Part 15

942 35 0
                                    

Koran harian New York Times edisi Rabu mengeluarkan berita tentang gawatnya situasi di negara Amerika khususnya di New York. Halaman depan koran itu memberitakan tentang menjamurnya para pekerja seks komersial, hampir seluruh gang sempit nan gelap dipenuhi wanita jalang.

Hal itu bukan saja membuat kota New York kehilangan harga diri di depan wajah dunia, tetapi juga membuat Mc. Hayden selaku kepala negara Amerika Serikat geram. Dengan cepat ia mengutus ajudannya untuk memberi peringatan kepada Gubernur agar bertindak cepat, sebelum wabah pelacur semakin banyak.

Respons Presiden mendapat tanggapan yang sangat baik dari Gubernur. Ia segera memerintahkan kepolisian daerah New York untuk segera merazia dan merehabilitasi para pelacur jalanan itu. Dalam surat yang dibuat oleh Gubernur tersebut berisi memerintahkan kepada Kepala Kepolisian New York untuk membuat tim gabungan yang menyamar seperti preman untuk menyergap para pelacur.

“Edward.”

“Ya, Kepala.”

“Mark.”

“Hadir.”

Sekitar tiga puluh anggotanya diturunkan. Beberapa saat kemudian, aksi penyergapan terhadap pelacur itu mulai gencar dilaksanakan. Setiap jalanan yang sepi dan gang-gang yang kecil ditelusuri oleh polisi. Bukan saja di jalanan, mereka juga turun langsung menyerbu dari hotel ke hotel, memeriksa setiap tamu yang menginap. Jika bukan pasangan, mereka diangkut ke markas kepolisian untuk ditindak lanjuti.

Dalam operasi semalam saja, lebih dari 100 pelacur ditangkap. Sekitar satu minggu berlalu setelah operasi diberlakukan setiap malam, kota yang sejak dulu terlihat ramai dari angkasa kini mendadak sepi senyap bagai tak ada kehidupan. Tampak tak ada perempuan yang berani nongkrong atau sekadar mencari angin di malam hari. Hanya ada kilauan lampu dari sudut ke sudut yang menerangi malam itu.

Namun nahas, Jennifer yang sedang melakukan transaksi, memuaskan sang pembeli pun tak luput dari sergapan polisi. Ia dibawa paksa dari kamar hotel saat sedang beradegan intim dengan kliennya. Dengan hanya memakai celana jin pendek dan bra, ia digelandang hingga memasuki markas polisi.

“Apa kau ada hubungan dengan lelaki itu?” tanya polisi saat melakukan penyelidikan di kantor. Tangannya menunjuk pada seorang lelaki yang duduk di samping Jennifer.

“Tidak, Pak.”

“Lalu kenapa melakukan hubungan intim dengannya?”

“Saya kerja.”

“Kerjamu apa?”

“Memuaskan orang yang membeli saya!” tegasnya, tetapi tak berani menatap mata penyidik, ia lebih memilih menundukkan kepalanya ke bawah.

“Berarti Anda seorang pelacur?” Penyidik itu memastikan, ingin mengetahui dari ucapan Jennifer langsung.

“Ya, saya seorang wanita jalang.”

Penyidik itu mengalihkan pandangannya, ia berganti menatap wajah dari lelaki di samping Jennifer. “Berapa harga dia semalam?”

“Tiga ribu dolar.”

“Seberapa sering kau menggunakan jasanya?”

“Untuk dia, saya baru pertama kali.”

“Anda sudah berapa lama menjadi seorang wanita jalang?” Pandangannya kini berubah, menatap Jennifer kembali.

“Sudah lama, hampir empat tahun.”

Penyidik itu menggelengkan kepala, tampak tak percaya dengan ucapan Jennifer. Empat tahun menjadi seorang pelacur tidak pernah tertangkap sebelumnya.

“Baiklah, kalian gabung dengan para tahanan lainnya di belakang. Silakan pergi!” bentak penyidik dengan kasar, suaranya meninggi.

Sehari setelah penangkapan Jennifer, kabar itu mulai tersebar. Bukan Michael saja yang khawatir dengan kondisi Jennifer yang mendekam di panti rehabilitasi, melainkan para kolega dan juga Alan Smith.

Kabar-kabar itu semakin berembus kencang hingga sampai ditelinga orang misterius penyuka topi fedora. Ia mendatangi kantor polisi New York seorang diri. Jas panjang hampir sepaha dan topi fedora itu selalu setia menemani dirinya ke mana-mana.

“Selama malam. Ada yang bisa kami bantu?” tanya penerima tamu di kantor polisi tersebut dengan ramah.

“Saya ingin bertemu dengan kepala polisi di sini!”

“Tapi, Tuan —“

“Tidak ada kata tapi. Saya hanya berurusan dengan dia, bukan Anda,” potongnya dengan suara tinggi.

“Baiklah, saya akan memanggilnya.”

Polisi yang berjaga kemudian menekan tombol-tombol di telepon kantornya. Lama panggilan itu tidak ada jawaban, lalu kedua kalinya diangkat.

“Halo ... ya, ada apa memanggilku?” kata seorang di balik telepon.

Dengan menahan gemetar, pelayan itu kemudian menjawab, “Maaf, Pak, ada yang ingin bertemu dengan Anda.”

“Siapa? Malam-malam seperti ini tidak menerima tamu!”

Telepon itu dirampas dengan cepat oleh orang misterius. “Saya, Mr. K.”

Mendengar inisial yang disebutkan oleh orang misterius, tiba-tiba saja nada bicara Kepala Polisi Daerah itu bergetar hebat. Ia tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. “Ba-baiklah ... saya akan ke kantor.” Tiba-tiba telepon itu terputus.

Setengah jam menunggu, Mr. K duduk sendirian di bangku tamu. Ia mendengar suara mobil terhenti tepat di depan kantor. Mr. K bangkit, lalu berjalan menemui mobil yang berhenti.

“Ada apa, Mr. K?”

“Tolong keluarkan Jennifer. Dia adalah salah satu anak buah saya,” katanya dengan nada kesal, “Jika dia lecet atau tergores sedikit saja, kau harus siap menanggung risikonya!”

Ancaman itu membuat Kepala Polisi Daerah menciut. Ia khawatir kalau Jennifer merasa trauma atau luka, bisa-bisa ia dimutasi dari jabatan sebagai Kepala Polisi Daerah.

“Baiklah.” Ia berjalan dengan cepat menuju ke dalam kantor. Memastikan gadis belia itu tidak apa-apa.

Beberapa saat kemudian, ia membawa Jennifer ke hadapan Mr. K. Wajah Jennifer masih tertunduk, ia belum mengetahui jika akan dibebaskan.

“Jennifer,” ucap Mr. K.

Jennifer langsung saja melihat ke arah suara tersebut, ia merasa kenal dengan khas pita suara itu. Wajahnya di angkat hingga matanya menatap seorang lelaki. “Tuan,” jawab Jennifer setelah melihat Mr. K.

“Kau baik-baik saja?”

“Ya, Tuan. Aku baik-baik saja. Aku tidak apa-apa.”

“Sekarang kau bebas,” katanya lagi. Lalu kembali menatap Kepala Polisi. “Aku tidak akan membiarkanmu menangkap Jennifer.”

“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau gadis ini adalah anggota Tuan. Sekali lagi, maafkan saya.”

Mr. K mengangguk memasang tampang sinis kemudian tangannya menggandeng Jennifer memasuki mobilnya. Ia diantarkan hingga sampai ke rumahnya kembali. Berkali-kali Jennifer mengucapkan kata terima kasih saat di perjalanan karena telah membebaskannya dari jerat penjara. Namun Mr. K lebih banyak diam dan berkata sekiranya perlu dikatakan.

Black  Business: Lady Escort √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang