16
Flozia POV
'Nanti malam kita makan malam di rumah orangtuaku, siapkan dirimu.'
Aku membaca pesan dari Raven. Acara makan malam dalam rangka apa?
Tapi karena malas bertanya lebih lanjut lagi, aku hanya membalasnya dengan sebuah jawaban singkat, 'iya'.
Aku duduk bersandar di kursi di balik meja kasir dan memejamkan mata, membayangkan isi lemari di kondominium Raven. Ah ya... sekarang tentu saja sudah menjadi kondominiumku juga. Kondominium kami.
Sepertinya aku harus belanja pakaian untuk acara makan malam nanti, mencari sebuah gaun sederhana yang sopan dan elegan adalah pilihan yang bijak. Tidak mungkin aku bertamu ke rumah mertuaku dengan pakaian yang terlalu seksi. Ada mertua dan ipar-iparku yang akan melihat dan menilai penampilanku nanti.
Aku melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tiga sore, sepertinya ini waktu yang cukup tepat untuk berbelanja.
Aku meraih tas dan berdiri. Kudekati Arini yang sedang menyusun sepatu agar selalu terpajang rapi.
"Rin, jaga toko, ya, kalau kamu lelah, tutup lebih cepat saja," pesanku dengan senyum lembut. Sebenarnya aku tipikal atasan yang cukup pengertian pada bawahannya. Aku tidak ingin Arini kelelahan bila menjaga toko sendirian tanpaku hingga malam.
Tapi sampai saat ini, Arini selalu menutup toko tepat waktu dan tidak pernah bermalas-malasan. Mungkin aku harus mencari satu pegawai lagi untuk membantunya.
"Baik, Kak, hati-hati di jalan."
Aku mengangguk dan tersenyum tipis padanya lalu meninggalkan toko.
Dengan langkah ringan, aku mendekati mobil mungilku yang terparkir di pekarangan toko. Pikiranku berkelana ke sana kemari. Memikirkan akan berbelanja sendirian bukanlah hal yang menyenangkan, tapi untuk mengajak Raven sangatlah tidak memungkinkan, aku gengsi, tentu saja. Dan satu-satunya teman dekatku, Nayla, sudah menikah dan pindah ke negeri jiran.
"Flo."
Aku menoleh saat mendengar sebuah suara memanggil namaku. Senyum lebar seketika menghiasi wajahku.
"Rakka, mau ke mana?" tanyaku ceria.
Rakka mendekatiku dan tersenyum tipis.
"Hanya ingin menemuimu, kamu mau jalan?" tanya Rakka sambil menatapku dengan dahi berkerut.
"Iya. Bagaimana jika kita kemall? Aku mau belanja, jadi kita bisa sekalian ngobrol-ngobrol," tawarku pada Rakka.
Rakka terlihat berpikir sejenak, lalu mengangguk.
Aku tersenyum lebar, lalu menggamit tangan Rakka, mengikutinya ke mobilnya dan melupakan mobilku begitu saja.
Aku dan Rakka berteman sudah sangat lama. Dan bergandengan tangan atau sedikit rangkulan bukanlah hal luar biasa di antara kami.
***
Author POV
"Flozia mana?" tanya Raven datar pada Arini, pegawai toko Flozia.
Arini mengangkat wajah menatap Raven. "Kak Flo keluar, Pak Raven," jawab Arini sopan.
Raven mendesis tidak senang. "Ke mana?"
"Saya tidak tahu, Pak. Tadi sama temannya,"
Seketika napas Raven memburu. Teman? Apa mungkin Rakka?
Amarah berkobar di dada Raven. Flozia sama sekali
tidak mengindahkan peringatannya. Secepat kilat Raven meraih ponselnya dan melacak keberadaan Flozia lewat GPS ponsel.
Dan berhasil. Posisi Flozia berada di sebuah pusat perbelanjaan. Raven menghela napas jengkel. Tanpa berkata apa pun lagi pada Arini, ia segera meninggalkan toko Flozia untuk menyusul istrinya.
Cukup lima menit dan Raven sudah tiba di pusat perbelanjaan yang dimaksud. Dengan langkah lebar, Raven mendekati tangga eskalator dan naik ke lantai dua.
Benar saja. Begitu ia tiba di lantai dua, Flozia terlihat keluar dari sebuah butik sambil bergandengan tangan dengan Rakka dan bercanda mesra. Mereka bercerita dan tertawa tanpa peduli pada orang-orang di sekitar.
Dada Raven seketika panas terbakar melihat bagaimana akrab dan mesranya Flozia dan Rakka.
"Flozia!" seru Raven dengan nada keras.
Canda-tawa itu terhenti. Keduanya serentak mengangkat wajah dan menatap Raven.
Seketika wajah keduanya memucat, meski sebenarnya harus Raven akui, Rakka cukup cepat menguasai keterkejutannya.
Rakka melepas tangan Flozia.
"Raven...?"
"Kalian kencan?" tanya Raven dengan suara keras sambil berjalan mendekati Flozia. Beberapa pengunjung yang lalu-lalang mulai memerhatikan mereka.
"Raven... Rakka menemaniku belanja," jawab Flozia dengan nada pelan. Wajah pucatnya sudah berganti merah, malu bila harus bertengkar di depan umum.
Raven mendengus kesal dengan wajah merah.
"Kami cuma belanja, Bung," jelas Rakka agar Raven tidak salah paham.
Ya. Berbelanja sambil berkencan. Bergandengan tangan dan bercanda-ria, gerutu Raven dalam hati.
Tanpa mengacuhkan Rakka, Raven menarik tangan Flozia dan membawanya berlalu dari hadapan Rakka.
Flozia berusaha menahan langkahnya menandakan ia tidak mau ikut dengan Raven, dan itu membuat Raven semakin naik darah.
"Raven, lepaskan, aku belum pamit pada Rakka," kata Flozia kesal sambil berusaha melepaskan cengkeraman Raven di tangannya
Raven bergeming. Ia tahu Rakka masih berdiri di belakang sana dan menatap mereka. Ia tidak perlu peduli, bukan?
"Kamu akan mendapat hukumanmu hari ini, Sayang. Aku akan menghukummu agar kamu memetik pelajaran dari kenakalanmu hari ini."
***
Bersambung...
Evathink
IG : evathink
KAMU SEDANG MEMBACA
The Forced Marriage
RomanceFlozia dan Raven menikah karena dijodohkan oleh orangtua mereka. Flozia dengan berat hati menerima Raven. Demikian juga dengan Raven. Namun rupanya cupid sudah beraksi. Keduanya tidak sadar, seiring berjalannya waktu, panah cupid telah menancap inda...