PLAK!Satu tamparan jadi sapaan hangat pipi kanan Pelangi sepulang sekolahnya. Baru saja melangkah masuk di ruang tamu, Chiko menghardik Pelangi dengan tatapan nyalangnya. Sedikitpun Pelangi tidak berani menatap atau bahkan melirik Papa yang tengah berusaha mengulitinya melalui tatapan tersebut.
Sedang Sabrina yang berada tak jauh dari pelangi buru-buru mendekati putrinya, memeluk erat serta memekik murka. "PAPA!" Tangannya tak tinggal diam untuk mengusap bahu anaknya yang kian gemetar ketakutan.
"Bagaimana bisa sampai tidak masuk lima besar?!" Pelangi tak dapat mendeskripsikan apa yang sebenarnya papanya katakan-tanya atau mengintimidasi-yang paling ia pahami adalah, saat ini beliau marah. "Bahkan nilaimu tidak lebih bagus dari bocah yang seharusnya berada di bawahmu. Mana yang kamu katakan belajar? Ini, hah?! Mana bentuk balas budimu sebagai anak terhadap orang tua? Yang kuminta hanya, jadilah berguna, dengan nilai yang sepantasnya! Bukan seperti ini! Katakan, apa yang membuatmu begini?!"
Pelangi terdiam, ia tidak menyangka jika Papa akan semarah ini ketika dirinya tak berhasil memenuhi kemauannya. Berkata kasar, bahkan menamparnya. Hatinya hancur, bahkan Pelangi tidak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai anak yang tidak berguna. Tapi tunggu, Pelangi berpikir keras akan hal ini. Bagaimana Papa bisa tahu jika dirinya tidak masuk lima besar, sedangkan selepas ujuan tes, semua murid langsung kembali ke kelas? Bahkan aku saja tidak tahu soal ini.
"JAWAB!" bentakan Sang Papa berhasil membangunkan ia dari lamunan. Pelangi menundukkan kepalanya. "Kepala Pelangi pusing, Pa," jawab Pelangi, takut.
Chiko mendesis, "Pusing?" Ia menjeda ucapannya, bersidekap lantas bertanya menyepelekan. "Alasan macam apa itu? Seharusnya kamu tahu kalau olimpiade ini salah satu syarat buat kamu supaya bisa dapat beasiswa kuliah di luar negeri," papar Chiko kesal. Jelas sekali dalam raut wajahnya pria dewasa itu tengah kecewa, begitu kecewa hingga marah mengepung. Pelangi tahu itu, oleh karenanya ia lampiaskan seluruh murka teramat kelewatan. Namun, tidakkah beliau paham jika saat ini posisi Pelangi juga ingin dimengerti. Perihal marah, Pelangi juga ingin, ia benar-benar ingin marah; tapi bagaimana caranya?
Satu-satunya hal yang bisa Pelangi rasakan dari 'marah' itu adalah sakit. Atau sakit yang disebabkan oleh ketakutan sebab tak dapat ekspresikan marah, ia sakit.
"Papa, Pelangi lagi sakit." Sabrina mengusap bahu Pelangi. Mungkin Sabrina bisa menaruh perhatian lebih kepada Pelangi, namun Sabrina tetap saja tidak bisa membantah perintah suaminya, karena pada dasarnya Chiko tidak suka jika dirinya tidak didengarkan apalagi permintaannya tidak dituruti.
"DIAM KAMU, MASUK KAMAR!" perintah Chiko. Suaranya lebih nyaring dari yang sebelumnya. Berhasil membungkam Sabrina, namun enggan beranjak sebab takut jika suaminya kembali memukul putri semata wayangnya.
"Kamu dengar apa yang saya perintahkan barusan?" tanya Chiko kepada Sabrina. Dengan terpaksa, Sabrina meninggalkan Pelangi bersama Chiko yang kalut dalam emosinya.
"Kamu-"
"Pa, aku bisa cari beasiswa lain," potong Pelangi, berharap ucapan barusan dapat melunakkan perasaan Chiko.
Chiko menggelengkan kepalanya setengah tertawa meremehkan; tidak percaya. "Dengar ya! Apa kamu pikir, dengan kamu keluar dari SMA Admijaya bisa buat kamu tenang dengan kasus kamu?" Chiko menatap kedua mata Pelangi dengan tajam. "Satu Indonesia juga tahu! Kalau SMA Admijaya itu pusat beasiswa kuliah di luar negeri!" Chiko kembali berujar dengan nada yang kian lantang. "SMA ADMIJAYA ITU SATU-SATUNYA SEKOLAH YANG SIAP BERI BEASISWA BESAR!"
KAMU SEDANG MEMBACA
PELANGI
Teen Fictionkisah klasik yang akan kalian nikmati dari awal hingga akhir✨ "Jika awalnya kamu hanya sandiwara, tapi kenapa kamu tidak ingin mengakhiri?" -🌈