37. What's Wrong With Me?

119 11 1
                                    

"Assalamualaikum.." ucap gue sambil mengetuk pintu rumah Bara.  Liburan kali ini gue berencana untuk menginap di rumah Bara.  Fyi, Bara adalah sepupu terdekat gue yang tinggal di Bekasi. Masih satu provinsi sebenarnya, hanya saja kami jarang bertemu. Karena gue yang terlalu malas untuk bertemu sama sepupu laknat satu ini. 

Biasanya gue diantar ayah bunda kalau kesini. Tapi kali ini gue berangkat sendiri karena orangtua gue harus ambil rapot gue lalu berangkat ke Bangkok. Karena tiba tiba semalam ayah dapat telepon dari sekretarisnya kalau cabang perusahaannya di Bangkok mengalami kendala.

Tadinya gue ingin ikut ayah bunda, sayangnya gue udah terlanjur janji ke Bara bahwa gue akan berlibur di rumahnya. Fyi, gue sama Bara itu sebaya. Kayaknya gue udah pernah cerita ini deh.

Pintu terbuka pelan menampakan wajah seorang perempuan berumur yang wajahnya masih terlihat muda. Beliau Tante Nadine, mamanya Bara. Adik dari ayah gue. "Wa'alaikumsalam..eh Oci! Ayo masuk," ucap tante Nadine hangat.

Tante Nadine itu orangnya sangat hangat dan ramah dengan siapa pun. Cara bicaranya pun sangat lemah lembut. Sedangkan Om Hendra, ayahnya Bara adalah orang yang tegas. Namun, Om Hendra  tidak pernah menunjukan ketegasannya dengan gue. 

Karena Om Hendra itu menganggap gue seperti anak kandungnya. Maklum, Bara adalah anak mereka satu satunya. Jadi mereka gak punya anak perempuan. Sama halnya kayak Bara dengan ayah bunda. Orangtua gue sangat sayang dengan Bara karena menganggap Bara seperti anak kandung mereka.

Kini gue berada di ruang tengah kediaman Om Hendra. Duduk bersama tante Nadine, mengobrol tentang beberapa hal. Seperti, 'gimana sekolahnya?' 'udah dapat teman belum?' 'gimana kabar ayah bunda?'.

Tak lama terdengar suara decitan pintu. "Assalamualaikum bunda, Bara pulang!"

Kemudian terlihat Bara yang tengah berjalan melewati gue dan tante Nadine dengan wajah kusutnya. Sepertinya Bara belum menyadari kehadiran gue disini. Dengan iseng gue melemparkan sampah kulit kacang ke punggung Bara membuat orang itu menoleh lalu menatap gue kaget.

"Lo siapa?"


"Hah?!"




***





"Jadi ceritanya lo kesini karena patah hati?" ledek Bara membuat gue kesal.

Gue pun melempar bantal hingga mengenai wajah Bara. Dia pun meringis. Setelahnya gue tertawa.

"Kalau menurut gue, lo mending tanya dulu ke si...siapa itu namanya? Gazi? Bazi?"

Gue melirik sebal lalu memotong, "Arzi."

Bara menjentikan jarinya, "nah iya Arzi, mungkin aja waktu pensi dia ada kolaborasi bareng si Rumput." Gue memotong lagi, "namanya Puput, bodoh."

"Ya udah si maaf. Cogan mah bebas," balasnya dengan bangga. Gue pura pura muntah saat mendengarnya. "Btw, lo banyak berubah ya sekarang."

Gue meliriknya sebentar lalu kembali fokus pada game. "Berubah apanya?" tanya gue bingung.

"Banyak. Buktinya gue sampe pangling tadi gak ngenalin lo," kata Bara membuat gue makin penasaran. "Gue gak berubah kok," sanggah gue.

"Yang bisa menilai diri kita itu orang lain. Bukan kita," balas Bara sambil menjitak kepala gue. Tuman.

"Nih ya, sekarang lo udah gak pake kacamata nobita lo lagi. Cara berpakaian lo juga berubah, dan satu lagi. Lo makin banyak omong," sambungnya. Fyi, dulu gue sempat pakai kacamata hitam bulat besar sampai sampai Bara menyebutnya dengan 'kacamata nobita' karena gue saat itu ia nilai sangat mirip dengan karakter kartun dari Jepang itu.

"Lo udah dapet temen ya disana?" tanya Bara membuat gue bungkam. "Ci?" panggil Bara.

"Maybe..?" ucap gue ragu. Bara mangut mangut seolah mengerti. "Bagus deh, jadi lo gak nolep lagi."

Gue mulai diam saat Bara membahas kata 'nolep'. Sudah berapa lama sejak gue keluar dari zona itu? Gue sampai melupakan diri gue yang dulu. 

Sosok Oci yang nolep, cupu, ansos, sudah menghilang sepertinya. Dan ini karena mereka. Mereka, membawa gue ke lingkungan yang baru, suasana baru, dan sosok yang baru. Apakah gue harus bersyukur atas hal ini? 

"Bar," panggil gue dengan pandangan lurus ke jendela.

"Hah?"

"Salah gak sih kalau gue berubah kayak yang lo sebut tadi?" tanya gue sambil menatap matanya.

Bara menatap gue balik. Matanya yang tajam membuat gue sedikit takut berlama lama menatapnya. "Gue gak bisa jawab."

"Apa pun itu, baik buruknya cuma lo yang bisa rasain. Bukan gue," lanjutnya. Gue menghela napas panjang.

"Gue bingung. Di satu sisi gue kadang bahagia dengan diri gue saat ini. Tapi gue kadang juga menyesal karena udah berubah. Semenjak pindah, gue jadi tahu gimana rasanya punya teman banyak, bisa ngobrol banyak, dan..bisa rasain sakit hati juga. Gue bingung," ujar gue menunduk lesu.

"Sekarang giliran gue yang tanya. Lo bahagia gak dengan kehidupan lo sekarang yang punya banyak teman? Ci, Lo perlu ingat satu hal. Hidup itu gak melulu soal cinta. Ada banyak hal yang menunggu lo di luar sana. Jangan terpaku sama satu hal aja."

Gue tersentak mendengar ucapan Bara yang menyadarkan gue akan sesuatu.

"Lo...bener."



***



Gue terbahak bahak begitu duduk di sofa. Untung saja tante Nadine sedang pergi bersama Om Hendra ke supermarket saat ini, kalau tidak gue bisa aja dianggap gila. Bara terlihat merengut kesal.

"BWAHAHAHAHAHAHA"

"Puas?" tanya Bara kesal. Gue mengusap sisa air mata di pelupuk lalu tertawa ringan.

"Ya habisnya tetangga lo lucu banget. Gila, gak habis pikir gue lo dikira homo sama dia. Ngakak parah sumpah Bar," ucap gue sambil sesekali tertawa.

"Gara gara Kenzo kampret nih," ucap Bara lalu menghempaskan dirinya di sofa.

"Kenzo? Yang dulu sering main bareng kita? Dia kenapa?" tanya gue bingung.

"Cium cium pipi gue anjir di depan Mara," jawab Bara membuat gue tertawa kembali.

"Serius lo? Bwahahaha!" Gue kembali tertawa kencang begitu membayangkan seorang Bara Adi Winata dicium oleh Kenzo yang tengilnya menembus langit ke tujuh. 

"Nistain terossss sampe puas!"

Bukannya berhenti, gue malah tertawa semakin kencang.


Sepertinya seminggu ini gue akan terus tertawa. Dan penyebabnya adalah Bara.




TBC

Diary Of OceanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang