12

25K 1.3K 34
                                    

12

Author POV

"Ayo pulang," desak Raven pada Flozia yang duduk di balik meja kasir dan acuh tak acuh saat melihatnya.

Raven sengaja mendatangi istrinya ke toko sepatunya. Sudah dua hari berlalu sejak kejadian ia dipergoki bersama Jessy. Dan sejak itu, Flozia sama sekali tidak mau pulang ke kondominiumnya. Walaupun ia dan Flozia sudah bercinta dengan panas membara, tetap saja Flozia bersikap dingin setelah itu.

Sejujurnya ia sangat malu pada kedua mertuanya. Ia yakin, mertuanya sudah mencium gelagat tidak baik dalam pernikahan mereka.

"Aku sibuk. Kamu pulang saja sendiri," jawab Flozia ketus.

Raven menghela napas berat, berharap kesadarannya tetap berada pada tempatnya agar amarahnya tidak membuncah dan berkata kasar pada Flozia. Flozia salah paham padanya. Dan ia sudah berusaha menjelaskannya berkali-kali, tapi Flozia masih kukuh menganggapnya bersalah.

Sebenarnya jika ditelaah dengan otak playboy-nya, untuk apa ia peduli pada Flozia? Ia punya banyak wanita untuk bersenang-senang. Tapi sungguh ironis, ia justru berada di sini, berusaha mengajak istrinya pulang ke kondominiumnya. Apa ini pertanda kalau ia mulai tidak waras?

Mungkin bukan hanya tidak waras, hatinya bahkan sudah tidak mau diajak kompromi. Hatinya sangat menginginkan Flozia dan bukan wanita lain.

"Sudah pukul tujuh, aku lapar. Ayo pulang dan makan malam," kata Raven berusaha sesabar mungkin.

Apa pun yang akan terjadi, malam ini ia akan memaksa Flozia pulang ke kondominiumnya. Ia tidak mau memanjakan istrinya dengan seenaknya terus-menerus pulang ke rumah orangtuanya.

"Aku tidak melarangmu makan. Sudah, jangan ganggu aku, aku bosan!" kata Flozia ketus

Amarah Raven benar-benar naik ke ubun-ubun. Selama ini,tidak pernah ada wanita yang berkata ketus padanya. Selama ini, para wanita memujanya sebagai pria idaman mereka.

"Jangan kurang ajar! Ayo pulang atau aku tidak akan malu-malu menciummu dan bercinta denganmu di sini," ancam Raven.

Seketika wajah Flozia memucat. "Kamu tidak akan

berani," kata Flozia dengan mata berkilat takut.

Raven menyeringai. Ia tahu ancamannya sudah tepat sasaran.

"Perlu bukti?" tanya Raven sambil mengitari meja dan berjalan mendekati Flozia.

Maat Flozia membesar. Seringai Raven semakin lebar.

Akhirnya Flozia bangun dan mau tidak mau keluar dari tokonya sambil menenteng tas. Ravel tersenyum puas dan menyusul istrinya.

***

Flozia POV

Aku mengempaskan tubuhku dengan kesal ke atas ranjang. Kesal karena dipaksa oleh Raven untuk ikut pulang dengannya.

Sudah dua hari ini aku merana, dilema antara ingin memercayai Raven atau tetap kukuh pada pemikiranku bahwa Raven masih saja tidak berubah, masih playboy!

Sambil mengatur napas yang memburu, aku menarik selimut menutupi tubuh dan memejamkan mata, tidak ingin melihat Raven dan kembali membahas masalah yang satu itu.

 "Bangun, Flo. Kenapa tidak ke dapur dan masak sesuatu untuk makan malam kita?" tanya Raven sambil duduk di sisi ranjang dan menarik selimutku.

Selimut tersibak. Aku melotot padanya. Mengapa

tadi tidak mampir ke restoran dulu untuk makan, malah buru-buru membawaku pulang ke kondominium. Apa dia takut aku kabur?

"Ayo bangun."

The Forced MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang