~Mina POV~
Kini aku sedang berada dikantin rumah sakit bersama gadis bermata besar ini. Sebenarnya aku masih bingung kenapa ia tiba-tiba mengajakku makan siang bersama, bahkan aku belum tahu siapa namanya.
"Aku Park Jihyo." ucapnya tiba-tiba seperti sedang membaca apa yang ku fikirkan sembari mengulurkan tangannya.
"Sekertaris Nayeon sekaligus sahabatnya." lanjutnya dengan senyuman.
Ah, jadi dia sekertaris Nayeon. Dan tunggu, dia sahabat Nayeon? Apa aku salah mengira kalau ia adalah kekasih Nayeon? Ah mungkin saja ia menyembunyikan hubungan mereka padaku, aku ini kan hanya orang asing.
"Saya Myoui Mina." jawabku sambil menyambut jabat tangannya setelah beberapa saat terdiam.
"Aku tahu." ucapnya sambil tetap tersenyum cerah.
Biar ku tebak, ia tidak jauh berbeda dengan sifat Nayeon, sama-sama periang.
"Ah, anda pasti membaca di jas dokter saya."
"Tidak, aku memang sudah mengetahui kamu sejak lama dok." ucapnya.
Aku menatapnya bingung, "Sejak lama? Apa maksud-"
"Ah, pesanan kita sudah datang." serunya tiba-tiba memotong perkataanku.
"Selamat makan dok." ucapnya tersenyum sambil melihatku.
Aku mengangguk dan membalas senyumnya lalu menjawab, "Selamat makan."
----------
"Terimakasih sudah mau menemaniku makan siang. Sebagai gantinya, biar aku yang membayar." ucap Jihyo setelah menyelesaikan makanannya.
Jangan lupakan senyum cerahnya, ia tidak pernah melepaskan itu dari bibirnya.
"Ah, tidak perlu. Itu akan merepotkan anda." jawabku, aku merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa. Aku sama sekali tidak kerepotan." ucapnya.
"Tap-"
"Sudahlah dok, aku hanya membayar makan siang kita, bukan membayar biaya hidupmu. Tidak perlu merasa tidak enak, ne?" candanya. Ah dia pasti orang yang sangat asik.
"Hm, terimakasih kalau begitu." jawabku dengan senyuman.
"Sama-sama."
"Mmm Jihyo eonni? Atau hmm..." ucapku bingung.
"Aku lahir ditahun yang sama denganmu, cukup panggil aku Jihyo. Dan tidak bisakah kita berbicara lebih santai? Tidak usah terlalu formal." serunya.
"Uh? Bagaimana kau bisa tahu tahun lahirku? Dan apa maksudmu sudah mengetahui ku sejak lama?" tanyaku berusaha tidak terlalu formal.
Aku benar2 dibuat bingung oleh gadis ini, ia terlihat seperti mengetahui sesuatu tentangku. Bagaimana bisa? Bahkan kita baru saja berkenalan beberapa menit yang lalu.
"Kita memang baru saja bertemu, tapi aku sudah cukup lama tahu tentangmu." ucapnya.
"Kamu adalah orang yang membuat sahabatku uring-uringan selama 4 tahun belakangan." lanjutnya.
"Apa maksudmu Jihyo-ssi? Siapa yang kamu bicarakan?" tanyaku.
"Nayeon." serunya.
"Tolong jangan membencinya, kamu tidak tahu bagaimana ia menjalani harinya tanpamu. Ia memiliki alasan yang kuat kenapa ia meninggalkanmu." lanjutnya lagi.
Jadi Jihyo mengetahui apa yang terjadi antara aku dan Nayeon? Mungkin benar jika Jihyo hanya sahabat Nayeon, karena jika ia kekasihnya, tak mungkin ia memintaku untuk tidak membenci Nayeon.
Dan apa alasan kuat Nayeon? Karena ia memiliki seseorang yang lebih ia cintai?! Ah, aku muak mengingat semuanya."Aku harus kembali ke ruang rawat Nayeon, terimakasih sekali lagi sudah makan siang bersamaku." ucapnya.
Ia beranjak kemudian berkata, "Satu fakta tentangnya, ia tidak meninggalkanmu karena ada orang yang lebih ia cintai. Aku permisi, annyeong." setelah itu ia benar2 pergi meninggalkan ku dengan kebingunganku.
----------
"Argh! Apa maksud gadis tadi? Semua yang ia katakan membuat seolah-olah Nayeon tidak bersalah." gumam ku, aku kini sudah berada diruanganku.
"Nayeon meninggalkanku! Apapun alasannya, ia tetap bersalah."
"Dan soal membencinya, ya, seharusnya aku memang membencinya. Tapi seperti yang gadis itu katakan, kalau aku jangan membencinya. Aku memang sulit untuk membencinya! Kenapa ya Tuhan?!!"
"Ughh, bagaimana aku bisa fokus dengan tugasku. Gadis tadi membuat otakku dipenuhi dengan beragam pertanyaan." gumamku frustasi.
----------
~Author POV~
Setelah Jihyo telah sampai diruangan Nayeon, Nayeon tidak langsung memberikannya pertanyaan. Padahal banyak sekali pertanyaan yang kini bersarang di fikirannya.
"Hai." ucap Jihyo kemudian menduduki sofa.
Nayeon memperhatikan gerak-gerik Jihyo yang sedikit mencurigakan. Bagaimana tidak, sejak masuk tadi Jihyo hanya berkata 'hai' sembari cengar-cengir tidak jelas.
"Apa arti tatapanmu itu?" tanya Jihyo karena merasa sedikit ngeri atas tatapan tajam Nayeon.
"Tidak." jawab Nayeon kemudian mengalihkan pandangannya dari Jihyo.
"Aku tahu kamu penasaran." seru Jihyo sambil senyam-senyum.
"Tentang apa? Tidak ada." jawab Nayeon yang kini berpura-pura sibuk dengan handphone nya.
"Baiklah, tanyakan apapun yang ada difikiranmu sekarang."
Nayeon tidak menjawab.
"Jangan berpura-pura acuh seperti itu, atau aku benar-benar tidak akan menceritakan apa yang terjadi saat makan siang tadi." ancam Jihyo.
Nayeon langsung mematikan handphone nya kemudian menatap Jihyo.
"Araseo araseo! Cepat ceritakan! Kamu benar-benar tidak berkata yang macam-macam bukan?" tanya Nayeon memastikan.
Jihyo tersenyum dan menjawab, "Tidak. Dan sebenarnya tidak ada kejadian apapun yang terjadi tadi, aku hanya membahas sedikit tentang kepergianmu darinya dulu." jelas Jihyo.
"Mwo? Kamu mengatakan alasan yang sebenarnya padanya?" tanya Nayeon kaget.
"Aniyo. Aku tahu itu tugasmu, itu adalah tanggung jawabmu untuk menjelaskan segalanya padanya. Aku tidak punya hak apapun, aku tahu batasanku Nayeon-ah." jelas Jihyo lagi.
"Ah, syukurlah. Aku memang berniat untuk menjelaskan semuanya, tapi mungkin tidak dalam waktu dekat ini, kamu tahu sendiri ia bahkan masih sangat cuek padaku." ucap Nayeon lemah.
"Itu wajar Nayeon-ah, hal yang masuk akal jika sikapnya begitu padamu, bahkan jika membencipun rasanya mungkin saja. Tapi setelah ku perhatikan, sepertinya ia tidak membencimu. Ia terlihat memiliki sifat yang lebih dewasa dibanding kamu." ucap Jihyo dengan ejekan diakhir ucapannya.
"Jadi aku tidak dewasa begitu?" tanya Nayeon dibuat sedikit kesal.
"Kamu dewasa, tapi hanya usiamu. Sikapmu masih seperti anak TK, kkk~" ucap Jihyo kemudian cekikikan.
"Aish! Menyebalkan!" kesal Nayeon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Will Never Change
Romansa"Ada hal yang tidak bisa terpisahkan, walau dipisahkan secara terpaksa. Seperti- Kau dan aku? Ck, terlalu kuno untuk disebut takdir, bukan?"