7. Bersaudara

4K 354 38
                                    

Jalan Hati : 7. Bersaudara

"Kenangan di masa lalu terkadang sulit dilupakan. Karena selalu melintas dengan indah. Maka, nikmati dan renungkan saja apa yang terjadi sebelum dan sesudahnya."

...

Jam dinding terus berdetak. Sementara itu udara di perpustakaan semakin lama berubah menjadi dingin. Iya benar, ada AC di sini. Tetapi, dinginnya udara ini tidak hanya disebabkan oleh AC saja. Melainkan karena di luar sana awan sedang menangis. Dan angin tengah bersenandung.

Aku tidak tahu ada apa sebenarnya. Tapi aku tahu, ini adalah nikmat yang diberikan oleh-Nya kepada kita hamba-Nya. Sebab dengan adanya hujan makhluk hidup yang ada di bumi bisa hidup. Seperti tanah menjadi subur dan tidak gersang.

Sebenarnya nih ya, masih ada banyak hal yang lebih luar biasa lagi selain tanah yang menjadi subur. Namun aku tidak bisa menjelaskan semuanya di sini. Karena waktunya tidak akan cukup jika kita harus membahas tentang kebesaran Allah.

Intinya, kita harus terus-terus bersyukur atas apa yang kita dapat sekarang. Nikmati semua yang diberikan oleh-Nya kepada kita. Sebab orang lain belum tentu bisa menikmati apa yang kita dapat. Malah masih banyak orang-orang di luar sana yang menginginkan kehidupan seperti kita.

Masa lalu aku dan Azkadina memang tidak banyak. Hanya singkat namun sangat terkesan dan masih membekas dalam ingatan. Masih ingat kan aku bertemu dengannya itu ketika aku sedang ketiduran di dalam perpustakaan. Dan dia membangunkanku. Rasanya aku ingin mengulang kembali ke masa lalu. Tetapi aku tahu itu tidak mungkin bisa terjadi. Karena aku bukan Nobita yang mempunyai Doraemon dengan segala macam alat dari kantung ajaibnya.

"Azka? Eh, Azkadina maksudnya," kataku jadi salih tingkah.

"Apa?" tanyanya menatapku.

"I-itu Azka, eh gue manggil lo Azka gak apa-apa, kan? Soalnya kalau Azkadina kepanjangan ribet jadinya. Gimana, boleh gak?"

Azkadina menatapku lalu menggeleng. "Jangan, nanti orang-orang bisa salah paham."

"Dina, eh maaf ... aku boleh panggil kamu Dina, kan?" tanyaku hati-hati, dan semoga saja Azkadina tidak keberatan kalau aku memanggilnya seperti itu.

"Boleh, silakan saja," jawabnya tersenyum padaku.

"Oke. Oh iya, kita pake bahasa lo gue aja, ya. Kalau pake aku kamu jadi gimana gitu, aneh aja rasanya. Soalnya kan gue bukan Diki. Kalau Diki emang suka gitu ke cewek, sok formal padahal cuma mau PDKT doang, habis itu ditinggal deh," jelasku panjang lebar.

Astagfirullah. Aku tidak sadar, baru saja aku bergibah tentang sahabatku sendiri. Ampuni hamba Ya Allah. Saat aku merutuki diri sendiri, aku melihat Azkadina tersenyum miring,membuat aku semakin penasaran dengan dirinya.

"Dina, gue mau tanya. Lo kenal sama bunda, gue?" Aku menatapnya seraya duduk bersandar.

Aku melihat kening Azkadina mengerut. Aku mengerti, pasti dia tidak mengerti. Aku tarik napas kemudian berkata, "Bunda Najla, lo kenal? Dia Bunda gue."

Azkadina pun mengangguk, membuat aku yakin. "Berarti bener itu lo," kataku sangat yakin.

Melihat aku yang sangat antusias, Azkadina pun menyipitkan kedua matanya. Terlihat lucu, tapi jangan terbawa perasaan dulu. Kita selesaikan teka-teki di masa lalu dulu.

Karena posisi duduk kita saling berhadapan. Jadi jangan heran kalau aku bisa melihat gerak-gerik Azkadina dengan jelas. Tapi tenang saja, aku tidak akan modus kok. Karena setahuku modus itu nilai yang paling banyak muncul. Dan itu biasanya ada di pelajaran Matematika.

"Bener apa? Maaf gue gak ngerti maksud lo itu apa," ucap Azkadina, kelihatannya dia sudah mulai nyaman ngobrol denganku.

Ya, karena ucapannya tadi sudah cukup membuktikan kalau rasa canggung yang menyelimuti kita sudah hilang. Sehinggabobrolan kita pun mulai terasa hangat.

"Gue pernah denger lo ngobrol sama bunda gue di toko deket kompleks. Gue yakin banget kalau itu lo, soalnya gue hafal suara lo," ucapku refleks menutup mulutku sendiri.

Azkadina termenung, seraya terus menatapku. Ah! Kenapa aku harus mengatakan itu? Kenapa kata 'gue hafal suara lo' itu keluar dari mulut? Kenapa aku selalu membuat kesan yang berefek jelek di depan perempuan?

"Sorry, maksud gue. Gue gak hafal suara lo, cuma pernah denger aja, jadi tahu gitu. Jangan salah paham, ya." aku beralibi semoga terlihat sangat meyakinkan.

Kepala Azkadina mengangguk-angguk. Aku tidak tahu dia mengangguk karena percaya atau tidak. Tapi aku harap dia percaya, supaya rasa malu di dalam diri sedikit berkurang.

"Iya, gue waktu itu ngobrol sama bunda. So---"

"Kok lo bisa ada di sana? Memangnya rumah lo deket situ juga?" tanyaku memotong ucapan Azkadina efek penasaran tingkat kubik.

"Enggak, rumah gue gak di deket kompleks rumah lo, kok. Gue waktu itu dapet amanat dari Diana buat nganterin kue pesenan Diana ke rumah Neneknya itu. Pas pulang lihat bunda, terus ngobrol sebentar," terangnya panjang lebar.

Tak terasa tangisan sang awan pun mulai reda. Namun udara dingin masih saja setia memelukku. Aku mendesah pelan, lalu mengajak Azkadina untuk keluar dari dalam perpustakaan. Tetapi dia menolak. Katanya mending di sini adem, daripada harus menunggu kelas di luar sumpek karena terlalu ramai.

Saat aku dan Azkadina berdiri, Diki dan Diana pun datang menghampiri. Diana langsung duduk di kursi tepat di sampingku. Entahlah, aku tidak tahu, kenapa dia duduk di situ? Toh, aku ingin mencari buku untuk dibaca.

"Lo berdua mau ke mana?" tanya Diki yang sudah duduk berhadapan dengan Diana.

"Mau cari buku, bosen dirm mulu," jawabku memutar bola mata jengah.

Kemudian aku berjalan dan diikuti oleh Azkadina. Saat melihat-lihat buku, senyuman selalu terukir di wajahku. Karena kita sama-sama ingin membaca buku.

Terlalu sering aku melihat deretan buku yang terpasang rapi di sini. Tetapi, tidak pernah membuatku merasa bosan. Aku sangat bersyukur karena hobi membaca ini tidak pernah luntur.

Omong-omong, aku jadi teringat saat SMA dulu. Ketika aku sering ke perpustakaan dengan tujuan ingin bertemu Azkadina. Terkesan aneh memang, tapi itulah rasa.

Tatkala aku membalikkan badan, aku terkejut melihat Azkadina tengah berdiri seraya tersenyum manis di hadapanku. Refleks aku mundur beberapa langkah. Kalau terus-terusan seperti ini, bisa-bisa terkena penyakit jantung aku.

"Kenapa sih?" tanya Azkadina, aku pun menggeleng.

"Dina, kalau kita dijodohin lo mau gak nikah sama gue?" tanyaku pada Azkadina seraya menatap buku-buku di sana.

"Kalau kita saudara gak mungkin bisa kita nikah," jawab Azkadina pelan, berhasil menyita perhatianku dan langsung menatapnya dengan kerutan dikening.

"Lo bilang apa tadi? Kita saudara, masa iya. Ta---"

"Gak usah percaya sama gue, karena gue bukan Tuhan. Hujan udah reda, bentar lagi kelas mau dimulai. Gue duluan, ya. Assalamualaikum," ucap Azkadina membuatku melongo dengan mulut yang sedikit terbuka.

"Apa bener dia saudara gue?"


...

Assalamualaikum semua, gimana ceritanya seru gak?

Mungkin gak sih mereka saudaraan?

Kamis, 29 Juli 2019

[Azka] Jalan Hati ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang