Part 3

4.6K 98 9
                                    

Saat jam kuliah sudah selesai, Jennifer tak langsung pulang begitu saja. Ia duduk di sebuah bangku taman sambil membaca buku. Sesekali mulutnya mengunyah roti untuk menahan rasa lapar dan kantuk semalaman belum tidur.

Di sampingnya sangat ramai sekali, kiri dan kanan tempat hilir mudik para mahasiswa. Ia terasing, bagai seekor kuda di tengah-tengah lingkaran singa.

Pandangannya jatuh pada seorang lelaki yang berjalan menunduk. Cepat-cepat ia habiskan roti lalu bangkit mengejar lelaki tersebut. Dengan langkah yang tergopoh-gopoh ia hampir mendekati lelaki itu.

“Tunggu!” teriak Jennifer menghentikan langkahnya.

Lelaki itu berhenti. Ia memalingkan wajahnya ke belakang, melihat arah suara yang bising memekakkan telinga. Kemudian ia tersenyum. “Memanggilku?”

Jennifer mengangguk, ia berjalan mendekatinya lagi dengan deru napas terengah-engah. “Siapa namamu? Tadi pagi kamu tahu namaku, tapi aku tidak tahu namamu.”

“Oh, sorry jika aku salah memanggilmu tadi pagi,” jawab lelaki itu mengulurkan tangan, “Namaku Michael. Aku tahu kamu dari teman-temanmu.”

Jennifer memandang Michael curiga. Ia menerima uluran tangan dari Michael kemudian berkata, “Aku Jennifer. Tidak ada yang salah dari panggilan tadi pagi. Aku hanya keheranan dari mana kamu tahu namaku.”

“Ada sesuatu di dunia ini yang tidak harus kita tahu lalu akhirnya kita menjadi tahu tanpa sadar, seperti namamu. Awalnya aku tidak pernah berpikir untuk mengetahuimu, tetapi akhirnya aku tahu.” Michael tersenyum manis. “Sudah selesai kuliahnya?”

Jennifer mengangguk pelan, ia mencerna kata-kata Michael barusan. Pikirannya tak lagi sehat, ia sudah sangat kelelahan sehingga sulit sekali berpikir cepat. “Sudah.”

“Boleh kita bicara? Mungkin di sana lebih baik.” Michael menunjuk pada sebuah bangku taman yang tadi sempat Jennifer duduki.

“Maaf, aku harus pulang. Aku perlu istirahat.”

“Baiklah, aku antar,” tawar Michael.
“Maaf, tidak bisa.”

Penolakan itu bukan terjadi pada Michael saja, tetapi banyak sekali orang-orang yang ingin mengantar Jennifer pulang tetapi selalu berakhiran sama. Lagi-lagi hanya karena faktor ekonomi dan kurang bagusnya apartemen yang ia sewa membuatnya malu.

Padahal dengan uang honor ribuan dolar dari setiap lelaki hidung belang per malamnya sudah cukup untuk tinggal di hotel bintang tiga atau apartemen yang lebih layak, tetapi uang itu hanya sekadar masuk lalu keluar lagi secepat kilat.

Jennifer tak tahu harus sampai kapan seperti ini. Jika setiap kali harus bersifat dingin terhadap laki-laki , tentu ia tidak akan mempunyai pasangan.

Sesampainya di apartemen, ia memandangi bingkai foto yang tersusun rapi di atas lemari kecilnya. Tangannya mengambil foto yang berisi seorang lelaki dan perempuan dengan pelukan mesra, serta seorang anak perempuan kecik dengan senyum manis tanpa kepalsuan.

Tak berapa lama, tangannya mengusap kaca bingkai lalu meneteskan air matanya.

“Seandainya saja semua ini tidak terjadi, tentu mama dan papa akan mendampingiku setiap hari, memberi semangat, menyediakan sarapan, hingga mendukungku ketika aku lelah,” pikir Jennifer.

Pikirannya terbang jauh mengingat masa lalu. Mengenang masa-masa indah saat kecil bersama keluarganya. Hidup di desa dengan mayoritas petani, membuat ia tak pernah berpikir akan terjun di dunia hitam. Bibirnya tersenyum manis kala mengenang itu semua.

Semuanya berubah tatkala ia mengingat kematian tragis orang tuanya. Kecelakaan dahsyat yang terjadi di sebuah jalan Las Vegas membuatnya harus rela kehilangan orang tua. Ia benar-benar tidak bisa melupakan itu semua.

***

Gemerlap lampu bar menghiasi langit malam hari ini, lantunan instrumen musik yang dimainkan oleh DJ semakin membuat malam terasa lebih hidup.

Orang-orang sudah berkumpul di Pedro Moris. Ada yang menikmati segelas bir, ada yang berjoget, ada pula yang hanya berbincang-bincang dengan koleganya.

Di tepian sudut bar, Jennifer mengembuskan asap rokok tebalnya ke langit. Beberapa kali ia lakukan seperti itu untuk menghilangkan kepenatan dalam hidupnya. Beberapa detik kemudian pandangannya jatuh pada seorang lelaki muda di depan meja bar.

Jennifer berjalan pelan, memastikan sosok lelaki yang sedang minum bir itu adalah orang yang ia kenal.

“Michael ...,” lirih Jennifer dari belakang.
Michael tersedak saat meneguk bir yang baru saja diberikan oleh bartender, ia kaget saat seorang memanggil namanya.

“Oops ... sorry.” Jennifer merasa bersalah. Tak seharusnya ia mengejutkan Michael dari belakang. Ia bisa muncul dari samping kiri atau samping kanan Michael agar tak terkejut.

“Tidak apa-apa,” sahut Michael. “Sedang apa kamu di sini?” Michael menatap pakaian Jennifer yang terlihat begitu seksi. Matanya tak henti-hentinya memandangi ujung bawah hingga ke ujung rambut.

“Aku sedang menikmati malam saja,” jawab Jennifer memaksa untuk menyembunyikan pekerjaannya. “Kamu sendiri, sedang apa di sini?”

“Tidak ada. Aku hanya rindu main ke tempat malam.”

“Oh, ya? Kapan terakhir kamu main ke tempat malam?”

Michael berpikir sejenak. Kemudian berkata, “Satu atau dua bulan yang lalu, mungkin ... aku tidak terlalu ingat.”

“Lumayan lama juga. Aku pikir kamu tidak pernah main ke tempat seperti ini.” Jennifer tersenyum simpul.

“Untuk seorang mahasiswa yang hidup di tengah-tengah perkotaan, apalagi di sebuah negeri yang menganut kebebasan, tidak aneh lagi bagiku,” jelas Michael membalas senyuman Jennifer.

“Mau menari denganku?” ajak Jennifer mengulurkan tangannya.

Michael menyambut baik ajakkan dari Jennifer, ia segera berdiri dan menerima uluran tangannya lalu berjalan ke tengah-tengah bar. Menggoyangkan tubuhnya mengikuti alur yang dibuat oleh disk jockey. Malam itu sangat-sangat meriah.

Beberapa menit kemudian Michael berpamitan lebih dahulu kepada Jennifer. Selepas kepergian Michael, ia duduk sendiri lagi pada kursi bar sambil menghisap rokok. Tidak sampai habis sebatang, telepon genggamnya berbunyi.

“Saya tunggu di hotel biasa malam ini. Saya harap Anda tidak ada kegiatan lain.” Jennifer membaca pesan singkat yang masuk. Sebuah pesan dari nomor baru yang belum ada namanya.

Jennifer tak berburuk sangka, ia malah tersenyum bahagia saat membaca pesan tersebut. Satu job lagi, ia memuaskan lelaki hidung belang. Dengan cepat ia bergegas, membereskan tas dan perlengkapan lainnya lalu keluar dari klub malam.

Black  Business: Lady Escort √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang