5. Berbeda

4.1K 350 32
                                    

Jalan Hati : 5. Berbeda

"Sesuatu yang baik datang bersama kesabaran."

...


Hatiku terus saja berbisik kalau ini adalah mimpi. Aku tidak ingin ini terjadi! Tapi, kenyataan memang tidak seindah ekspektasi. Apalagi khayalan dalam mimpi. Entah mengapa, rasa sesak hinggap di dalam diri. Tatkala, dia tersenyum manis kepada Diki.

"Pasti sakit, kan? Bareng kita aja yuk, gak enak gue kalau lo harus pergi sendirian. Lo mau ke kampus juga, kan?" ucap Diki terlihat sangat care pada perempuan berwajah lugu ini.

Ya Tuhan. Aku ada di sini. Tetapi, mereka seolah-olah tidak melihatku. Dan malah asyik berbincang-bincang di sana. Aku heran, kenapa Diki selalu satu langkah lebih maju daripada aku?

Aku berdeham seraya melangkah maju mendekati mereka. Tatapan mata perempuan ini pun langsung jatuh. Mungkin dia sedang mencari recehan di sana.

"Maaf, ya. Tadi gak sengaja, kalau ada yang sakit dan lecet, gue bakal tanggung jawab kok. Mau ke rumah sakit?" Aku menatapnya namun dia tidak menatapku balik, kasihan sekali diriku ini.

Aku tersenyum, karena aku tahu. Pasti dia merasa risi dengan keadaan saat ini. Tapi aku tidak tahu apa alasannya. Karena aku bukan cenayang yang bisa menebak dan memperkirakan cuaca hari ini mendung atau tidak.

Sekali lagi aku bertanya, "Mau bareng kita?"

Tidak ada jawaban, posisinya masih sama seperti beberapa menit lalu. Dia masih setia menunduk.

"Udah gak usah dilihatin, sepatunya bagus kok, yuk berangkat bareng kita," ajakku sekali lagi.

Di dalam hati aku berdoa, semoga dia mau membuka mulut. Dan, ya, doaku terkabul. Ralat, hampir terkabul. Karena saat dia akan membuka mulut, Diki berucap membuatku menatapnya sinis.

"Udah, ikut aja. Kita gak gigit kok, lagian temen gue ini udah jinak. Jadi, lo bisa duduk manis di belakang dengan tenang. Yuk," kata Diki memegang lengan perempuan itu, namun dihempaskan begitu saja membuatku tertawa.

"Syukurin, gak sopan sih! Main pegang-pegang aja, belum halal juga," ucapku sarkasme.

"Enggak usah, makasih. Aku duluan. Assalamualaikum." Perempuan itu membalikkan badan, kemudian meringis kesakitan.

Aku langsung berdiri di depannya. "Terasa sakit, kan? Udah ayo, jangan keras kepala. Ikut kita aja, lo bisa duduk di belakang. Tenang aja kita gak akan gangguin kok."

Perempuan itu menatapku sekilas. Dan berhasil membuat hatiku bergetar dengan kecepatan tinggi. Kalau dihitung pakai rumus Fisika, pasti sangatlah besar frekuensinya.

Aku tersenyum lega. Akhirnya aku bisa melihat bola mata indah itu dari dekat lagi. Terima kasih Ya Allah.

Kita pun sudah ada di dalam mobil. Suasana terasa canggung karena tidak ada obrolan. Aku heran sih, biasanya Diki selalu berbicara panjang lebar. Tapi sekarang Diki hanya diam. Terus saja menunduk seraya melihat ponselnya. Kalau diperhatikan ibu jarinya terus saja menari.

"Lo gak kasihan apa sama ibu jari, lo. Dari tadi gue perhatiin goyang-goyang mulu. Sama kepala tuh, gak pegel apa nunduk mulu. Ada manusia juga di sini, berinteraksi lah. Dunia maya mulu yang diperhatiin, dunia nyata dong pikirin," jelasku melirik Diki sekilas, lalu fokus lagi ke depan. Karena aku tidak ingin kejadian menabrak tadi terulang lagi.

"Apaan sih, bentar dulu lah. Tanggung nih, si Sayang lagi butuh temen chat," jawab Diki dengan kepala yang masih saja menunduk.

"Jadi teman chat aja seneng, entar juga kalau udah bosen ditinggalin," kataku mengejek Diki. Namun Diki terlihat tidak peduli.

Aku mengernyit, si Sayang? Siapa? Memangnya dia punya pacar? Ah! Aku ingat, pasti Diana. Tapi tunggu! Mereka sudah jadian?

Ketika aku akan bertanya, suara lembut itu lebih dulu bertanya, "Kalian udah pacaran?"

Diki diam sejenak lalu menoleh ke belakang, dengan senyuman pula. Dasar kadal! Masih saja tebar pesona.

"Otw, doain ya, Ka," jawab Diki, tak lama kembali bermain ponsel.

Helaan napas panjang kulakukan. Mendengar jawaban Diki tadi, aku jadi teringat akan sesuatu. Tanpa sadar aku tersenyum seraya memandang perempuan itu dari kaca.

"Maaf, nama lo siapa? Tadi gue denger Diki manggil lo, Ka, emangnya lo lebih tua dari Diki, ya?" tanyaku penasaran, dengan senyuman yang menghiasi wajah tampanku.

Bukannya dijawab aku malah mendengar suara orang tertawa. Siapa lagi kalau bukan Diki. Aku tidak tahu kenapa dia tertawa. Aneh memang!

"Lo kenapa ketawa, Diki Ardiansyah?" tanyaku.

"Ya, lo, apaan coba. Emangnya kalau gue panggil dia, Ka, dia lebih tua dari gue gitu? Ngakak!" jelas Diki seraya terkekeh.

Aku tersenyum kikuk sambil menggaruk tengkukku yang mendadak gatal. Padahal aku sudah keramas, tetapi, kenapa merasa gatal, ya? Atau karena efek malu dan grogi kali, ya?

"Ya udah sih, maaf. Oh iya, nama lo siapa kalau boleh tahu. Tapi, gue saranin lo jawab pertanyaan gue ini," pintaku, lebih ke memaksa sih sebenarnya. Karena pertanyaan ini sudah menjamur sejak tiga tahun lalu.

"Masa lo gak tahu namanya sih? Katanya suka, tapi gak tahu. Konyol itu namanya!" Lagi-lagi Diki yang menjawab, membuatku kesal saja.

Sekakmat! Ucapan Diki barusan membuatku malu. Sudah seperti maling ayam yang tertangkap basah saja. Bagaimana nanti kalau dia mendengar, eh tapi, sudah pasti dengar sih kan dekat posisinya. Dan Diki juga tadi seperti memakai toa nada bicaranya. Tapi tunggu, Diki bilang apa tadi? Nama perempuan itu Konyol? Yang benar saja.

"Namanya Konyol? Kok unik, ya," aku menjawab dengan polos seraya terkekeh.

Aku melihat Diki menepuk jidaknya begitu keras. Kenapa lagi dengan temanku yang satu ini. Tingkahnya selalu membuatku penasaran.

"Lo kok mendadak jadi bego sih, Ka! Gue panggil dia 'Ka' itu biar sama panggilannya kayak, lo. Kan nama lo sama nama dia itu sama. Cuma beda belakangnya aja sih," terang Diki membuatku berpikir, lama-lama kepalaku pusing. Kuliah saja belum sudah pening duluan, kan repot nantinya.

"Namanya sama kayak gue?" tanyaku kembali.

"Iya," jawab Diki.

Oke. Aku bingung, setahuku, aku tidak memiliki saudara kembar atau apalah sejenisnya. Karena aku anak satu-satunya di keluargaku. Dan aku muak mendengar jawaban dari Diki. Aku pun berbicara dengan nada yang bersahabat dan bertanya lagi kepada perempuan yang ada di belakang.

"Maaf nih, ya. Lo beneran namanya sama kayak gue?" tanyaku kembali.

Tepat setelah pertanyaanku itu, kita sampai di tempat parkir kampus. Dan tanpa disuruh pun kita keluar dari dalam mobil. Namun dengan lancang aku langsung berlari menghadang manusia berjenis kelamin perempuan itu.

"Lo belum jawab pertanyaan gue. Nama lo siapa?" Aku merentangkan kedua tangan di depannya.

Aku melihat dia menghela napas dengan mata yang terpejam. Kemudian dia mendongak menatapku. Lagi-lagi jantungku berdebar. Tidak ingin terlihat salah tingkah. Aku pun berdeham dan bersikap senormal mungkin.

"Aku, Az---" ucapannya terpotong oleh suara perempuan yang tiba-tiba menghampiri kita.

...

Assalamualaikum semua, gimana seru gak?

Siapa coba namanya?

Vomment ya.

Minggu, 21 Juli 2019

[Azka] Jalan Hati ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang