19. Si Mantan Bad Boy

247 26 5
                                    

XII Ipa 1.

Kelas yang dibilang 'titisan Einstein' atau apalah. Kelas yang katanya diisi oleh anak anak hits sombong dan punya reputasi bagus di sekolah. Kelas yang hampir perfect katanya.

Katanya..katanya...katanya.

Padahal,




Isinya makhluk titisan alien dari planet lain. Ok, gue akuin mereka pintar—kecuali gue—dan mereka pintar mungkin memang keturunan genetik kali ya? Yang gak perlu lagi baca baca buku. Beda sama gue yang kapasitas otaknya benar benar kentang.

Sekali lagi gue bilangin. Gue gak pintar, gak jenius, gak rajin. Gue biasa aja. Bahkan di sekolah lama gue cuma mentok di rank 20 besar.

Tapi semenjak gue tahu gimana kerasnya bertahan di kelas ini, gue jadi termotivasi untuk lebih giat belajar. Asek.

Sebenarnya bukan kelas ini yang terlalu pintar. Tapi memang guenya aja yang terlalu ampas.

Gue menyandarkan punggung ke bangku dengan menatap lurus papan tulis yang kosong. Badan gue lelah banget. Sama halnya kayak otak gue.

Belakangan ini gue selalu begadang buat belajar persiapan ujian nanti. Karena gue memang benar benar sudah bertekad sama diri gue sendiri untuk bisa lolos masuk ke universitas yang gue inginkan. Padahal sih Ujiannya masih lama.

Tapi gara gara begadang, mata gue justru jadi kayak mata panda. Hitam. Rambut gue cuma diikat asal. Poni gue berantakan, jadi diselipin aja ke kuping biar gak ribet. Kacamata udah gue lepas dan ditaruh diatas meja.

Penampilan gue benar benar berantakan. Jadi ingin cepat cepat pulang buat melepas rindu sama kasur. Belum lagi guling, selimut, dan bantal minion. Ahh... surga dunia.

Kepala gue berkali kali hampir jatuh karena saking kantuknya.

"Kenapa Ci? Ngantuk?"

Gue menoleh ke Rayana dan mengangguk. Sedetik kemudian gue menguap membuat Rayana tertawa.

Wah, keajaiban dunia. Seorang Rayana tertawa melihat gue menguap. Sayang, gak ada yang merekamnya tadi. Biar bisa gue tunjukin ke dunia kalau seorang Rayana bisa tertawa.

"Ikut gue yuk," ajak Rayana yang udah berdiri menunggu gue mengikutinya.

Gue mengernyit heran sambil mengambil kacamata, kemudian ikut berdiri. Lengan gue ditarik. Dia berjalan dengan cepat, bahkan dia gak kasih tahu dulu bakal bawa bawa gue kemana.

Kita berhenti tepat didepan ruang UKS. Tunggu, ini siapa yang sakit deh? Perasaan gue Rayana sehat sehat aja kok.

"Siapa yang sakit Ray? Lo?" Tanya gue bingung. Tapi Ray menggeleng.

"Di UKS adem. Pas buat tiduran, wi-fi nya juga gak dipassword kayak di ruang guru. Ayo buruan masuk," jawab Rayana santai kemudian membawa gue kedalam.

Seorang perempuan yang sepertinya salah satu penjaga UKS menyambut kami ramah. Dilihat dari wajah sepertinya dia masih muda dan gak beda jauh umurnya sama kita.

"Eh Ray? Mau ngadem lagi?" Tanya mbak mbak itu sambil tertawa. Sepertinya dia sudah kenal dengan Rayana.

Rayana tersenyum samar. "Iya mbak," jawabnya kemudian mulai menarik gue lagi.

Gue yang belum sadar sepenuhnya pun mengikutinya. Maklum, separuh jiwa gue masih ketinggalan di kelas.

"Tiduran aja disini jarang ada yang sakit jadinya sepi. Gak usah malu malu, anggep aja rumah sendiri." Kemudian Rayana mulai tiduran di salah stau ranjang dan langsung memejamkan mata.

Diary Of OceanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang