11. Berpikir

3K 287 58
                                    


Jalan Hati : 11. Berpikir

"Jika kamu berpikir untuk menikah, jangan hanya sekadar mencari istri, tetapi carilah ibu bagi anak-anakmu kelak yang bisa menjadi madrasah pertama untuk buah hatimu. Jangan hanya karena rupa yang cantik tapi akhlaknya jelek."

°°°

Selepas pulang dari masjid untuk melaksanakan salat isya berjamaah. Aku langsung mengurung diri di kamar. Tidak tahu, aku ingin saja merenungkan segala hal malam ini.

Banyak sekali pertanyaannya di dalam otakku. Tapi, aku butuh waktu untuk menjawab semua pertanyaan ini. Tidak hanya perihal cinta saja. Melainkan, soal kehidupanku yang semakin hari semakin berubah. Karena aku tahu, hidup ini tidak hanya soal cinta. Tapi pikirkanlah cita-cita untuk membanggakan kedua orangtua.

Saat aku berbaring di atas kasur dengan kedua tangan yang menjadi bantal. Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Dan muncullah sosok laki-laki bertubuh tegap masih dengan pakaian salatnya. Ayah tersenyum dan bertanya, "Ayah boleh masuk?"

"Boleh Yah, masuk aja," ucapku lalu merubah posisi menjadi duduk bersila menghadap ke arah Ayah.

"Ayah cuma pengen ngobrol aja sama anak laki-laki Ayah ini." Ayah duduk di tepi tempat tidurku.

Aku terkekeh mendengar ucapan Ayah. "Apaan sih Yah, iyalah anak laki-laki. Orang anak Ayah namanya Muhammad Azka bukan Jubaedah."

Aku mendengar helaan napas panjang dari Ayah. Dengan hati yang terus menerka-nerka aku berdeham menetralisir perasaanku.

"Kamu udah mulai menyukai lawan jenis?" tanya Ayah terdengar tenang namun cukup membuat hatiku tidak tenang.

Aku bergeming sejenak lalu menjawab, "Udah lama kalau suka sama perempuan mah Yah."

"Berapa banyak perempuan yang kamu suka? Apa kamu pernah pacaran dengan perempuan-perempuan itu? Pernah kamu menyakiti hati mereka?" cecar Ayah membuat aku sedikit mengernyit.

Ayah menatapku tajam. "Cuma pernah suka sama dua perempuan aja kok Yah, itu juga baru-baru ini aja. Tapi yang satunya udah diambil Diki, dan Azka juga gak pacaran kok," ucapku jujur.

"Siapa namanya?" Pertanyaan ini yang hampir saja membuat jantungku turun sampai ke perut.

Aku bingung, kenapa Ayah bertanya soal perempuan sampai sedetail itu kepadaku? Padahal kalau dipikir-pikir aku tidak pernah membicarakan perihal perempuan ini dengan Ayah. Lantas, kenapa sekarang Ayah terlihat sangat ingin tahu dengan perempuan yang aku suka?

Oh tidak! Jangan-jangan Ayah akan menikahkanku setelah aku memberitahu nama perempuan itu padanya. Aku harap itu tidak terjadi, aku belum siap mengemban tanggung jawab itu. Sebab, nikah itu ibadah yang paling lama. Ilmuku saja masih kurang, aku tidak ingin istri dan anak-anakku tersesat nantinya.

"Siapa? Tenang aja, Ayah gak akan langsung nikahin kamu kok. Ayah cuma ingin tahu aja, siap tahu Ayah juga kenal sama orangnya," jelas Ayah.

Mendengar penjelasan Ayah cukup membuat aku bisa bernapas dengan lega. Ternyata, Ayah tidak sehoror yang aku kira.

"Namanya Azkadina sama Diana Ayah. Tapi.yang namanya Diana, Azka udah gak suka lagi," ucapku pada Ayah, tidak berbohong karena kalau berbohong itu dosa. Anak SD saja tahu kalau bernohong itu sesuatu yang dilarang dalam agama.

"Kayaknya Ayah kenal sama mereka." Ayah tersenyum padaku.

Dahiku mengerut, apa mungkin Ayah kenal dua perempuan itu? Tapi, kalau Azkadina sih aku percaya, soalnya bunda juga kenal dengannya. Namun Diana, Ayah kenal Diana dari mana?

"Serius Ayah kenal? Kenal dari mana kalau boleh Azka tahu?" aku bertanya sambil menatap Ayah penuh harap.

Bukannya menjawab Ayah malah tertawa membuat aku semakin bingung plus penasaran. Kemudian Ayah mengubah posisi duduk menjadi bersila. Kita jadi duduk saling berhadapan.

"Nak, kalau kamu suka pada lawan jenis itu wajar. Tapi ingat, tundukkan pandanganmu pada lawan jenis. Jangan jelalatan, memangnya kamu mau punya pasangan yang nempel sana-sini?" Ayah terlihat sangat serius sekarang.

"Insyaa Allah mulai dari sekarang, Azka akan ingat nasihat Ayah. Azka gak akan jelalatan kok Yah, ta---"

"Jangan hanya pandai berucap tapi bersikap bodo amat dengan kelakuan. Karena semua itu pasti akan dipertanggung jawabkan," tutur Ayah memotong ucapanku.

Aku jadi berpikir seribu kali untuk bertingkah laku. Jangan sampai kelakuanku membuat dampak buruk bagiku dan yang lain. Ayah benar, aku harus merubah pola pikirku sekarang. Nasihat Ayah memang selalu memberikan pelita dalam isi kepalaku yang gelap.

"Kamu udah siap nikah?" tanya Ayah, lagi-lagi pertanyaan yang membuatku terlonjak sampai tidak tahu harus berkata apa.

Aku menghela napas berat lalau berkata, "Belum siap, Yah."

Aku lihat Ayah tersenyum padaku. Tatapan mata yang teduh itu berhasil membuatku sedikit tenang. Ayah ini seseorang yang tegas dan bijaksana dalam menyingkapi segala hal. Aku jadi berpikir ingin seperti Ayah yang senantiasa bijak pada istri dan anaknya tanpa harus mengekang.

"Ingatlah ucapan Ayah ini. Jika kamu berpikir untuk menikah, jangan hanya sekadar mencari istri, tetapi carilah ibu bagi anak-anakmu kelak yang bisa menjadi madrasah pertama untuk buah hatimu. Jangan hanya karena rupa yang cantik tapi akhlaknya jelek," terang Ayah.

"Menikah itu peralihan tanggung jawab suami kepada seorang istri dari orangtua perempuan. Maka saling menghargai satu sama lain itu penting saat ingin memulai kehidupan yang baru. Karena dalam rumah tangga, hanya ridha Allah yang diharapkan," terang Ayah lagi membuat aku terus berpikir.

Aku mengangguk tanda mengerti. Kemudian Ayah beranjak posisi menjadi berdiri dan berkata, "Kak, Ayah ke kamar dulu, ya. Assalamu'alaikum, jangan lupa kalau tidur baca doa dulu."

"Iya Ayah. Wa'alaikumussalam," jawabku kepada Ayah seraya terkekeh.

Sudah seperti anak kecil saja yang harus diingatkan oleh orangtuanya ketika ingin tidur. Tapi tunggu! Ada satu hal yang ingin aku tanyakan pada Ayah sekarang. Selagi ingat, kalau dinanti-nati malah jadi lupa.

"Ayah tunggu!" Aku turun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri Ayah yang berada di dekat pintu.

"Ada apa?" tanya Ayah membalikkan badannya menjadi menghadapku.

Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Mungkin ini refleks dilakukan jika seseorang sedang gugup. Setelah menghela napas panjang aku menatap Ayah.

"Ayah, apa Azka punya saudara?" tanyaku lirih, tapi aku yakin Ayah masih bisa mendengar pertanyaanku itu.

Kedua alis Ayah saling bertautan. Tangan kanannya menggaruk hidung sebentar. Tak lama kemudian Ayah berkata, "Enggak ada, memangnya kamu pernah lihat bunda hamil lagi?"

Kepalaku menggeleng lemah dengan mata yang berkedip. Lalu Ayah tersenyum dan berjalan menghampiriku. Setelah itu Ayah menepuk-nepuk pundakku.

"Kamu anak satu-satunya. Kamu gak punya saudara, kenapa nanya kayak gitu?" tanya Ayah balik, dan aku hanya tersenyum kikuk.

"Tapi Yah, ka---"

"Apalagi, kamu gak percaya?" tanya Ayah memotong ucapanku.

"Ayah kenal sama Azkadina dan Diana dari mana?" Aku tidak percaya aku bertanya soal itu pada Ayah. Tapi serius, aku penasaran.

"Azkadina anak dari Murni temen bunda kamu. Kalau Diana, dia kan keponakannya pak Zaki. Kenapa, mau melamar salah satu diantara mereka?"

Aku tidak tahu harus berkata apa. Yang jelas, inilah fakta yang membuat aku terperanjat. Ternyata, Azkadina bukan saudaraku. Tetapi, haruskah aku melupakannya atau harus memperjuangkannya?

°°°

BERSAMBUNG

°°°

Assalamualaikum semua, pliss komen sama vote ya.

Tinggalkan or perjuangkan nih Azkadina nya?

Kamis, 1 Agustus 2019

[Azka] Jalan Hati ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang