Part 12

1.2K 39 14
                                    

Urusan Alan Smith dan Jennifer berlangsung hingga berbulan-bulan tanpa diketahui oleh siapa pun termasuk Michael. Simpanan Alan Smith atas nama Jennifer di salah satu bank swasta daerah Amerika Serikat membengkak hingga pihak bank memutuskan untuk menghentikan penyimpanan dari gadis belia itu. Pihak bank enggan menanggung kerugian lebih besar dari bunga simpanan milik Jennifer.

Alan Smith yang juga pemilik uang tersebut berpikir ke mana uang itu akan disimpan. Sementara bank-bank sudah tak menerima karena takut rugi.

Di sebuah kantor parlemen Amerika Serikat, terlihat dua orang yang sedang berbincang-bincang sangat tertutup. Bahkan hampir tak ada seorang pun yang bisa mendengarkan percakapan mereka.

“Aku akan menyimpan ke mana?” Alan Smith gusar, ia tak bisa menyembunyikan rasa gelisahnya.

“Simpan semua uang kita di bank lain. Jangan terfokus pada satu bank swasta saja.” Seseorang yang misterius berusaha memberikan idenya. Topi fedora dan jas hitam menambah kesan misteriusnya. “Kalau tidak ada bank yang menerima uang itu ... buat saja modal untuk bisnis lain. Tetapi atas nama sipil,” sambungnya.

“Bisnis apa? Aku menghabiskan setengah dari total uang itu untuk membangun perusahaan makanan siap saji. Masih banyak sisanya.” Alan Smith semakin bingung. Tetapi ia harus mengikuti permainan dari seorang lelaki bertopi fedora tersebut.

“Kamu bisa membuat bisnis dari perjudian.”

“Maksudmu?” Ia merasa ragu dengan saran lelaki itu.

“Membuka praktik perjudian, kasino, atau apa pun yang menghabiskan uang sangat banyak dan mengembalikan dengan cepat pula.”

“Maksudmu aku harus menyuruh Jennifer untuk membuka perjudian kelas atas. Dan menjadikan dia peran utama dalam bisnis kita?”

“Tentu! Dia gadis yang sangat hebat, mempunyai bakat terpendam yang perlu kita gali.”

“Baiklah.” Alan Smith menuruti keinginan pria tersebut.

Meskipun Alan Smith menjadi pejabat di Amerika Serikat. Tak sedikit pula orang-orang seperti itu di belahan dunia. Mereka mempunyai jabatan yang tinggi, tetapi kekuasaan sepenuhnya bukan dari mereka, melainkan ada orang di belakang yang mengendalikannya. Jika saja mereka —Alan Smith — tidak menuruti keinginannya, kematian sudah menunggu di depan mata.

Beberapa hari berikutnya. Sebuah majalah mingguan Amerika Serikat menulis tentang perpindahan saham produk motor ternama. Seorang warga dari Los Angeles membeli saham itu dengan harga fantastis. Sontak saja kabar ini menarik perhatian dunia, termasuk negara-negara luar Amerika.

Seorang yang selalu memakai topi fedora itu menemui Alan Smith lagi di rumahnya, sebuah kompleks yang sangat mewah dari pada rumah Jennifer. Ia mengeluarkan uang yang masih rapi lalu melemparkannya ke hadapan Alan Smith. “Ambillah!”

“Untuk apa lagi?” Alan Smith mengubah posisi duduknya menjadi serius setelah tadi sedikit santai.

Lelaki tersebut masih berdiri melihat Alan. “Ambillah!” perintahnya terulang kembali. “Berikan kepada Jennifer agar hasratmu terpuaskan.”

“Tapi sekarang aku tak tahu dia ada di mana.”

“Dia berada di rumahnya. Sudah lama kamu tidak memakainya dan memberinya uang. Hanya sebatas memperalat dia sebagai bank-mu.”

Alan Smith terdiam. Pikirannya kembali terbang mengingat kapan terakhir kali ia berikan uang untuk Jennifer sebagai pelacur. Lama tak bersuara kemudian ia ingat sesuatu. ‘Hampir satu bulan aku tak memberi uang kepada Jennifer,’ pikirnya.

Ia bergegas pergi menuju kediaman Jennifer. Mobil sedan hitam membawanya begitu cepat menuju tempat Jennifer. Tidak sampai satu jam, Alan Smith telah tiba dan parkir di halaman rumahnya.

Beberapa kali ia menekan bel di depan pintu Jennifer namun tak ada jawaban. Untuk ke sekian kalinya hampir membuat Alan Smith putus asa dan membalikkan badannya. Namun suara pintu itu terbuka, seseorang dari balik daun pintu terlihat.

“Hay, Tuan.”

Ia membalikkan badannya, menatap gadis berambut pirang tersebut dengan mata yang sayu namun beringas. Kemudian ia berjalan menghampiri Jennifer.

“Ada apa?” tanya Jennifer lagi. Ia membuka lebar-lebar daun pintu itu kemudian melangkah memasuki rumah diikuti oleh Alan Smith.

“Sudah lama aku tidak menikmati dirimu,” jelas Alan Smith tanpa basa-basi lagi. Ia langsung saja mengutarakan topik yang hendak dimaksud.

“Aku pikir kau sudah lupa dengan diriku. Lagi pula ke rumahku hanya sekadar untuk memberikan dan menyuruhku menyimpan uangmu saja. Bukan begitu?”

“Ya. Aku seperti itu. Kamu benar.” Alan Smith duduk di sofa seperti biasa. Sementara Jennifer masih berdiri di hadapan lelaki tua tersebut. “Ini uangnya.”

“Untuk apa? Kau menyuruhku untuk menyimpannya lagi ke bank?” Jennifer memasang wajah kecut seolah mengejek lelaki tua bangka di hadapannya.

Alan berdiri. Ia mendekati Jennifer. Memaksa Jennifer untuk mundur dan terpojok ke dinding rumahnya. Tangan Alan mengusap pipi Jennifer dengan halus. “Apa yang kau inginkan sekarang, Tuan?”

Alan Smith menurunkan tangan kanannya, tetapi tangan kirinya masih menyentuh tembok untuk menahan pergerakan dari Jennifer. Ia tersenyum nakal dan berkata, “Aku hanya ingin menikmati tubuhmu. Dan uang itu untuk dirimu.”

Jennifer tak berkata apa-apa lagi. Ia selalu saja mengalihkan wajahnya acap kali tangan Alan Smith menyentuh kulit pipinya yang mulus. Beberapa detik kemudian, tangan Alan mulai menjelajahi tubuh Jennifer yang terdesak. Jari-jari liar mulai menari di atas pakaian slimfit milik Jennifer.

Dengan perlakuan seperti itu, lama kelamaan Jennifer luluh juga. Ia pasrah dengan perlakuan dari Alan Smith. Matanya terpejam, tak lama kemudian terbuka kembali menikmati perbuatan Alan Smith.

Wajah mereka saling berhadapan. Sesaat kemudian secara serentak memejamkan mata dan saling mendekatkan bibir. Belum juga sampai kedua bibir tersebut tiba-tiba saja suara dering ponsel milik Jennifer berbunyi dengan keras.

Mereka membuka mata kembali. Tangan Jennifer mengambil ponsel yang berada di saku celana jin yang dipakainya. Matanya menatap tajam kepada nama seseorang dilayar ponselnya. ‘Aku harus bagaimana?’ batin Jennifer.

“Siapa?” Alan curiga yang menghubungi Jennifer.

“Bukan siapa-siapa,” jawabnya dengan nada datar.

“Kalau bukan siapa-siapa. Lantas kenapa wajahmu terlihat begitu menegang?” Alan semakin curiga Jennifer menyembunyikan sesuatu darinya. “Angkat saja,” perintahnya lagi.

Jennifer menuruti perintah Alan. Ia menerima telepon tersebut dan terdiam beberapa saat sampai akhirnya di balik telepon itu bersuara.

“Jennifer, kau di mana?”

“A-aku—“

“R-U-M-A-H.” Alan mengeja kata-kata itu sangat pelan sekali, hampir tak terdengar.

“Di rumah,” jawab Jennifer kepada penelepon tersebut.

“Aku ingin bertemu di kafe. Nanti aku kirim alamatnya.”

“Baiklah, tunggu aku di sana pukul empat sore hari.” Jennifer mengambil waktu yang begitu lama agar bisa memuaskan Alan Smith terlebih dahulu. Ia tak mau jika menggantungkan perasaan seseorang, apalagi seorang yang memberikan segalanya untuk dirinya.

Alan Smith tersenyum. Kemudian bertanya lagi setelah telepon itu terputus, “Siapa dia?”

“Michael. Teman kuliahku.”

Black  Business: Lady Escort √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang