak mau bicara jujur. “Baiklah. Aku akan mengatakan semuanya kepadamu. Tapi kumohon jangan pernah menceritakan ini semua kepada orang lain. Cukup kamu saja yang tahu.”

“Aku berjanji!” Michael berjalan mengikuti Jennifer dari belakang, kemudian duduk bersebelahan di atas sofa.

Jennifer menarik napas kuat-kuat, kemudian mengeluarkannya perlahan. Napasnya terasa berat. “Aku terkena kanker.”

“Kanker?” kaget bukan kepalang. Michael seolah mendapat sambaran petir di siang bolong. “Ka-kanker apa?”

“Dua hari yang lalu vaginaku terasa sakit. Lalu aku cek ke dokter spesialis. Dia mengklaim kalau aku terkena kanker serviks.”

“Tidak ... tidak mungkin! Kau sedang bercanda. Katakan, Jen, kau sedang bercanda, kan?”

“Tidak!” Nadanya meninggi, menghentikan Michael yang tengah gugup. “Aku serius. Aku tidak bercanda tentang ini.”

“Kenapa bisa? Aku benar-benar tak percaya. Ini seolah mimpi atau kutukan!”

“Terima saja. Aku sudah merelakan sisa-sisa hidupku.” Jennifer berkata begitu tenang, tak ada keraguan sama sekali, justru melemparkan senyum manis ke arah Michael yang masih belum menerima kenyataan.

“Jangan berkata seperti itu. Kita akan menemukan caranya agar kau bisa hidup.”

“Telat, Michael ... aku menderita ini enam bulan lamanya. Aku menikmati sisa-sisa hidup ini karena sebentar lagi aku akan bertemu dengan orang tua di atas sana,” racau Jennifer semakin tak jelas, semakin menambah kepanikan Michael. “Aku juga sejak lama sudah tahu tentang misimu. Itu sebabnya aku ingin berteman denganmu sampai akhir hidupku, dan kau akan mengetahui semuanya.”

Michael tertunduk lemas. Ia benar-benar harus bersikap rasional dan menerima setiap keputusan yang menghadapinya. Suaranya tak terdengar lagi.

“Maafkan aku, Michael.”

“Maafkan aku juga. Seharusnya aku mengetahui perasanmu sejak pertama bertemu.”

Jennifer dan Michael saling diam. Mereka berkutat pada pikirannya masing-masing. Beberapa saat kemudian tiba-tiba Jennifer merintih kesakitan. Hal itu membuat Michael tersadar dari pikirannya. Ia melihat banyak darah yang keluar membanjiri jin ketat milik Jennifer.

Segera ia memangku Jennifer ke dalam mobil dan mengantarnya menuju rumah sakit terdekat. Beruntung, jalanan pagi ini tidak terlalu macet sehingga tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit.

Sementara Jennifer di dalam ruangan, Michael seperti orang yang kehilangan ketenangannya. Ia mondar-mandir di depan ruangan yang merawat Jennifer seperti setrikaan. Perasaannya terus saja dibalut kekhawatiran tentang Jennifer.

Seorang dokter yang memeriksa Jennifer pun keluar dari ruangan tersebut. Dengan cepat dia diinterogasi oleh Michael, “Bagaimana keadaan Jennifer, Dok?”

Wajah datar tanpa ekspresi ia keluarkan lalu menjawab, “Tidak apa-apa. Hanya saja Jennifer tidak akan lama lagi.”

“Maksud Anda?”

“Ya, Jennifer sudah terkena kanker stadium empat. Tidak banyak yang dapat kami lakukan.”

Michael terjatuh, badannya bersandar pada tembok, kakinya sangat lemas, ia tak mampu berdiri lagi setelah mendapat kabar tersebut. Dokter yang menangani Jennifer pun hanya mampu tersenyum kecut lalu meninggalkan Michael yang terduduk lemah. “Maafkan kami, Tuan.”

***

Sudah satu hari Jennifer tak kunjung sadar. Selang infus dan perlatan lainnya masih membelit pada tubuh yang lemah itu. Michael pun dengan setia menjaga dari balik ruang inap Jennifer. Hampir setiap waktu ia selalu berjaga, kadang kala mengintip dari balik kaca yang tersedia di daun pintu untuk melihat kesehatan Jennifer.

Meskipun letih, Michael tak menghiraukan kesehatannya. Yang paling penting Jennifer bisa kembali bangun dan melepaskan peralatan medis yang sedari kemarin melilitnya. Michael lebih banyak diam, tak seperti biasanya, matanya selalu berkaca-kaca saat menatap orang yang ia sayang berbaring lemah.

Keajaiban terjadi begitu saja, saat Michael melihat keadaan Jennifer, ia menemukan mata Jennifer terbuka. Dengan perasaan yang bercampur aduk, Michael memanggil Dokter untuk memastikan keadaannya lagi.

“Aku senang kau sudah sadar, Sayang,” lirih Michael berbisik. Namun Jennifer tak mengindahkannya. Mulutnya masih lemas tak banyak bicara.

“Mohon maaf, Tuan. Bisakah Anda jangan dulu mendekati pasien. Soalnya ia belum pulih benar dalam masa kritisnya,” pinta Dokter pada Michael. Kemudian menyuruhnya untuk pergi dari dalam ruangan tersebut.

Black  Business: Lady Escort √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang