15

22.7K 1.3K 22
                                    

15

Author POV

Raven menahan napas melihat Flozia duduk berdua dengan pria itu. Berani-beraninya istrinya bermain di belakangnya.

"Oke, Raven, sampai jumpa," kata Jenny sambil tersenyum manis.

Jenny adalah istri Rando, teman dekatnya. Mereka tadi makan siang bertiga. Begitu selesai makan, Rando langsung pamit karena masih ada urusan dan tinggallah ia dan Jenny. Jenny memilih untuk mengobrol sebentar sebelum kembali ke kantornya yang terletak beberapa blok dari restoran ini.

Dan ternyata pilihan Jenny membawa petaka bagi Raven.Flozia melihat mereka hanya berdua dan pasti sekali lagi istrinya itu salah paham.

Begitu sosok Jenny berlalu, Raven langsung bangkit dan berjalan menuju meja di mana Flozia berada.

"Bagaimana makan siangnya, Sayang?" tanya Raven pura-pura ramah sambil duduk di kursi kosong di samping Flozia."Maaf lama, tadi ada sedikit urusan dengan teman," lanjut Raven ringan.

Flozia mendelik ke arahnya tanda tidak senang. Raven tertawa dalam hati. Apa Flozia pikir ia akan diam saja melihat istrinya selingkuh?

Pria yang bersama Flozia mengerut kening tanda heran.

"Ini temanmu, Sayang?" tanya Raven pada Flozia sambil mengulum senyum. Sejujurnya api kemarahan sedang membara membakar dadanya. Pria ini begitu tampan dan Flozia dengan berani meliriknya.

Flozia makin melotot ke arah Raven. Sedangkan pria yang bersama Flozia makin mengerutkan kening.

"Kamu tidak mau mengenalkan suamimu pada temanmu ini,Sayang?" tanya Raven mesra pada Flozia yang wajahnya sudah memerah.

Flozia menggigit bibir menahan kesal. "Kenalkan, Rakka, suamiku, Raven," kata Flozia setengah hati.

Raven menyambut uluran tangan Rakka dan mengulum senyum saat Rakka menyapanya dengan kata 'hai'.

"Aku tidak bisa lama, kalian sudah selesai makan,

kan?" tanya Raven sambil melirik piring-piring yang sudah kosong di atas meja, lalu menatap Flozia yang terlihat makin kesal melihat ulahnya.

"Kamu duluan saja, Raven. Aku pulang sama Rakka, kami masih ingin mengobrol," kata Flozia pura-pura lembut.

"Sayang, kamu lupa? Kita kemarin sudah janji mau belanjasiang ini," kata Raven mesra dan lembut. Tentu saja ia bohong. Mereka tidak melakukan janji apa pun.

"Em, tidak apa-apa, Flo. Kamu ikut suamimu saja," kata Rakka pelan.

Flozia melotot ke arah Raven yang dibalas dengan seringaikemenangan oleh suaminya itu.

"Rakka... tapi..."

"Ayo, Sayang," ajak Raven sambil berdiri dan meraih tangan Flozia dengan mesra, pura-pura tidak melihat sorot keberatan di mata Flozia. "Sorry, Bung, kami jalan dulu, ya," kata Raven ramah pada Rakka. Hanya pura-pura, tentu saja.

Rakka hanya mengangguk dengan senyum tipis.

Flozia terlihat serba salah.

"Tidak apa-apa, Flo, nanti kita kan bisa bertemu lagi dan bercerita panjang lebar."

Dalam mimpimu! Umpat Raven dalam hati. Siapa yang akan mengizinkan istrinya berduaan dengan pria setampan Rakka? Bukan Raven tidak percaya diri, tapi sebagai pria, ia tahu, Rakka sangat tampan hingga bisa membius wanita di dekatnya. Dan ia tidak mau Flozia terpikat, Flozia istrinya! Miliknya!

"Maaf ya, Ka. Nanti aku hubungi lagi," kata Flozia sambil berdiri.

Sekali lagi Raven mengumpat dalam hati, berani sekali istrinya membuat janji kencan dengan pria lain di depannya, apa Flozia sedang berusaha membalasnya?

Rakka tersenyum lembut. Senyum yang membuat Raven ingin menonjok wajah itu agar senyumnya lenyap.

***

Flozia POV

"Apa maksudmu dengan menggangu acaraku bersama temanku?" tanyaku kesal begitu sudah berada di dalam mobil Raven yang sedang melaju di jalan raya.

"Harusnya kamu sadar diri, kamu sudah menikah tapi masihsaja berduaan dengan pria lain!" tukas Raven jengkel.

Aku mendelik menatapnya. "Apa tidak terbalik? Kamu yang masih terus bermain wanita!" ketusku.

"Kami hanya teman." Raven membela diri.

Aku mencibir. Teman? Teman mesra maksudnya?

"Dia istri temanku. Tadi kami makan bertiga," jelas Raven tanpa kuminta, namun begitu, ada nada tak acuh dalam suaranya yang membuatku jengkel. Seolah bagi Raven hal tersebut bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan.

Apa Raven tidak peduli sama sekali dengan pera-

saanku? Aku istrinya, melihatnya makan siang dengan wanita lain membuat dadaku sesak.

Raven menoleh sekilas padaku, lalu kembali menatap jalan raya.

"Kamu ingin aku mengenalkan suaminya padamu? Memastikan bahwa tadi kami makan bertiga, agar kamu lebih percaya, mungkin?" tanya Raven dengan nada ringan.

Aku merengut. Apa ini artinya aku harus percaya bahwa Raven tidak menduakanku? Dia mau me-ngenalkanku pada suami wanita tadi untuk menun-jukkan dengan jelas bahwa dia tidak bersalah, bukan? Dan tentu saja aku tidak mau mempermalukan diri sendiri dengan bertanya langsung pada suami wanita itu. Bukankah itu sama saja menunjukkan bahwa aku tidak percaya pada suamiku sendiri?

Aku terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa.

"Aku tidak suka kamu seenaknya jalan dengan pria lain, Flo," kata Raven tiba-tiba.

Aku menoleh padanya. Rahangnya terlihat mengetat menandakan ia sedang tidak senang.

"Sudahlah, Raven. Jangan urusi urusanku," kataku sambil meraih ponsel dari dalam tas dan membalas pesan dari Rakka yang katanya besok akan menemuiku lagi. Aku tersenyum tipis.

Tiba-tiba mobil yang sedang melaju berhenti mendadak. Aku tersentak. Rupanya Raven memarkirkan mobilnya di pinggir jalan raya yang sepi.

Raven merampas ponselku dan dengan kesal mema-

sukkannya ke saku celananya.

"Raven!! Kembalikan ponselku," pintaku kesal dan berusaha mengambil ponselku darinya.

Raven bergeming. Aku semakin kesal. Kucoba mengambil ponselku dari saku celana Raven.

Tapi sia-sia. Raven yang sedang dalam posisi duduk sungguh sulit untuk tanganku masuk ke dalam saku celananya. Tapi karena tidak rela ponselku diambil olehnya, aku berusaha sekuat tenaga untuk kembali mendapatkannya.

Tidak sengaja tanganku menyentuh pangkal paha Raven. Seketika aku terpaku. Kuangkat wajahku yang memanas untuk menatap Raven. Raven juga menatapku tanpa berkedip. Dan sedetik kemudian Raven me-nunduk dan mengecup bibirku. Aku tersadar dan mendorong kepalanya dengan napas terengah.

Raven menyeringai. "Sepertinya aku tidak jadi mengantarmu kembali ke tokomu, kondominium kita akan jauh lebih menarik," kata Raven nakal.

Wajahku memanas. Aku tahu maksudnya. "Tidak, aku tidak mau," kataku kesal.

Tapi seringai Raven semakin lebar. Dadaku tiba-tiba berdebar tidak menentu, aku tahu sebentar lagi Raven akan membawaku terbang menggapai puncak kenikmatan. Seperti apa pun aku menolak, pasti akan percuma.

***

bersambung ....

jangan lupa love dan komen ya teman2

makasih

Instagram/Youtube: evathink

BTW, Novel karya2 saya tersedia versi buku cetak, PDF dan ebook.

Buku cetak (READY STOCK) dan PDF, bisa diorder pada saya, WA 08125517788

Untuk ebook tamat tersedia di GOOGLE PLAY BUKU & KARYA KARSA

The Forced MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang