14. Berempat

2.7K 240 31
                                    

Jalan Hati : 14. Berempat

"Janganlah berbicara, kecuali dengan pembicaraan yang baik."

...

Mood hari ini benar-benar tidak karuan. Padahal aku hanya ingin merilekskan otot-otot yang tegang. Dan mau bersenang-senang sebentar tadinya. Tetapi, semua itu tidak aku dapatkan. Karena perempuan yang satu ini telah berhasil membuat hariku sedikit abstrak.

Bukan! Bukan karena Melani. Sudah tahu kan siapa orang yang kumaksud itu. Iya, dia Diana Putri.

"Bang, pulang yuk," ajak Melani mengguncang lengan kananku.

Aku menoleh dengan wajah yang tidak bisa kulukiskan lagi. Mataku terasa berat, jujur saja aku mengantuk. Ingin sekali aku lemparkan tubuh ini ke atas tempat tidur yang empuk.

"Bang! Mata lo udah kayak lampu lima watt aja. Udah yuk pulang," ajak Melani sekali lagi seraya mencipratkan air tepat di wajahku.

Aku pun mengerjapkan mata berkali-kali. Setelah itu menguap dan menatap Melani dengan salah satu alis yang terangkat.

"Pulang ayo, gue mau beresin barang-barang gue, soalnya gue pengen pulang siang ini," kata Melani dengan tampang yang dibuat melas.

Dengan terus mengucap istighfar aku berdiri. Aku lihat Diana masih menunduk. Mungkin dia tersinggung dengan ucapanku tadi. Memang salahku, tapi, ya, mau bagaimana lagi. Sudah pernah kukatakan bukan. Kalau nasi sudah menjadi bubur. Dan bubur tidak mungkin bisa berubah menjadi lontong.

"Diana, ayo balik. Lo mau di sini sendiri?" Aku menepuk pundaknya pelan.

Diana pun mendongak dan berkedip membuat aku terperanjat. Gelengan kepala pun aku lakukan. "Yuk berdiri, gue ngantuk nih," ucapku seraya mengucek mata.

Aku harap Diana tidak membuat drama di sini. Karena aku bukan seorang aktor yang pandai berakting, jadi aku malas terlibat dalam situasi yang nantinya membuat diriku mersasa labil.

Dan benar saja, sesuai ekspektasiku. Diana langsung menurut dan berdiri, sehingga kita bisa pulang sekarang. Aku tahu pasti Diana masih marah karena ucapanku tadi. Maka dari itu dia hanya diam saja seraya terus berjalan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Memang benar ya, sulit mengetahui apa isi hati dan perasaan wanita.

Banyak orang yang mengatakan; Mencintai seorang wanita itu sangat menyakitkan. Tetapi, sebenarnya yang lebih menyiksa itu adalah mencintai orang yang tidak mencintaimu. Imam Syafi'i.

Dan, aku harus menyiapkan mental dari sekarang jika kelak perempuan yang aku suka tidak menyukaiku. Ya, intinya simulasi dulu lah sebelum ujian itu dimulai.

Saat kita berjalan pulang. Melani terus saja bercerita ria. Tentang inilah, itulah. Selalu membuat indra pendengaran bising. Mending kalau suaranya lembut selembut sutera. Ini mah apa, suara cempreng yang bisa membuat telinga orang pengang kapan pun dan di mana pun setiap kali mendengar suara Melani. Jahat sekali aku mengatai saudariku sendiri.

Ketika kita melewati masjid aku melihat perempuan mengenakan abaya grey dibalut jilbab yang membuat hatiku tenang melihatnya. Aku tidak tahu pasti siapa dia. Tapi yang kutahu sekarang adalah, aku tidak mengantuk lagi sekarang setelah mata ini melihatnya.

Perempuan itu terlihat sedang duduk dan sepertinya tengah menasihati seorang remaja perempuan.

Mataku semakin menyipit meneliti siapa perempuan itu. Dan saat aku yakin, bahwa Azkadina lah perempuan itu. Senyuman terbit di wajahku dengan langkah kaki yang berhenti tiba-tiba.

"Janganlah berbicara, kecuali pembicaraan yang baik. Dan setiap pembicaraan yang diharamkan, haram pula untuk didengar. Berbicaralah dengan perlahan-lahan dan tertib. Jangan tergesa-gesa, soalnya takut orang lain gak paham sama ucapan kita," jelas Azkadina.

Omong-omong, aku sedang menguping pembicaraan perempuan lugu ini.

"Kalau lagi ngobrol sama orang, dengerin apa yang yang diucapkan olehnya. Jangan main potong seenak jidat, kecuali kalau ucapannya itu mengandung unsur gibah," lanjut Azkadina lagi terdengar sangat lembut.

"Jika ada temen kamu sedang membicarakan sesuatu hal padamu, tapi kamu udah tahu apa maksudnya, simpan dulu pengetahuanmu itu. Dan jangan sampai kamu utarakan padanya, supaya apa coba? Supaya orang itu tidak marah dan kecewa," tutur Azkadina.

"Pasti dia bakal ngira aku sok tahu, dan berantem deh jadinya. Mending diem dengerin dulu. Gitu, ya Kak?" tanya remaja perempuan itu pada Azkadina.

Tidak terasa, kakiku berjalan mendekat pada Azkadina. Tetapi, cekalan tangan Melani menghentikanku.

"Mau ke mana?" tanya Melani.

Aku tidak menjawabnya. Yang aku lakukan hanya menatap Azkadina lagi dan berjalan lagi menghampirinya.

"Azkadina!" pekik Diana, membuat aku dan Melani menoleh ke sumber suara.

Aku melihat Diana berjalan melewatiku. Tentunya Diana menghampiri Azkadina yang sedang duduk di tangga masjid yang ada tulisan 'batas suci' itu.

Azkadina pun berdiri dan tersenyum ramah pada Diana. "Eh Diana. Assalamu'alaikum," ucap Azkadina bersahabat.

"Wa'alaikumussalam, lo dicariin Azka tuh," jawab Diana, berhasil membuat aku terbelalak sekaligus terperanjat.

Sumpah! Ini semua diluar kendaliku. Kenapa coba Diana bertingkah laku seperti itu? Kalau begini caranya, bisa-bisa aku jatuh terjerembab ke dalam drama Diana.

Aku melihat Azkadina menatapku. Jangan panggil aku Azka jika aku tidak bisa memanipulasi keadaan saat ini. Setelah menghela napas panjang aku pun memberanikan diri melangkah lebih dekat pada Azkadina. Tentunya masih ada jarak diantara kita. Aku juga tahu batasan antara seorang perempuan dan laki-laki. Jadi, aku harap selalu berkhusnudzon, ya.

"Ada apa, Azka?" tanya Azkadina.

"I-itu gu---"

"Kak, aku pulang dulu, ya. Nanti kalau ada waktu boleh kan aku ngobrol lagi sama Kak Azka, eh maksud aku Kak Azkadina," ucap remaja perempuan itu, dan kalau tidak salah namanya Risma---anak pak Tio.

Azkadina mengangguk seraya mengulas senyum dan berkata, "Iya, insyaa Allah, ya. Kalau kita ketemu lagi."

Lalu Risma berjalan pergi. Dan hanya ada kita berempat saja di sini. Azkadina kembali bertanya padaku. "Gimana, ada perlu apa lo nyariin gue?"

"Enggak, gue gak cari lo kok. Gue cu---"

"Azka mau tahu di mana rumah, lo. Kayaknya dia mau main ke sana," ucap Diana memotong ucapanku.

Dasar perempuan ini. Baru saja temannya Azkadina memberikan nasihat kalau ada orang yang sedang berbicara jangan dipotong seenaknya, tetapi lebih baik dengarkan dulu. Ini mah apa, sok tahu. Seenaknya saja kalau berucap.

"Diana mending lo diem dulu, biar Bang Azka utarakan semua perasaanya pada Azkadina dengan tenang, aman, dan sentosa," usul Melani menengahi supaya tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Aku melihat ke arah Diana, dan dia sedang memutar bola mata malas. Entah, kenapa perempuan yang satu ini berubah menjadi sensitif sekali sekarang?

"Iya Diana diem dulu, gue mau ngobrol sama Dina sebentar," ucapku berusaha sabar menghadapi sikap Diana.

"Ya udah tinggal bilang ada perlu apa, soalnya gue gak bisa lama-lama di sini," kata Azkadina semakin membuat aku gugup.

Dengan tatapan mata yang jatuh ke bawah, aku menghela napas kasar. "Gue ... gue udah tahu kalau kita bukan saudara. Tapi, kenapa waktu itu lo bilang kita saudara?"


...


Assalamualaikum semua, sejauh ini gimana ceritanya, manis asin gurih pait?

Rabu, 7 Agustus 2019

[Azka] Jalan Hati ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang