[Azka] Jalan Hati ✔

1. Berbaik Sangka

Jalan Hati : 1. Berbaik Sangka

"Rancangan Allah lebih indah daripada rancangan manusia. Bersyukurlah."

...

Ayah dan aku mulai mengambil posisi untuk salat. Berkali-kali aku mengucap kalimat istigfar. Supaya sosok dia hilang di dalam pikiranku. Karena aku tidak ingin ada yang mampu mengalihkan fokusku kepada-Nya.

Bismillah, Ya Allah saat aku mulai menyukai seseorang dan membuatku lalai terhadap-Mu. Patahkanlah rasa suka ini supaya bisa selalu mengingat-Mu.

Bismillah, karena aku tahu. Hanya Engkaulah Yang Maha Pengasih. Dan yang paling sejati.

Bismillah, berbaik sangka kepada-Mu lebih baik daripada berburuk sangka. Karena aku tahu, rancangan Allah lebih indah dari rancangan manusia.

Setelah salat, aku kembali pulang. Diperjalanan sebelum sampai rumah, Ayah berkata, "Kalau ada yang mau kamu omongin, bicaralah."

Aku terkejut mendengar Ayah yang berjalan di sebelahku berkata seperti itu. Seolah-olah Ayah mampu membaca pikiranku.

"Eh, enggak ada kok. Insyaa Allah nanti kalau ada niat baik Azka bilang sama Ayah," aku menjawab sambil salah tingkah, menggaruk kepala yang tertutup peci.

"Ya sudah, ayo pulang," ajak Ayah Yahya kepadaku.

Muhammad Azka, itulah namaku. Namun, kisahku sedikit aneh. Dan, ya, berbeda dengan orang-orang di luar sana, mungkin. Tetapi, aku masih sama seperti kalian. Sama-sama makhluk Tuhan yang makan nasi dan minum air mineral kok.

Sebenarnya, sudah tiga tahun aku tidak bertemu dengan dia. Walaupun lama tidak melihatnya, suara dan senyumannya selalu melintas dalam pikiranku. Sampai-sampai aku dibuat pusing olehnya.

"Kalau begini caranya, gue harus mencari tahu siapa dia," gumamku setelah aku sampai di depan rumah.

Saat aku masuk ke rumah. Bunda meyambut kita dan aku langsung mencium pipinya. Kemudian pamit masuk ke kamar untuk mengerjakan ritual harianku. Yaitu mengaji, walau sebentar yang penting dilakukan dengan konsisten.

...

Saat di kampus, aku memang tidak pernah sendiri. Tetapi, bukan dengan seorang perempuan, ya. Aku bersama Diki---temanku.

Di kantin, ketika aku sedang menunggu Diki. Mata ini terus memperhatikan orang-orang yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

Dan, ya, di situ. Tepat arah jam tiga, aku melihat dia. Tapi tunggu! Kenapa aku mengulum senyum saat melihatnya?

"Waktu yang pas nih buat nanya siapa namanya," ucapku lirih seraya mengangguk-angguk.

Tiba-tiba, Diki datang menepuk bahuku. Aku pun terlonjak kaget, refleks mengucap kalimat istigfar. Akibat ulah temanku yang satu ini aku kehilangan sosok dia. Dan lagi, niatku untuk bertanya siapa namanya gagal sudah.

"Siapa? Lo mau nanya nama siapa?" cecar Diki, penyakitnya mulai kumat.

"Apaan sih, kepo deh!" jawabku kesal.

Aku melihat Diki mengangkat bahu. Lalu duduk di kursi depanku. Diki pun memesan makanan untuknya sendiri. Karena, ya, aku sudah kenyang. Soalnya Diki lama, jadi, ya aku makan lebih dulu.