14

44 12 1
                                    

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Udara semakin dingin, rerumputan mengembun sempurna. Beberapa jam lagi semua akan dimulai. Semuanya untuk Anthropus dan Neraides

"Dan untuk Teris Filous, terutama kau." Voi berjalan dari dalam aula menuju anak tangga dipintu keluar aula. Aku duduk sendirian sebelum Voi juga ikut duduk disampingku.

"Hal utama yang mereka inginkan adalah kau dan Onerio Kyklo. Kalian tidak dapat dipisahkan, dia hanya mengikuti kata-kata perawis Onerio Kyklo," lanjut Voi.

"Apa saja yang Yaya katakan?"

"Seperti yang telah kusampaikan."

"Bukan, apakah kita akan menang?"

"Semua tergantung diri kita sendiri, bukan pada sebuah pengelihatan tentang masadepan seorang future reader atau sebuah ramalan . Pikirkan, jika kita telah mengetahui takdir kita, apa kita akan bekerja keras? Kurasa tidak."

Aku mengerti, apa yang dikatakan oleh Voi benar. Jika kita tau kelak kita akan jadi apa, kita pasti tidak akan memiliki target yang harus dicapai atau mungkin kita memiliki target namun bertele-tele saat melaksanakannya.

"Aku merasa ada sesuatu yang aneh. Aku merasa sangat aneh, aku merasa Diavolos tidak akan ketempat ini. Entahlah." Aku menatap kerikil-kerikil ditanah.

"Mungkin itu benar. Tapi kita harus tetap waspada, mereka dia memiliki banyak pengikut. Kau harus segera beristirahat." Voi beranjak berdiri dan membuka pintu aula, ia beranjak masuk. Aku segera mengikutinya. Aku harus memiliki tenaga.

Aku masuk, semua telah terlelap. Masih ada tempat kosong ditikar Raya dan sebuah selimut, aku segera duduk ditikar itu. Raya meringkuk kedinginan. Aku menarik selimutnya, menutup tubuhnya sampai leher. Untunglah, Frouro kemari membawa perlengkapan yang kami butuhkan.

Selimut telah menutupi seluruh tubuhku. Mataku menatap lurus kelangit-langit aula dan mulai terlelap setelah aku menguap.

•••

Aku terbangun dari tidurku. Aku menatap ruangan dimana aku tidur. Setiap sudut, setiap benda, aku mengenalinya. Terutama dijendela, sebuah dreamcatcher tergantung disana. Hei, dan ada Lyra duduk dijendela, tangannya memutar-mutar dreamcatcher itu.

Ia menyadari kehadiranku, ia segera berlari dan memelukku. Aku bersimpuh dan memeluknya erat.

"Aku merindukanmu," ujarku.

Gadis kecil itu melepaskan pelukannya, ia berlari keluar. Ia membuka pintu itu dan melambaikan tangan padaku. "Ayo, kakak."

Aku tersenyum, mengusap air mataku. Aku segera berlari mengikutinya.

Ia telah berlari lebih dahulu. Saat aku telah berada diluar kamarku, ia tidak ada. Aku menengok kemapun, ia tetap tidak ada. 

Lyra berteriak didalam kamarnya. Itu berada disamping kanan kamarku. Aku segera berlari secepat mungkin untuk melihatnya. 

Aku berdiri didepan pintu. Awan mendung membuat kamar itu sangat gelap. Tanganku hendak meraih sakelar, tapi sesuatu menghalangiku. Ada sebuah pembatas transparan didepanku, aku dapat menyentuhnya. Tangan kananku mengepal dan memukulkannya kepembatas itu. 

"Lyra!" Tidak ada jawaban sama sekali. 

"Gennaia! Gennaia!"

Nightmare [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang