Hari-hari setelah kepergian Marwan

6.2K 131 0
                                    

Aira sibuk dengan kegiatan perkuliahannya, meski tak dipungkiri Marwan selalu hadir dalam setiap ingatannya. Syukurlah, Aira mempunyai sahabat baik sejak keputusannya kuliah disalah satu Universitas swasta di kotanya.

[Mbak Ai aku mau nikah]
Kata sahabatnya lewat akun whatsapp yang mengagetkan Aira.

[Hah, nikah? Sama siapa?]
Balas Aira heran, mengingat sahabatnya itu tidak pernah sekalipun bercerita tentang seseorang yang sedang dekat dengannya.

[Ceritanya panjang mbak, minta doanya ya semoga lancar]
Balasnya kemudian.

Seorang Izmi Afifah, wanita pendiam yang beberapa tahun ini selalu menemani Aira. Wanita cantik yang santun itu dikenalnya saat acara bedah buku di kampus Aira. Izmi adalah salah satu mahasiswa di sebuah universitas yang tak jauh dari kampus Aira. Pertemuan mereka memang tak disengaja saat Izmi dan Aira sama-sama menginginkan sebuah buku yang hanya ada satu saja. Dari situlah awal perkenalan mereka hingga akhirnya mereka berkawan begitu dekat.

[Mbak iz mau nikah sama siapa?]

[Bapak]

[Hah bapak? Bapaknya Dek Luna?]

[Huum]
Balasnya singkat.

Diluar jam kuliah, Izmi memang bekerja sebagai pengasuh dirumah salah satu dosen di kampusnya. Menurut ceritanya, beliau sudah lama berpisah dengan sang istri dan tinggal bersama ketiga putrinya. Entah bagaimana cerita selanjutnya Aira tak mengerti sehingga  sahabatnya itu akan menikah dengan ayah dari anak asuhnya.

[Mbak Izmi yakin???]
Tanya Aira masih tidak percaya.

[Insyaallah mbak, semoga ini yang terbaik]
Jawabnya membuat Aira semakin terheran.

[Mbak Izmi besok bisa ketemu?]

[Bisa tapi di komplek aja ya, soalnya bawa anak-anak]

Sore hari setelah jam kuliah berakhir, Aira segera menuju taman komplek perumahan yang sudah ditentukan untuk bertemu Izmi, sesampainya disana Aira sudah melihat Izmi dengan ketiga putri asuhnya.

"Mbak Izmi!" sapa Aira dari kejauhan.

"Eh Mbak Aira," jawabnya sambil memeluk Aira, sebab Izmi dan Aira memang sudah lama tak berjumpa.

Lama berada dalam dekapan Aira, Izmi pun terkejut dengan teriakan putri kecil itu.

"Mamah," kata Luna putri asuhnya yang ketiga memanggil Izmi.

"Iya," jawab Izmi kemudian segera memeluk Luna.

Aira terheran mendengar sang putri asuh memanggil sahabatnya dengan sebutan mamah.

"Mamah, Naya sama Hani main ayunan ya?" tanya Naya meminta ijin pada Izmi.

"Iya Kak, hati-hati ya Sayang," kata Izmi lembut.

Naya dan Hani berjalan menuju ayunan, sedang si bungsu Luna begitu nyaman berada di dekapan Izmi. Tak lama Luna telihat sudah tertidur dalam dekapan wanita cantik yang dipanggilnya mamah itu.

"Mamah? Apa yang terjadi???" tanya Aira langsung pada sahabatnya.

"Semua terjadi begitu cepat dan nggak disengaja Mbak," jelas Izmi membuat Aira  berfikir keras dengan penjelasan sahabatnya.

"Mbak????" hanya itu kata yang dapat terucap dari mulut Aira, entah apa yang difikirkannya saat ini.

"Iya."

"Mbak baik-baik saja kan? Mbak ngak berbuat apapun bukan?" tanya Aira kembali.

Wajah Izmi pun berubah mendengar pertanyaan sahabatnya.

"Astagfirullahalazim mbak, insyaallah aku masih takut dosa Mbak."

"Lalu???"

Izmi menarik nafas panjang sebelum menjelaskan pada Aira yang menuduhnya berbuat yang tidak-tidak.

"Jadi kemaren itu Dek Luna sakit terus minta aku sama bapaknya nemenin tidur terus kami kasih lah pengertian kalo aku sama bapak nggak bisa  tidur bareng eh bilang deh itu yang gede 'yaudah Mbak Izmi sama bapak menikah saja' trus mereka manggil aku Mamah," jelas Izmi secara detail.

"Terus mbak Izmi gak nolak gitu?" tanya Aira menggebu.

"Aku gak tega Mbak nyakitin hati anak-anak. Liat nih wajah polosnya mana sanggup aku liat mereka kecewa!" kata Izmi sambil memeluk cium Luna yang sedang terlelap dalam dekapannya.

"Lalu Mbak sendiri gimana? Sudah yakin menikah dengan Bapak? Mbak tau kan menikah itu sakral dan gak bisa buat main-main. Dan menikah juga bukan setahun dua tahun Mbak, tapi seumur hidup,"  kata Aira sok bijak.

"Duh Aira-ku bijak sekali sekarang, efek pernah terluka?" Kata Izmi menggoda.

"Eh mbak Izmi jangan bicara luka lo ya, ini aku serius gimana jadinya? Kok terkesan nikah karena tidak sengaja saja."

"Iya Mbak aku ngerti, insyaallah aku sudah yakin dengan keputusan ini. Bapak pun sudah berkali-kali menanyakan hal ini sepertimu, beliau begitu bijak tapi justru hal itu yang membuatku semakin yakin."

"Mbak jatuh cinta sama Bapak?" tanya Aira.

"Cinta???? Ah sudahlah bukankah kamu sendiri yang sering menuliskan cerita tentang pahitnya cinta sebelum ada ikatan sah pernikahan?" katanya justru membuat Aira terpojok.

"Ah mbak Izmi,"

"Zzzzzzt jangan keras-keras ketawanya, anakku kebangun nanti," katanya sambil  mendekap putri kecilnya yang masih terlelap.

"Terus mbak mau nikah kapan?" tanya Aira.

"Insyaallah minggu ini Mbak, Bapak lagi urus surat-surat nikahnya,"

"Mbak ini beneran mau nikahan ya?"

"Iya mbak Aira sayang, doain ya Mbak aku bisa jadi istri solehah buat Bapak dan Ibu yang baik buat anak-anak," kata Izmi terus memeluk putri cantiknya.

Aira termenung, ia memikirkan sesuatu tentang keputusan Izmi yang menurutnya begitu konyol. Apakah itu takdir? Mungkinkah Izmi akan melaksanakan pernikahan tanpa cinta seperti yang dikatakannya tadi?
Sungguh, Aira benar-benar tak mampu menerima alasan Izmi dengan logikanya.

Nikmat Setelah HalalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang