~Nayeon POV~
Sudah hari ke dua aku menginap dirumah Mina. Itu artinya Jihyo akan menjemputku sore nanti, dan setelah itu aku hanya akan bertemu dengan Mina dirumah sakit ketika aku check up, huft.
Sebenarnya aku sudah lama bangun, tapi aku tidak ingin buru-buru mengakhiri apa yang aku lihat saat ini. Tepat didepan wajahku, Mina masih terlelap, wajahnya benar-benar menyejukkanku. Aku tidak bisa berhenti tersenyum menatapnya sedekat ini, gadis sempurna yang telah merebut hatiku sejak 6 tahun lalu. Tak akan ada yang bisa menggantikan nya, sampai kapanpun.
"Ngghh."
Jangan seperti itu Mina! itu sedikit hm ambigu ditelingaku.
Ia sudah mulai membuka matanya, aku sudah bersiap menerima pukulan atau bahkan hal yang lebih dari itu. Kenapa? Karena wajah kita sangat amat dekat.
1 detik, 2 detik, 3 detik.
Tidak terjadi apapun.
Apakah Mina tidur kembali?"Kenapa kamu menutup matamu seerat itu?"
Deg!
What? Mina tidak memukulku? Aku membuka mataku perlahan, bahkan ia tidak menjauhkan wajahnya.
"Ku fikir kamu akan memukulku."
"Kamu ingin ku pukul?"
"Tidak! Bukan seperti itu maksudku."
Ia tersenyum, manis sekali.
Mina menjauhkan wajahnya kemudian menatap langit-langit kamar.
"Jihyo akan menjemputku sore ini." ujarku dengan tetap menatapnya.
"Begitukah?"
Ige mwoya? Hanya itu reaksinya?
"Kamu pasti senang bukan?"
Ia hanya menatapku tanpa ekspresi, tidak menjawab pertanyaanku.
"Maaf sudah selalu merepotkanmu."
"Yah, kamu memang merepotkan."
Aish, menyebalkan.
"Tapi aku bahagia, aku senang direpotkan. Kamu tahu? Orang yang direpotkan adalah definisi orang yang bisa dipercaya." lanjutnya sambil tersenyum.
Ck, dia terkadang suka melucu. Mana ada orang yang senang direpotkan.
"Kamu memang orang yang bisa di percaya." ujarku.
Ia sedikit mengubah mimik wajahnya, senyumnya sedikit menghilang. Wae? Apa aku salah bicara?
"Tapi kenapa kamu tidak memercayaiku?" ucapnya lembut.
"Aku selalu percaya padamu."
"Tidak." bantahnya.
"Kamu tidak pernah memercayaiku." lanjutnya masih dengan intonasi yang lembut.
"Kapan aku tidak percaya padamu, Minari?"
Kurasa obrolan semakin serius.
"Sejak kamu meninggalkanku. Kamu tidak memercayaiku kan saat itu?"
"Bukan seperti itu, Minari. Aku hanya-"
"Hanya apa? Hanya takut aku akan pergi, setelah kamu menjelaskan semuanya? Apa nama nya kalau kamu tidak memercayaiku?"
Tidak ada kemarahan sama sekali dalam setiap perkataannya, ia berbicara dengan sangat lembut. Dan itu malah membuatku lebih terpukul, lebih baik marahi aku, Minari.
"Aku tidak berani, aku sangat pengecut kala itu."
"Semuanya pasti akan jauh lebih baik jika adanya penjelasan, ini akan lebih baik jika saja dulu kamu sedikit percaya padaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Will Never Change
Romance"Ada hal yang tidak bisa terpisahkan, walau dipisahkan secara terpaksa. Seperti- Kau dan aku? Ck, terlalu kuno untuk disebut takdir, bukan?"