11

24.9K 1.3K 30
                                    

11

Flozia POV

Aku menatap hampa pada Raven yang sedang duduk bercerita dengan kedua orangtuaku. Aku tahu, kedua orangtuaku pasti menangkap ketidakberesan antara aku dan Raven.

Saat meninggalkan toko pukul lima tadi, aku langsung ke rumah orang tuaku. Sebenarnya tokoku tutup pukul sembilan malam, tapi aku sangat jarang berada di toko hingga malam hari. Aku mempercayakan tokoku pada Arini, gadis muda yang sudah dua tahun ini bekerja padaku. Aku bahkan mengizinkangadis yang berasal dari luar kota itu untuk tinggal di kamar kosong

di lantai dua.

"Raven minta izin pulang dulu, Pi, Mi," kata Raven setelah cukup lama mengobrol dengan kedua orang-tuaku.

Mami tersenyum manis. Aku sangat tahu Mami sangat suka pada Raven, selain kaya, Raven memang sangat tampan. Dia memiliki mata cokelat terang yang sangat menarik. Wajahnya sangat memesona dengan tulang rahang yang kukuh dan hidung yang mancung. Sepasang alis yang tebal tertata rapi, makin membuat wajahnya terlihat sempurna. Kulitnya yang berwarna sedikit gelap serta tubuh yang tinggi dan berotot membuat ia benar-benar menjadi pria idaman semua wanita.

"Jangan pulang dulu, makan malam di sini, ya. Mami ada masak ikan asam pedas kesukaanmu," kata Mami manis dan lembut.

Aku merengut. Kebaikan Mami pada Raven terasa sungguh berlebihan. Mami bahkan tahu lauk kesukaan Raven. Terkadang aku sering berpikir, apakah Papi tidak cemburu dengan sikap Mami ini? Mungkin tidak, mengingat Papi terlihat senang-senang saja.

"Terserah Flo saja, Mi," jawab Raven sopan.

Aku menggerutu dalam hati. Terserah aku apanya? Aku tidak peduli dia mau makan malam di sini atau langsung pulang. Yang jelas, aku tidak akan ikut dengannya.

Mami memberiku lirikan penuh arti. Aku tahu, Mami ingin aku bersuara agar Raven makan malam di sini. Tapi aku hanya diam membisu, pura-pura tidak mengerti arti tatapan Mami. Melihat tidak ada itikad baik dariku, Mami langsung mengajak kami ke ruang makan untuk makan malam.

Dengan setengah hati, aku bangun dan mengikuti mereka.Kupilih kursi yang paling jauh dari Raven. Sungguh, kejadian tadi siang cukup membekas di hatiku.

Sepanjang makan malam, dapat kurasakan tatapan mataRaven tak pernah lepas dariku, mungkin dia merasa bersalah karena ketahuan selingkuh. Tapi untuk apa aku peduli? Jika tidak takut orangtuaku malu, aku pasti sudah meminta cerai darinya. Tidak mungkin aku bisa kuat bersuamikan pria kaki wanita seperti dirinya.

Selesai makan malam, aku langsung masuk ke kamar,sengaja menghindar lebih dulu sebelum Raven mengajakkupulang di depan orangtuaku dan mem-buatku tidak bisamenolaknya.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Raven berdiri tegak di dekatpintu. Setitik penyesalan menderaku. Bagaimana mungkin aku bisa lupa mengunci pintu?

"Ayo kita pulang," ajak Raven dingin.

Aku bergeming. Segera kuraih baju tidur untuk menggantikan blus tanpa lengan dan celana jeans se-tengah paha yang sedang kukenakan.

"Aku tidur di sini, kamu pulang saja," kataku datar tanpa menoleh ke arahnya. Segera kulepas pakaianku. Aku sama sekali tidak merasa risih atau takut Raven tergoda melihat tubuhpolosku. Bukankah dia sudah berpuluh-puluh kali melihatnya, bahkan mencium dan menyentuhnya dengan tangan kasarnya yang nakal? Dan aku yakin dia sudah mendapat 'jatah'-nya dari wanita penggoda tadi siang. Pastinya dia tidak akan bernafsulagi melihat tubuh polosku, bukan?

Tapi aku salah besar. Tiba-tiba lengan yang kukuh merangkul pinggangku dan sebuah kecupan hangat hinggap di bahuku yang polos tanpa selembar benang pun. Aku tersentak dan berteriak kecil.

"Lepaskan!" pintaku dengan napas memburu. Bukan hanya karena marah, tapi karena ciuman Raven mulai membangkitkan gairahku. Bayangan percintaan kami bermain di benakku membuat api gairahku tiba-tiba saja menyala.

"Ssstt... jangan sampai orangtuamu mendengarnya, Sayang.Nanti mereka pikir aku memperkosamu," bisik Raven nakal.

Tanpa menunggu lama, ia meraih tubuhku dan mengempasnya ke atas ranjang. Rasa panas menjalar ke wajahku. Dapat kulihat kilat gairah di mata cokelat miliknya saat ia menelusuri seluruh tubuhku dengan mata nakalnya.

Aku membuang muka menahan malu. Mataku terpaku padapintu kamar yang sudah tertutup dan terkunci. Dasar Raven otak mesum! Ini pasti sudah direncanakan olehnya.

Aku ingin berteriak, tapi seperti kata Raven, takut nanti orangtuaku mendengarnya.

"Aku tidak mau!" kataku kesal dengan suara tertahan sambil berusaha mendorong tubuh Raven yang

mulai menindih tubuhku.

"Aku berubah pikiran, Sayang. Malam ini aku ingin menginap di sini saja," kata Raven menggoda. Setelah mengucapkan kalimat itu, ia menuduk dan membekap bibirku dengan bibirnya, membuatku gelagapan. Se-jujurnya aku ingin menendang pangkal pahanya karena ia benar-benar sedang berusaha  memperkosaku, tapi aku takut nanti dia cacat dan akukesepian seumur hidup.

"Lepaskan! Aku tidak mau!" kataku dengan suara tertahansaat Raven melepas ciumannya dan mulai mencumbu leherku.

"Jangan berisik, Sayang. Mari kita nikmati percintaan ini," bisik Raven menggoda dan kembali mencium leherku.

Dan apa yang dia inginkan terjadi. Kesekian kalinya aku ambruk dalam pelukannya.

 ***


bersambung ....

jangan lupa love dan komen ya teman2

makasih

Instagram/Youtube: evathink

Ebook tamat tersedia di GOOGLE PLAY BUKU & KARYA KARSA

ORDER VERSI PDF pada EVATHINK: WA 08125517788

The Forced MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang