36. Keputusan.

170 13 2
                                    

Hari ini gue hanya berdiam diri di rumah ditemani laptop, makanan, dan handphone yang menjadi teman baik gue. Pensi kemarin? Entah. Gue udah gak peduli sama yang namanya pensi sekolah. 

Hari itu setelah gue menangis di depan Elkan, gue langsung pulang dengan keadaan yang berantakan. Gaun yang disiapkan Renren yang seharusnya gue pakai untuk lomba hari itu berujung kotor dan sekarang lagi dicuci. Masa bodoh dengan lomba fashion show.

Sudah tiga hari sejak pensi dan gue sama sekali gak buka aplikasi sosial media. Buka handphone juga hanya sekadar lihat youtube atau main game. Benar benar gak mau lihat chat dari siapa pun. Mood gue sangat turun. Mandi aja rasanya malas. Dan hari ini gue belum mandi. Sarapan aja belum, padahal udah waktunya makan siang.

Besok, hari pembagian rapot. Biasanya, bunda dan ayah yang akan ke sekolah buat ambil rapot. Dan besok gue bakal berangkat ke rumah sepupu gue, Bara. Ada yang masih ingat? Sepupu laknat yang menjerumuskan gue pada hal hal yang tidak baik. Bolos misalnya.

Dan gue juga lumayan kangen sama dia.

Tiba tiba handphone gue berdering menandakan adanya panggilan masuk. Tertulis nama Elkan disana. Gue pun mengangkatnya. Ah iya, tiga hari ini hanya dia yang gue angkat teleponnya. Karena gue merasa, Elkan itu baik.

"Halo?" 

"Lo masih dikamar?"

"Hm."

Terdengar helaan napas dari ujung sana. 

"Gak ada rencana mau keluar?" tanya Elkan.

"Ada. Besok. Ke rumah sepupu," jawab gue.

"Sampai?"

"Seminggu...maybe?" jawab gue ragu.

"Ok, malam ini gue jemput. Kita jalan jalan," ucapnya membuat gue kaget. Tunggu, ini terlalu mendadak.

"Serius?" Tiba tiba panggilan suara ditutup sepihak oleh Elkan. Gue langsung panik bergegas ke kamar mandi. Setelah itu membereskan kamar yang hampir mirip kapal pecah.


***


Jam menunjukan pukul 06.30, yang artinya Elkan sebentar lagi bakal jemput ke rumah. Tenang, gue kali ini udah siap siap. Saat ini gue lagi nyantai di depan tv bareng ayah bunda yang baru pulang dari rumah nenek. Tadinya gue diajak ikut ke rumah nenek, sayangnya keadaan hati gue lagi gak enak. Alhasil gue memilih untuk dirumah.

"Kakak mau jalan sama siapa, sih?" tanya bunda yang sejak tadi melontarkan pertanyaan yang sama.

Gue tersenyum samar. "Sama temen Oci kok bun, bentar lagi juga anaknya dateng."

"Cowok nih pasti? Ya kan?" Seperti biasa, ayah pasti meledek gue.

"Oh, bunda tahu nih. Pasti Arzi ya?"

Tiba tiba mood gue langsung turun ke dasar bumi. Hanya karena satu nama yang disebutkan bunda tadi. "Eh? Bukan ya?" tanya bunda yang sepertinya peka dengan perubahan raut wajah gue.

Tiba tiba suara bel terdengar. Gue pun langsung pamit sama ayah bunda dan bergegas keluar. Gue gak mau Elkan menunggu lama di depan pintu.

Gue sedikit tersenyum saat mau membuka pintu. "Sorry agak la--"

Sial.

Ternyata bukan Elkan. Tapi Arzi. Raut wajah gue seketika berubah menjadi datar begitu melihat wajahnya. 

"Hai Ci," sapanya yang tidak gue balas sama sekali.

"Mau apa lo kesini?"


Tunggu, itu bukan gue.

Disana, dibelakang Arzi berdiri Elkan dengan wajah tegasnya. Dalam hati gue bersyukur karena Elkan datang disaat yang tepat. Sehingga gue gak perlu ribet ribet adu bacot sama salah satu makhluk tak diundang yang ada di depan gue ini.

"Elkan, kita jadi jalan? Yuk, keburu kemaleman." Gue berjalan melewati Arzi begitu saja dan hanya menatap Elkan.

Elkan sempat menatap tajam Arzi sampai akhirnya tiba tiba dia menggenggam tangan gue dan menuntun gue ke dalam mobilnya. "Lo bawa mobil?" bisik gue pelan. 

"Gue gak mau lo masuk angin." Gue tertawa pelan mendengarnya.

Perlahan mobil meninggalkan rumah. Gue sempat menengok ke arah Arzi sekilas lalu kembali fokus melihat ke depan.


***


"Mau nonton?" tawar Elkan membuat gue semangat.

"Mau, nonton Milea ya?" pinta gue. Kebetulan film itu lagi booming di internet. Kayaknya bakalan seru.

Elkan mengiyakan ajakan gue dan kami berdua langsung menuju ke bioskop. 

Selama film dimulai, gue gagal fokus sama filmnya. Ingatan saat gue diajak nonton sama Arzi terus berputar di otak gue. Disitu adalah awal awal gue dan Arzi menjadi dekat. Sayangnya gue malah jatuh ke pesona dia. Dan sekarang gue menjadi sakit hati juga ya karena salah gue sendiri. Kenapa gue bisa jatuh ke pesona dia? Kadang gue menyesal pernah mengenal seorang Arzian Gerlan Pratama.

Gue tersadar begitu merasakan sebuah kepala di bahu kanan gue. Ternyata itu ulah Elkan yang tertidur di bahu gue. Wajahnya sangat tenang saat tertidur. Berbeda saat ia bangun. Wajahnya datar dan menakutkan bagi gue.

Gue tersenyum singkat. Gue jadi berpikir, kenapa saat dulu gue gak masuk kelas Ips aja ya biar bisa ketemu Elkan dan jatuh cinta sama dia yang baik ini. Kalau disuruh pilih Arzi sama Elkan,

Ya jelas gue pilih Elkan.


***


Gue dan Elkan sampai di rumah pukul 09.15, gue langsung turun dari mobil dan menyuruh Elkan langsung pulang juga kerumahnya karena takut kemalaman.

Disaat gue membuka pagar rumah, gue dikejutkan dengan Arzi yang sedang bersandar di tembok rumah gue. Jangan bilang, dia nungguin gue dari tadi?

"Habis darimana?" tanya Arzi berjalan mendekat ke gue. 

"Bukan urusan lo," jawab gue seadanya. Walau terdengar kejam, tapi jujur saat ini gue sedang mati matian menahan gugup.

"Lo marah sama gue?" 

"Lo gak ada kabar 3 hari."

"Gue ada salah apa sama lo?" tanyanya lagi.

Gue menghela napas lelah. Oke kalau dia mau gue jujur,

"Lo gak salah apa apa Zi. Gue yang salah karena udah berani naruh hati sama cowok kayak lo. Makasih lo udah mau temenan sama gue yang cupu ini. Gue minta maaf karena udah menghambat hubungan lo sama Puput. Setelah ini, kita jaga jarak aja ya. Anggap aja gak pernah ada yang terjadi di antara kita. Sekarang, mending lo pulang. Jangan sampai sakit. Jaga kesehatan lo. Gue pamit," ucap gue panjang lalu memutuskan untuk masuk ke dalam rumah.

Di satu sisi hati gue lega sudah mengucapkan hal tadi. Tapi kenapa gue juga merasa sakit?



TBC


Don't forget to vote bruh~

Oh ya, author mau tanya..

Lebih suka pakai cast atau nggak pakai cast? please coment:(




Diary Of OceanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang