9

25.4K 1.4K 31
                                    

9

Hari keempat pernikahan kami, aku sudah mulai bekerja, begitu juga Raven. Tidak ada bulan madu yang indah ke luar negeri atau tempat romantis lainnya. Ini pernikahan paksa, bahkan Raven juga memaksaku untuk melayani nafsu gilanya.

Ah, sekali lagi aku munafik. Selalu mengatasna-makan paksaan, selalu bilang aku dipaksa melayaninya, padahal ujung-ujungnya aku mendesah oleh cumbuan-nya. Aku ketagihan dan mau saja digaulinya lagi dan lagi.

Ternyata aku sangat lemah. Aku bertekad tidak akan terpesona padanya, tapi diam-diam malah masuk ke dalam jeratnya. Tapi tentu saja, aku tidak akan menunjukkan ketertarikanku padanya atau aku bisa digilas. Dia akan semakin mengerjaiku dan semena-mena bila tahu dia berhasil memikatku. Aku tahu pasti Raven, dia sangat puas bila bisa menggoda atau mengerjaiku.

Dengan gerakan malas, aku mengenyakkan bo-kongku di kursi di balik meja kasir toko sepatu milikku yang terletak di salah satu pusat perbelanjaan yang sangat ramai di kota ini.

Aku melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Kugerak-gerakkan otot tubuhku dan kusentuh tengkukku dengan tangan kanan. Tubuhku terasa lenguh sekali. Raven memang punya gairah gila di atas ranjang. Sepanjang malam aku hanya bisa tidur beberapa jam saja, selebihnya untuk melayani nafsu gilanya.

Kuraih cermin kecil dari laci meja. Terlihat tanda gelap di bawah mataku akibat kurang tidur yang tersamarkan olehmakeup tipis yang kupoles tadi. Kurang tidur karena tidak henti diajak bercinta oleh Raven.

Kuelus pelan rambut lurus sepunggungku yang berwarna hitam. Menikmati rasa halus rambutku di telapak tanganku yang mungil.

Tiba-tiba perhatianku tersedot oleh suara wanita yang baru masuk ke dalam tokoku.

Kulihat Arini, karyawan tokoku, sedang menerima dua orang pengunjung yang satunya sangat kukenal pasti.

"Sayang, aku mau sepatu ini, ya," kata si wanita manja sambil meraih tangan si pria dan menunjukkan sepasang sepatukeluaran terbaru yang harganya sangat mahal.

Kulihat si pria tersenyum kaku dan mengangguk. Si

wanita langsung berjingkat dan mengecup bibir si pria, sebagai tanda euforia rasa senangnya karena si pria mau membelikannya sepatu keluaran terbaru yang sangat mahal itu.

Saat si wanita sedang sibuk memilih sepatu lainnya, si pria menoleh ke arahku. Seketika wajahnya menegang. Aku mendengus. Benci melihat tingkahnya yang walau sudah menikah, masih saja tidak berubah. Playboy tetaplah playboy. Baru tadi malam dia mencecap tubuhku, siang ini dia sudah bersama wanita lain.

Aku tahu, Raven pasti kaget dan tidak menyangka aku ada di sini. Selama ini dia tidak pernah ingin tahu apa-apa tentang diriku yang telah menjadi istrinya. Dia pasti tidak tahu kalau toko sepatu ini milikku. Istrinya!

"Honey..."

Aku membuang muka saat melihat si wanita memanggil manja pada Raven yang terlihat mulai salah tingkah. Heran, segini banyak bujangan kaya di kota ini, kenapa Mami memilih pria seperti Raven untuk menjadi suamiku? Pria yang sama sekali tidak terlihat akan mengubah sifat gila wanitanya walauia sudah menjadi suamiku.

Raven dan wanita itu mendekat ke mejaku untuk membawa sepatu yang dipilihnya. Aku menahan amarah yang sudah membuncah di dada. Wajahku pasti sudah merah padam saat ini. Walaupun aku menikah dengannya karena dipaksa olehorangtuaku, tapi aku sama sekali tidak rela berbagi dirinya dengan wanita manapun. Hatiku terasa sakit sekali mengingat suamiku sibuk membelanjakan uangnya untuk wanita lain, yang pastinya siang ini akan berakhir di atas ranjang.

Aku tidak tahu ke mana mereka akan berlabuh siang ini,karena sejak kami menikah, kondominium Raven sudah menjadi tempat tinggal kami. Mungkin mereka harus mencari hotel untuk melepas nafsu gila mereka.

Wajah Raven terlihat tegang dan pucat. Ia mengeluarkan kartu kredit tanpa bersuara. Sejujurnya aku ingin membanting sepatu-sepatu ini ke wajah tampannya, tapi aku masih punya etika pada pe-ngunjung tokoku. Aku masih berusaha mengendalikan diri meski api kemarahan serasa telah melalap habis kesabaranku.

Baru tadi malam dia mengajakku bercinta dengan begitu mesra, tapi siang ini dia sudah bersama yang lain. Tidak cukupkah diriku untuk memuaskannya?

Aku tahu, dia selalu berusaha mengerjaiku dengan hal kecil seperti membuat kopi dan lain-lain, tapi aku tetap melakukannya. Selain karena itu adalah tugas seorang istri, aku juga mulai merasa senang saat bersamanya.

Tapi pagi ini rasa senangku musnah sudah. Lihat saja, aku tidak sudi pulang ke kondominiumnya malam ini.

***

Bersambung...

Evathink
IG : evathink

The Forced MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang