Kaleh

1.7K 135 6
                                    

Aku terbangun dengan keadaan yang masih sama namun sedikit lebih baik, ku lihat tanganku tertancap jarum infus, pasti papi Indra yang melakukannya aku hanya ingat jika telah menghubunginya semalam setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi, ku edarkan pandanganku keseluruh kamar yang aku tempati aku melihat Yohanes tertidur di sofa dengan mulut yang menganga, lalu disamping ku ada Jessie masih sama gadis keturunan Korea-Amerika itu tetap terlihat cantik meski sedang tidur, ku kecup sekilas keningnya lalu aku beranjak turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi dengan sedikit memaksakan diri.

Setelah selesai dengan urusan kamar mandi aku segera keluar, ku lihat Yohanes dan Jessie telah bangun dari alam tidurnya.

"Pagi," sapa ku lemah.

"Kenapa sudah bangun, tidurlah lagi," suruh Jessie dengan khawatir.

"Tidak usah sekolah dulu," pinta Yohanes.

"Setidaknya bawa aku keluar dari sini," balas ku dengan nada memohon.

Yohanes dan Jessie mendesah bersamaan namun tak bisa menolak permintaanku, mereka sangat tahu jika aku tak akan mau jika harus tinggal di neraka ini dengan tempo yang lama.

"Ke apartemen saja ya ?" tawar Jessie.

"Hhhmm," itulah jawabanku untuk meng-iyakan tawaran Jessie.

"Yang, kamu mandilah dulu," suruh Yohanes pada Jessie.

"Oke," balas Jessie.

Jika kalian mengira kalau kedua sahabatku itu berpacaran memang iya, mereka berpacaran sejak masih kelas 1 SMA dan sekarang kita semua duduk dikelas 2 SMA, dua sahabat yang aku kenal sejak lama Yohanes lebih mengenal siapa aku karena dia satu-satunya cowok yang menjadi sahabatku sejak kecil dan kita selalu disekolah yang sama, itu permintaan Om Indra karena dia mau Yohanes menjagaku seperti saudaranya sendiri sedangkan Jessie aku dan Yohanes mengenalnya sejak kita duduk dikelas satu SMP dia murid pindahan dari Korea, terpaksa pindah karena bisnis appa nya yang harus memaksanya pindah dari negara kelahirannya.

Oh iya, namaku Daniela Reysa Pradipta, jika kalian dari awal mengira aku cowok itu salah besar, aku cewek tulen yang memiliki visual seperti cowok mungkin dari namaku sudah keliatan, seperti yang kalian tahu aku tinggal dengan orang yang aku sebut papa dan ibu tiri, Heni Wijaya, juga yah kakak tiriku, Rasya Putri Anggara Mahardika, yang hanya beda satu tahun dari ku namun kami berada disekolah dengan tingkat yang sama, aku, Yohanes dan Jessie pernah ikut kelas akselerasi. Mamaku sudah meninggal sejak melahirkanku karena sakit jantung yang dideritanya itulah yang aku ketahui dari Om Indra, tapi sepertinya kelahiranku tak pernah diharapkan oleh papaku, dia sangat membenciku, ketika aku bertanya pada Om Indra beliau enggan menjawabnya dengan alasan nanti aku akan mengetahuinya sendiri, diumurku yang ketiga papaku membawa seorang wanita dan anak kecil dirumah yang aku tempati dari situ aku tahu bahwa papaku telah menikah lagi bahkan sebelum aku lahir papa sudah menikah lagi dan memiliki seorang anak, jika dikatakan pengkhiatan bisa saja seperti itu, papa menikah dengan mamaku karena perjodohan bisnis orang tuanya sedangkan papa memiliki wanita lain yang dicintainya namun tak mendapatkan restu karena wanita yang menjadi ibu tiriku sekarang lahir dari keluarga sederhana, saat papaku menikah dengan mamaku dari situ papa tahu jika kekasihnya hamil 2 bulan diam-diam papa menikahi gadis pujaannya dibelakang mamaku.

Sejak kedatangan dua orang asing itu hidupku berubah, gadis kecil itu meminta kamar yang aku tempati karena lebih luas dan designya yang menurutnya bagus, papa memaksaku pindah di kamar sebelah aku tidak mau aku berontak tapi papa malah memukuli ku dan akhirnya aku mengalah, papa yang memang tidak perduli dengan kehadiranku semakin tidak perduli lagi dan sangat kasar padaku hal kecil saja dia selalu memukuli ku, pernah suatu ketika papa membelikan mainan untuk Rasya dan aku yang tidak pernah dibelikan mainan apapun mulai berulah, aku merebut mainan itu hingga Rasya menangis papa yang mengetahui itu menghajarku dan mengurungku di gudang bawah tanah yang gelap dan pengap disaat itu umurku menginjak angka 4, lalu aku pernah tidak sengaja terpeleset di pinggir kolam renang dan menyenggol tubuh Rasya hingga terjatuh didalam kolam dan hampir tenggelam papa menghajarku menjatuhkan tubuhku yang kecil ke dalam kolam lalu diangkatnya dan dikurung di gudang bawah tanah dengan keadaan yang baju yang basah dan keesokan harinya ibu tiriku memaksa membuka kunci gudang menemukanku dalam keadaan yang tidak sadarkan diri. Papa selalu membedakanku, dia sangat menyayangi Rasya menggendongnya, bermain bersamanya, membuat rasa iri dan benci yang sangat besar terhadap Rasya, meski dia selalu mengajak ku bermain tapi aku selalu menolaknya karena setiap berdekatan dengannya aku akan terkena pukulan-pukulan yang menyakitkan dari papa, aku menjaga jarak meski itu semua tak pernah menyelamatkan aku dari amukan papa dan papa tak pernah mengijinkan aku makan dimeja bersama mereka, aku makan dibelakang bersama Bi Minah dan Mang Hari, pembantu dan sopir keluarga ini, Bi Minah sudah aku anggap seperti ibu kandungku sendiri karena dialah yang mengurusku sejak lahir dan dialah yang bersedia mengambilkan raporku hingga semuanya menganggap aku anak pembantu yang beruntung diberi pendidikan oleh majikannya, karena mereka tidak tahu Daniela Reysa P. adalah cucu dan pewaris tunggal Pradipta Group perusahaan milik kakekku, aku tidak pernah menggunakan nama Pradipta dimanapun aku berada dan tak ada seorang pun yang tahu kecuali kedua sahabatku bahwa aku adalah anak kandung dari Anggara Mahardika, tak seorang pun dan Anggara Mahardika tak pernah mengakui jika aku adalah anaknya.

Plaaaakkk!!!

Satu pukulan dikepalaku membuyarkan lamunanku, aku meringis dan menoleh pada pelaku yang tak lain adalah Yohanes.

"Lu ya, kesambet tahu rasa pagi-pagi sudah melamun, dipanggil tidak...,"

Yohanes tak melanjutkan omelannya karena kupingnya sudah ditarik kasar oleh Jessie.

"Aaahkk, sakit haduh, ampun," rengek Yohanes.

"Dia sakit loh Yang, kamu seenaknya memukulnya," omel Jessie gemas.

"Rasain," ledek ku.

"Ini semua gara-gara elu ya," kesalnya sambil mengusap telinga yang memerah karena dipelintir oleh Jessie.

"Sudahlah, ayo kita pergi, aku harus rapat dengan petinggi yayasan," tegur Jessie sambil mengambil tas yang ada dimeja belajarku.

Jessie anak dari Om Andrew Smith pemilik sekolah dimana kita menuntut ilmu dan sekolah itu diserahkan pada Jessie, kata Om Andrew agar Jessie belajar memimpin sejak dini, dipersiapkan sejak dini agar nantinya Jessie bisa memimpin perusahaan yang akan diwariskan padanya kelak. Kalau aku belum mau terjun langsung pada dunia bisnis cukup satu orang kepercayaan ku yang aku tugaskan memimpin perusahaan milik mendiang kakek, tapi jika ada sesuatu yang membutuhkan ku mengenai perusahaan aku mau tidak mau turun tangan langsung.

Kami bertiga keluar dari kamar dan turun ke lantai satu yang langsunh disuguhkan dengan pemandangan meja makan yang terisi hidangan pagi juga tiga orang yang menempati tempat duduknya masing-masing.

"Sarapan dulu nak," suara mama tiri ku mengajak kami sarapan.

Aku hanya melihatnya sekilas tanpa ekspresi, lalu aku melihat papa yang tak bergeming dari kesibukannya membaca koran pagi.

"Bukankah kamu masih sakit Dan, makanlah lalu istirahat jangan pergi-pergi dulu," nasehat mama tiriku yang aku abaikan.

"Maaf tante, bukan kami menolak, tapi saya harus segera ke sekolah karena ada rapat yayasan," tolak Jessie halus.

Aku melihat papa yang menoleh menatap Jessie lalu meletakan korannya.

"Oh ada Jessie, Om tak melihat kedatanganmu, bagaimana kabar papa dan mamamu ?" Sapa papa ramah namun tak berpindah dari duduknya.

"Baik kok Om, saya semalam datang nya Om mungkin sudah istirahat," balas Jessie sok ramah padahal dia juga sangat benci dengan papaku.

"Nak ayo sarapan dulu, kamu masih sakit...,"

Mama tiriku mencoba menyentuh lenganku namun segera aku tepis dan pasti membuat murka laki-laki yang sedang duduk dengan tenang itu.

"Dasar kurang ajar!" Bentaknya ketika dia mau berdiri untuk menghampiriku namun ditahan oleh mama tiriku.

"Hanes, Jessie, ayo," ajak ku pada kedua sahabatku untuk segera pergi dari neraka ini tak perduli dengan makian yang keluar dari mulut laki-laki itu.

Sekilas aku melirik Rasya yang sedari tadi tak mengalihkan pandangannya terhadapku, ada gurat khawatir dan kecewa dari sorot matanya, namun aku tidak perduli tentangnya.

To be continue...

Saranghae,

Nio❤️

Benci Dan Cinta (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang