20
Flozia POV
Aku menatap mobil sport berwarna putih yang memasuki pekarangan rumah orangtuaku. Seketika dadaku berdebar tidak menentu. Raven datang!
Aku tahu Mami yang mengundang Raven. Dan aku juga sangat tahu,Mami ingin agar aku dan Raven segera berbaikan.
Raven melangkah masuk ke beranda. Membuatku yang sedang duduk di salah satu kursi santai di teras, menjadi gelisah. Aku menahan napas, menjaga ekspresi agar tidak telihat gugup.
Wangi parfumnya seketika menyentuh penciumanku membuat dadaku semakin berdebar tidak menentu. Aku bahkan bisa mendengar detak jantungku sendiri yang berdegup kencang.
Raven duduk di kursi tidak jauh dariku. Aku hanya diam, berharap Mami datang menyelamatkan situasi. Tapi harapanku sia-sia. Mami sama sekali tidak mau keluar untuk berbasa-basi pada Raven dan mencairkan suasana tegang di antara kami.
Langit mulai gelap pertanda malam mulai menjelang. Aku masih duduk gelisah, Raven di sampingku sama sekali tidak bersuara.
Akhirnya karena sudah tidak tahan duduk mematung dan gelisah di samping Raven, aku berdiri dan berjalan untuk kembali ke kamar. Saat aku melewatinya, Raven menarik tanganku.
"Sudah puas merajuknya?" tanya Raven sambil menatap mataku dengan mata cokelatnya yang dingin dan menusuk.
Dadaku berdebar. Aku terpakudalam gelisah.
"Aku tidak merajuk," balasku ketus. Ya sebenarnya hanya pura-pura ketus. Saat ini jantungku berdegup sangatkencang seakan mau meledak.
"Jika tidak merajuk, mengapa tidak pulang semingguan?" tanya Raven sambil terus menatap bola matakudalam-dalam.
Raven itu bodoh atau idiot? Tidak mungkin aku pulang sendiri, tentu sajagengsi. Di mana-mana bila istri pulang ke rumah orangtuanya karena sedang marah sama suami, suamilah yang harus datang membujuk dan menjemputnya pulang, bukan istri pulang sendiri dengan muka tembok.
"Malam ini ikut aku pulang," kata Raven dingin.
Aku menatap Raven sejenak. Kemudian menarik tanganku dari pegangan Raven dan berlalu dari hadapannya.
Bujukan Raven sama sekali tidak romantis.
***
Walau tidak romantis, akhirnya aku disini, di kamar kondominium kami. Aku terpaksa mengikuti Raven pulangkarena Mami terus-menerusmendesakku dengan lirikan penuh arti.
Selain itu, aku juga sudah tidak tahan lebih lama lagi berjauhan dengannya. Meski kesal, tapisejujurnya aku rindu. Inikah yang namanya benci tapi rindu? Sebenarnya kekesalanku padanya belum masuk taraf benci.
"Ini terakhir kali kamu pulang ke rumah orangtuamu karena kita bertengkar. Aku malu pada orangtuamu!"
Suara Raven bergema ke seluruh ruangan begitu kakiku menginjak lantai kamar kondominium.
Aku mendengus kesal. Tanpa menanggapi kalimat
nya, aku bergerak ke lemari pakaian, ingin segera berganti pakaian, lalu tidur.
"Flozia!"
"Kalau tahu kamu mengajakku pulang hanya untuk bertengkar, lebih baik aku tetap di rumah orangtuaku," kataku kesal tanpa menoleh.
"Aku tidak mengajakmu bertengkar, aku hanya memberitahumu," kata Raven kesal.
Aku berbalik untuk menatap Raven. "Baik, kalau kamu tidak mau aku pulang ke rumah orangtuaku bila kita bertengkar, aku ada syarat," kataku sambil melepas kaos press bodyyang sedang kupakai. Sekilas aku bisa melihat mata Raven nanar menatapku.
"Apa syaratmu?" tanya Raven dengan mata yang tak berkedip menatapku.
Aku melepas celana jeans pensil yang kukenakan. Berusaha tidak peduli pada tatapan Raven yang seolah siap untuk menerkamku. Seminggu tidak berhubungan tentu membuat hasrat Raven membara, bukan? Tentu saja dalam arti selama seminggu ini Raven tidak menyentuh wanita lain.
"Mulai hari ini tidak ada lagi wanita lain, tidak ada lagi jalan di malam hari ke mana pun selain bersamaku," kataku tanpa menoleh.
Raven terdiam.
Aku tersenyum sinis. Raven tidak mungkin bisa memenuhi permintaanku. Dia mana mungkin mau berpisah dengan wanita-wanitanya.
"Baik, tapi aku juga ada syarat," kata Raven tenang.
Aku yang sedang akan mengenakan celana tidur berbahan tipis yang paling kusukai menghentikan gerakanku. Syarat? Bukannya tadi aku yang memberinya syarat karena permintaannya, tapi kenapa dia juga memberi syarat?
"Aku ingin kamu jadi istri yang baik dan penurut."
Seketika tubuhku kaku. Istri yang baik? Apa selama ini aku tidak cukup baik? Kalau penurut aku memang jarang mau menurut pada Raven.
"Baik dan penurut yang seperti apa?" tanyaku sambil kembali melanjutkan aktivitasku mengenakan pakaian.
Kenapa jadi aku yang mendapat syarat darinya? Harusnya Raven yang memenuhi syaratku, bukan seri seperti ini.
"Layani aku dengan baik. Belajar memasak dan urusi semua kebutuhanku," kata Raven.
Tiba-tiba sebuah tangan yang kukuh memeluk tubuhku. Wajahku seketika memanas saat Raven menggesekkan pipinya yang kasar olehbulu-bulu yang baru tumbuh, ke pipi halusku.
"Raven... kamu tahu sendiri aku tidak bisa memasak," kataku sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Raven. Permintaan Raven terlalu berat untuk kupenuhi.
"Justru itu aku menyuruhmu belajar, Sayang," bisik Raven lembut di telingaku.
Aku merinding mendengar suara Raven yang sangat lembut menggoda.Sepertinya ketegangan di antara kami yang telah berlangsung seminggu ini, menguap begitu saja.
"Bagaimana?" bisik Raven. Kali iniia menjilat dan menggelitik telingaku,membuat darahku berdesir ke seluruh tubuh. Aku menggelinjang.
"Raven... lepaskan," pintaku tanpa menjawab pertanyaan Raven.
"Jawab dulu..." kata Raven makin liar mencumbuku. Kali ini ia sudah mengecup leher jenjangku yang putih mulus.
"Baiklah," jawabku supaya Raven segera melepaskan pelukkannya. "Sekarang, lepaskan aku," kataku sambil berusaha melepaskan diri. Tidak ada nada ketus atau apa pun dalam suaraku. Aku hanya ingin segera melepaskan diri dari Raven karena aku mulai terangsang oleh cumbuannya.
Tapi Raven mengingkari janjinya. Dia tidak melepaskanku setelah aku mengiyakan syaratnya. Raven justru membopong, lalu mengempaskan tubuhku ke atas ranjang. Baju tidur yang baru saja kukenakan, dalam sekedip mata sudah berserakan ke mana-mana.
Tidak terasa lagi dinginnya ruangan ber-AC yang menerpa kulitku. Yang kurasa hanyalah panas membara di sekujur tubuh oleh cumbuan Raven.
Dan seperti tidak pernah bosan, Raven kembaIi mengajakku meraih kenikmatan bercinta.
***
Evathink
IG : evathink
KAMU SEDANG MEMBACA
The Forced Marriage
RomanceFlozia dan Raven menikah karena dijodohkan oleh orangtua mereka. Flozia dengan berat hati menerima Raven. Demikian juga dengan Raven. Namun rupanya cupid sudah beraksi. Keduanya tidak sadar, seiring berjalannya waktu, panah cupid telah menancap inda...