Extra Chapter | Posisi

159 17 7
                                    

"Kenapa? Kangen ya sama aku?" ledek Oci.

"Emangnya boleh?"

"Kenapa mesti izin?" Oci mengernyit.

"Ya kan saya bukan siapa siapanya kamu," ucap Kun.

"Loh? Kamu kan temen aku," jawab Oci kemudian terkekeh pelan.

Tiba tiba hening. Kun tidak berbicara apa pun dari seberang sana. Ya, keduanya tengah bertukar cerita lewat telepon. Ini sudah menjadi kebiasaan rutin bagi keduanya.

"Posisi saya belum bisa naik ya?" 

"Posisi? Posisi apa?" tanya Oci bingung.

"Enggak, bukan apa apa. Kamu kapan balik ke Bandung?"

"Belum tahu sih, umm...minggu depan kali ya?" Oci mendongak mengetuk dagunya dengan jari, matanya melirik ke jendela, sedang berpikir.

"Jangan lama lama ya, saya kangen." 

Oci tertawa pelan, ia sedang membayangkan wajah Kun yang tengah merengek dengannya seperti biasanya. Pasti lucu.

Tok Tok Tok

Suara ketukan pintu membuat Oci menoleh kemudian mendekatkan kembali handphone-nya ke telinga.

"Kun, aku tutup dulu ya."

Perlahan Oci turun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju pintu kamar. Pintu terbuka dan terlihat Arzi sedang berdiri menatap Oci. Kedua tangannya yang sibuk dengan dua cangkir berisi kopi.

"Belum tidur?" tanya Arzi yang dibalas gelengan kepala oleh Oci.

"Kenapa?" tanyanya lagi.

"Belum ngantuk."

"Kamu sendiri?" kini giliran Oci yang bertanya.

Arzi mengangkat kedua cangkir di tangannya sambil mengangkat bahunya. "Lagi cari temen ngobrol. Lo mau?"

Oci tampak berpikir sebentar lalu mengangguk sambil menutup pintu kamarnya perlahan dan berjalan mengikuti Arzi dari belakang.

Keduanya memilih duduk di gazebo yang berada tepat di belakang villa tempat keduanya mengobrol singkat kemarin.

"Gimana kuliahnya?" tanya Arzi, mencoba basa basi.

"Ya gitu, kamu sendiri?"

Garis bibir Arzi sedikit terangkat begitu menyadari perbedaan gaya bicara Oci yang sekarang. 

"Ya gitu," balas Arzi sambil menatap jahil Oci.

Oci melebarkan matanya kemudian mencibir.

"Kok ngikutin sih?"

Arzi tertawa melihat Oci yang mengerucutkan bibirnya sebal hingga mulutnya komat-kamit seperti mengatakan sesuatu yang tak bisa lelaki itu dengar.

Oci berdeham lalu menyesap kopi miliknya. Pikirannya melayang pada kejadian 2 tahun yang lalu. Disaat ia dan lelaki disampingnya masih berteman baik dan sampai akhirnya itu terjadi.

Lebih dari friendzone. Atau mungkin lebih tepat disebut hanya pelarian? Sakit memang. Tapi apa daya dirinya waktu itu baru pertama kali merasakan namanya cinta. 

"Lo, masih sama Elkan Ci?" tanya Arzi tiba  tiba membuat Oci tersentak.

"Sorry, tadi kamu ngomong apa?" Oci menatap Arzi dengan kedua alis terangkat.

"Lo masih sama Elkan?"

"Aku? Sama Elkan?" ulang Oci. Kemudian ia meringis. Gadis itu menatap langit yang gelap. 

Diary Of OceanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang