Aku mengetahui setiap langkahku
Aku selalu yakin
Namun, semuanya berbeda kini
Hitam pekat tertutup
Aku tidak dapat melihatnya
Aku membutuhkan sebuah cahaya••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
Hujan rintik pagi hari ini, kututup mataku sejenak menikmati dinginnya udara dan menenggelamkan diriku bersama bau hujan, aku menyukainya.
"Ayolah Naya, kau ingin terlambat di hari pertamamu sekolah?"
Raya, gadis manis dengan rambutnya yang panjang dan lurus berwarna hitam tanpa poni, kulit berwarna sawo matang. Tubuhnya sempurna, tidak kecil dan tidak besar. Ia berteriak dari kejauhan didalam mobil dengan cendela yang terbuka yang terparkir tepat didepan rumahku.
Benar sekali, ini adalah hari pertamaku bersekolah di SMA. Aku segera mengambil ranselku diatas kursi dan berlari secepat mungkin menghindari terpaan rintik hujan, beberapa genangan air kulalui dengan lompatan lincahku. Namun naas, tetap saja rok-ku terkena cipratannya.
"Oh, maafkan aku Raya, maafkan aku paman Tix," ujarku pada Raya dan ayahnya. Raya membukakan pintu mobil dan dengan segera aku masuk.
"Iya, karena kau, kita terlambat lima menit lebih untuk ke sekolah," jawab Raya sambil melipatkan tangannya. Aku menjulurkan lidah pada Raya, aku tau dia hanya bergurau. Bagaimana tidak, dia adalah sahabatku dari kecil dan rumah kami hanya dibatasi oleh tembok saja. Jadi, tentu saja aku sangat mengenalnya.
Kututup pintu mobil, dengan sigap paman Tix menghidupkan mobilnya dan melesat masuk dalam jalanan.
Disepanjang jalan kami terus bergurau dan bercerita tanpa canggung. Keluarga kami telah begitu dekat hingga aku sendiri menganggap mereka keluargaku dan ya, mereka adalah keluargaku kini hingga nanti. Aku dapat menikmatinya dengan baik. Sesekali aku tersenyum dan tertawa menanggapi pernyataan mereka.
Sebentar lagi kami akan sampai di sekolah, banyak para siswa tahun ajaran baru berlarian masuk kedalam bangunan sekolah, sebagian berjalan santai dibawah payung yang mereka bawa, sebagian memakai jas hujan, dan sebagian baru saja turun dari kendaraan yang mereka tumpangi.
Seorang anak laki-laki berkulit putih bersih, berambut hitam, berjalan masuk tanpa menggunakan alat pelindung dari hujan, dia hanya menggunakan almamater sekolah kami dengan warna cokelat birdseed.
"Tidak asing," gumanku. Kurasa aku pernah bertemu dengannya, tapi lupakan saja. Jari kiriku yang menempel di kaca mobil kugerakan searah dengan anak laki-laki itu berjalan, berharap bahwa aku dapat melindunginya dari hujan. Namun apakah mungkin? Ini adalah kehidupan nyata bukan dunia sihir atau semacamnya. Ah, aku terlalu banyak menonton film fantasi sepertinya.
Anak laki-laki itu menghentikan langkahnya, dia menatap kelangit dan tampak kebingungan. Sebuah tudung transparan terlihat diatanya, melindungi anak itu seperti payung. "Hah!" Aku terkejut. Apa yang kulakukan? Apakah itu perbuatanku? Mustahil!
Raya menepuk pundakku dan bertenya, "ada apa?" Reflek aku terkejut dan segera menjawabnya, "t-tidak, tidak." Raya mengernyit tak paham, "ayo masuk. Air hujan membuatmu menjadi orang gila ya?" Raya terkekeh dan mengambil sebuah payung, kami berjalan keluar setelah berpamitan dengan paman Tix.
Aku dan Raya telah beranjak, kami telah berada di koridor sekolah. Tampak para siswa sedang membersihkan dan mengeringkan tubuhnya dari air hujan. Raya pun juga melakukan itu, sedangkan aku hanya berdiri terdiam menunggu Raya, sambil memikirkan apa yang aku lakukan pada anak laki-laki itu. Pertama, benarkah tudung itu adalah kekuatan yang aku keluarkan? Kedua, mengapa aku dapat melakukannya? Ketiga, aku seperti mengenali anak itu, tapi entah kapan dan dimana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare [ END ]
Fantasy[ Fantasy ] Banyak hal ganjil yang terjadi saat kita terlelap. Salah satunya mimpi, bunga tidur kadang dapat membawa dampak yang luar biasa bagi segelintir orang. Takdir ini mengharuskanku melawan mimpi burukku. Karena itulah jalan satu-satunya ag...