14

19 6 2
                                    

Davin terkekeh pelan sewaktu melihat ke arah Aline yang sedari tadi menatapnya dengan tatapan penuh pujian.

Tidak terasa sudah satu jam Davin melakukan photoshoot. Dan sekarang perutnya terasa lapar.

Davin tersenyum sesampainya ia dihadapan Aline setelah berganti pakaian, "Hai," sapa Davin.

Suasana tiba-tiba menjadi canggung. Aline ikut tersenyum kecil, "hai juga," jawabnya.

"Yuk balik,"

Aline berdiri kemudian berjalan mengekori Davin. Tiba-tiba Davin berhenti dan membalikkan badannya. "Lo laper gak Al?" Tanyanya tepat didepan wajah Aline.

Aline tentu terkejut. Posisinya dengan Davin saat ini sangat dekat. Ia refleks memundurkan sedikit tubuhnya, "Enggak,"

"Mau langsung pulang?"

Aline diam sebentar, kemudian ia menggelengkan kepalanya, "Enggak,"

"Yaudah. Temenin Gue makan yaa,"

Aline menganggukan kepalanya.

Keduanya kembali berjalan menuju halaman studio foto. Kemudian Davin membawa Aline melesat membelah jalanan menuju salah satu tempat makan di kota besar ini.

Davin membawa Aline menuju warung makanan seafood dipinggiran jalan.

"Lo beneran ga laper? Ga mau makan?" Tanya Davin sekali lagi.

Aline kembali menggelengkan kepalanya.

"Gue pesenin minum deh ya?"

"Boleh,"

Davin melangkah menuju tempat pemesanan. Setelahnya, ia ikut duduk dengan Aline yang sudah terlebih dahulu duduk.

Hening seketika.

"Al, Lo bisa cerita ke Gue kalo ada apa-apa," ujar Davin menatap Aline tegas setelah menyadari kondisi gadis didepannya.

Aline menundukkan kepalanya dalam-dalam, "Maaf,"

Sebenarnya Aline sangat ingin berbagi tentang masalahnya. Tetapi, ia belum siap jika orang lain akan mengetahui bagaimana keadaannya. Aline sangat sangat menahan diri untuk tidak bercerita kepada siapapun. Mungkin ini juga yang membuatnya menjadi pendiam, karena mendapat masalah seberat ini, dan belum siap untuk meringankannya.

"Yaudah gapapa," jawab Davin pasrah.

"Eh gimana tadi Gue?" Tanya Davin bersemangat mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Mantul," jawab Aline sambil mengangkat kedua jempolnya.

Davin tersenyum tengil, "Ganteng kan Gue?" ucapnya sambil menopang dagu dengan tangannya.

Aline menyenggol lengan Davin, "Yee biasa aja dong pak," ucapnya terkekeh.

Davin pun terkekeh, "Nah gitu dong jangan murung mulu," ujar Davin mengangkat jempolnya mengikuti Aline.

Davin tersenyum lebar, "Finally," katanya setelah melihat sepiring nasi goreng seafood dihadapannya.

"Lo laper banget ya?" Tanya Aline melihat Davin yang begitu lahap makan.

Davin menganggukan kepalanya, "Iya, tadi istirahat terakhir Gue ga makan," ucapnya setelah meneguk segelas es teh.

"Lo dirumah sendirian?" Tanya Davin sambil memasang helmnya.

"Iyaa,"

"Gak papa kalo sekarang langsung pulang?"

Aline menggelengkan kepalanya, "Gak papa,"

Davin memberhentikan motornya tepat didepan pintu gerbang tinggi berwarna putih. "Lo beneran sendiri dirumah?" Ulang Davin.

Aline turun dari motor hitam milik Davin itu, "Iyoi," jawabnya.

"Yaudah Gue temenin deh ya?"

"Gak usah. Lo pulang aja kali, istirahat. Pasti Lo cape banget,"

Davin tersenyum, "Makasih,"

Kedua alis Aline tertaut, "Untuk?"

"Udah mau nemenin Gue dan..." Davin memberi jeda sebentar sebelum melanjutkan bicaranya.

"Udah perhatian,"

"P-perhatian dari mananya?" Tanya Aline seketika menjadi gugup.

Davin terkekeh, "Mukanya merah," tunjuknya tepat didepan wajah Aline.

"Udah sana balik. Gue masuk. Makasih," ujar Aline ketus kemudian dengan setengah berlari ia memasuki rumahnya.

.

"Kok bisa gitu yaa,"

"Ih kok Gue aneh sih,"

"Kenapa bisa langsung good mood coba,"

"Kenapa bisa pas banget sama Davin,"

"ISHHH KENAPA GUE BISA LANGSUNG GOOD MOOD WAKTU SAMA DAVIIIN," teriak Aline frustasi didalam kamarnya.

Sudah setengah jam, Aline terus berguling-guling di kasur empuk dalam kamarnya. Pikirannya terus bergelut dengan peristiwa ia bersama Davin hari ini. Niat yang akan tidur lebih cepat justru tertunda karena otaknya yang tidak mau berhenti bekerja.

Tapi memang benar, hari ini mood Aline memang aneh. Mulai dari yang pendiam karena teror bodoh itu, sampai kepada siapapun yang bertemu dengannya ia diamkan. Kemudian langsung berubah ketika bersama Davin. Padahal mereka hanya berbincang-bincang biasa, entahlah. Sepertinya hanya Davin yang bisa menjadi pengalih kondisinya.

Tok

Aline terlonjak ketika mendengar suara ketukan pada jendela kamarnya. Sontak ia langsung memasukkan dirinya kedalam selimut. Pikirannya langsung teringat dengan adegan-adegan pada film horror.

Tok

Aline memejamkan matanya rapat-rapat. Tangannya menutupi kedua telinganya. Suara ketukan itu semakin keras. Tubuhnya makin meringkuk. Mulutnya terus mengucap doa-doa yang pernah diajarkan guru agamanya disekolah.

Brakk

Kemudian berubah menjadi suara jendela tertutup. Hening. Kepala Aline menyembul dari balik selimut pelan-pelan, dilihatnya ada sebuah kertas yang sudah diremas menjadi bola-bola tergeletak pada lantai dibawah jendela.

Aline masih terdiam memandangi kertas tersebut, tubuhnya belum beranjak. Takut-takut akan ada hal aneh susulan lagi.

Lima belas menit berlalu, ternyata tidak ada yang terjadi lagi. Dengan hati-hati, Aline beranjak dari kasurnya untuk mengambil kertas yang tergeletak tersebut.

'MINUMAN ATAU KELUARGA'

Aline berdecak, tatapannya menjadi sendu. Ia kembali naik ke kasurnya, kemudian menutupi separuh tubuhnya dengan selimut, memaksakan untuk tidur.






Sudah sangat stuck banget pemirsaaaah
Sudah mulai jarang melanjutkan this story
Sudah malas menulis
Mohon maafffff
Jangan lupa vote!!!!!!!!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

i can see your feelings -discontinueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang