13

17 6 0
                                    

"Bang, Gue berangkat bareng Lo kan?" Tanya Aline sambil mengoleskan selai pada roti tawar ditangannya.

"Iyosh. Tapi pulangnya Gue gabisa jemput, Lo sama Davin aja deh,"

Aline menganggukan kepalanya, "Yaudah. Btw Bunda Ayah pulang kapan?"

"Kayaknya besok deh. Bunda sebelum berangkat cerita ke Gue," jawab Adam sembari memasukkan roti tawar ke mulutnya.

"Kok ga cerita sama Gue sih?!"

"Gatau," Adam menjulurkan lidahnya. Sedangkan Aline memajukan bibirnya beberapa senti.

Ketukan pintu menghentikan kegiatan Aline yang begitu khidmat. Ia beranjak melangkah menuju pintu depan untuk membukanya, karena Adam sedang berada dikamar menyiapkan peralatan sekolahnya, "Pagi-pagi udah bertamu," ujar Aline bermonolog.

Setelah dibuka ternyata tidak ada orang. Aline kembali menjumpai sebuah kotak berwarna biru persis seperti kemarin pagi. Dibukanya kotak tersebut, dan isinya pun masih sama seperti kemarin juga. Sebotol kecil minuman berwarna biru dengan kertas dibawahnya. Dibukanya kertas itu,

'BERIKAN KEPADA SESEORANG ATAU BERSIAP UNTUK SEBUAH KEJUTAN'

Aline terus menatapi isi kotak itu. Minumannya benar-benar sama seperti yang ia dapat dari temannya dulu. Dan ia sangat yakin jika memberikannya kepada orang lain maka orang tersebut akan bernasib sama dengannya.

"Al, Lo dimana si?" Panggil Adam dari ruang makan.

"Didepan bentar,"

"Apaan tuh?" Tanya Adam begitu mendapati Aline membawa sebuah kotak ditangannya.

"Bukan apa-apa," ucapnya pelan.

.

Sampai sekarang Aline bimbang harus berbuat apa, minumannya pun masih berada dalam tas nya. Belum tersentuh lagi sejak tadi pagi.

Sejujurnya Aline takut, sangat takut. Takut jika memberikannya kepada seseorang, orang tersebut akan bernasib sama dengannya yaitu dapat membaca perasaan orang lain. Karena itu bukan termasuk hal yang menyenangkan, asal kalian tahu.

Tetapi ia juga takut jika tidak memberikannya kepada seseorang, ia sendiri yang akan terkena dampaknya.

Tadi saja sewaktu jam istirahat ada sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal, yang mengingatkan Aline untuk segera memberi minuman tersebut kepada orang lain.

"Pulang bareng ga?" Tawar Bila.

Aline menggelengkan kepalanya. Bila menatap Aline iba.

"Al, kalo ada masalah cerita aja ke Gue," ucap Bila lirih.

"Apa?" Aline mengangkat kepalanya menghadap Bila.

"Lo hari ini tiba-tiba jadi pendiem banget. Ayo cerita kenapa," ujar Bila menyentuh tangan Aline meyakinkan.

Aline tersenyum untuk menenangkan Bila. Selama ini ia dan Bila hampa tidak pernah memiliki rahasia, mereka selalu berbagi masalah, saling berbagi nasehat, saling berbagi kesedihan, saling berbagi kesenangan.

Tapi tidak untuk masalah yang satu ini. Aline selalu berusaha menutup rapat-rapat kemampuannya tersebut. Hanya dia, bunda, dan Tuhan yang tahu. Orang lain tidak perlu tahu, pikirnya.

"Ya udah lain kali aja gapapa," kata Bila menyadari bahwa Aline belum siap untuk bercerita.

"Kalo gitu Gue pulang dulu. Lo beneran ga pulang bareng Gue?," Imbuhnya.

"Makasih Bil," Aline kembali tersenyum. Bila membalas senyumannya.

Sepeninggal Bila, Aline melangkah menuju halte depan untuk menunggu Davin. Kata Adam, dia sudah meminta Davin untuk pulang bersamanya.

Sesampainya di halte ternyata sudah ada Davin yang sedang duduk di atas motornya. "Eh udah dateng?" Davin tersenyum.

Aline menganggukan kepalanya lemah.

"Lo sakit?" Tanya Davin dengan menempelkan punggung tangannya pada dahi Aline.

Aline menurunkan tangan Davin, "Enggak," balasnya lirih.

"Beneran?"

Aline tersenyum. Davin tersenyum.

"Kalo gitu temenin Gue ke studio fotonya yuk buat photoshoot," ajaknya.

Aline mengangguk, "Boleh deh,"

Mungkin lebih baik ia menemani Davin daripada harus berada dirumah sendirian. Aline terlalu takut. Kemungkinan besar akan ada hal-hal aneh yang ia alami jika ia menyendiri pada keadaan seperti ini.

"Al masa Gue grogi," ucap Davin meremas-remas kedua tangannya ketika melihat siswa lain yang sedang melakukan photoshoot dengan begitu sempurna.

Aline terkekeh melihat ekspresi Davin sekaligus teringat dengan latihan yang Davin lakukan kemarin. "Gapapa. Kemarin aja latihan Lo udah lumayan kok,"

"Ishhh. Gara-gara Danu sialan,"

"Hus ga boleh gitu. Semangat, pasti Lo bisa," ucap Aline sembari mengepalkan tangannya ke udara.

"Davin Jean Anendra," panggil salah satu panitia.

"Tuh sana dipanggil," Ucap Aline.

Davin masuk ke salah satu ruangan untuk mempersiapkan diri seperti peserta lainnya.

Lima belas menit setelahnya, Davin keluar dengan penampilan yang sudah sangat berbeda menurut Aline. Sampai-sampai Aline lupa cara mengedipkan matanya, napasnya pun tercekat hanya sampai tenggorokan. Sudah sebanding seperti peserta lain, pikirnya.

Aline menggelengkan kepalanya. Tidak, bukan sebanding. Melainkan sudah melebihi peserta lain.

"Hmm," Aline berdehem setelah menyadarinya, mencoba menetralkan keadaan. Matanya mengerjap berkali-kali.

Dilihatnya Davin berjalan menuju tempat photoshoot yang terletak cukup dekat dengan posisinya duduk sekarang. Kemudian ia mulai bergaya menghadap lensa kamera.

Diam-diam, Aline ikut memotretnya dengan terlebih dulu pura-pura memainkan ponselnya,

Diam-diam, Aline ikut memotretnya dengan terlebih dulu pura-pura memainkan ponselnya,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Senyum kecilnya terukir ketika melihat hasil jepretan fotonya. Satu pesan masuk membuatnya beralih menuju kolom pesan baru.

+62821****9753 : JANGAN LUPA MINUMANNYA!!!

Aline menghembuskan napasnya kasar, tangannya meremas-remas ponsel miliknya sendiri. Moodnya kembali memburuk seketika.

i can see your feelings -discontinueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang