6

86 20 8
                                    


•••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Aku berjalan dijalanan, tepatnya di area perumahan Ayah dan Ibu angkatku—Perumahan Parahyangan. Jalanan yang kulewati sangat sunyi, hanya ada suara makhluk malam dan suara beberapa lampu yang konslet—Mati kemudian hidup lagi dan terus berulang.

Dinginnya udara tengah malam menusuk kedalam kulitku, kupeluk lenganku dan kugosokkan naik turun agar hangat. Lampu-lampu jalan secara tiba-tiba bergetar, secara urut dari arahku semua lampu mulai mati. Aku menatap sekitar dan berjaga-jaga. 

Pandanganku gelap, tidak ada pencahayaan yang layak. Semua menjadi sunyi kembali sampai aku dapat mendengarakan detak jantungku yang berdegup keras karena takut. 

Sesuatu mulai mendekatiku, angin kecil melewatiku. Sebelum aku dapat menarik nafasku dengan baik teriakan anak-anak bergerma diseluruh perumahan. Teriakan menyakitkan itu menyebabkan semua penerangan mati dan semua kaca yang ada pecah seketika. Reflek kututup telilngaku, sangat sakit mendengarkannya. Mereka berteriak seperti kerasukan roh. 

Pandanganku mengarah kesebuah rumah, lampu rumah itu masih menyala. Aku segera berlari menedekat dan masuk, itu rumahku. Aku mendengarkan seorang gadis berteriak ketakutan. Aku mendapatinya, gadis itu adalah Lyra adikku. 

Belum sempat kupeluk tubuh kecilnya seseosok hitam dengan asap disekelilingnya menutup tubuh Lyra. Sepasang mata kuning sosok itu menatapku, gigi-giginya yang runcing ia tunjukan. Lyra terus berteriak dari dalam asap itu. Sesuatu yang aneh terjadi padaku, aku tidak dapat menggunakan kekuatanku dan tidak dapat berbicara. 

Sesosok itu mengulurkan tangannya seperti meminta sesuatau. Aku tidak tau apa yang dia inginkan. Dia menunjuk kalungku. Kalung itu melayang-layang dileherku. Aku menariknya kembali dan memasukkannya. 

Sosok itu sangat marah. Asapnya terus membesar membentuk sebuah jarum, ia menampakan kepala Lyra. Sosok itu tertawa keras, lampu-lampu mulai rusak dan mati. Jarum yang ia buat diarahkan tepat keatas kelapa Lyra. Aku berusaha berteriak dan mencoba melawannya. Sebuah pembatas transparan menyekapku, aku tidak dapat meraih adikku. 

Telak, jarum itu menusuk tepat dikepala Lyra. Ia berteriak hebat karena kesakitan, darahnya mengucur deras hingga mengenaiku. Aku berteriak tanpa suara, airmatku mengalir deras menyaksikannya. Tubuhku melemah, aku segera duduk meringkuk menangisi kematian adikku. Aku sangat kecewa tidak dapat menyelamatkannya. 

Semua menjadi gelap. 

"Lyra!"

Aku mengerjapkan mata dan segera duduk. Peluh memenuhi tubuhku. Itu sebuah mimpi. Dengan nafas yang masih terengah-engah aku mengamati sekitar. Aku masih berada dirumah, tepatnya dikamarku yang disediakan orang tua kandungku. 

Aku menatap sisi kanan ruangan, Kenaz terbaring lemah diranjang yang kuyakini disediakan oleh Mona. Ia sekarat. 

Dengan kekuatan tubuh yang minim, kucoba untuk bangun. Sedikit pusing dan beberapa saat pengelihatanku memburuk ketika aku berdiri. Berangasur-angsur mulai membaik. Dengan langkah yang masih lemah aku mendekati Kenaz.

Lututku mendarat dilantai didekat tempat Kenaz berbaring. Tanganku mencoba menyentuh pundaknya dan turun diarea lukanya. Pipiku yang masih sembab kembali terbanjiri air yang sama seperti sebelumnya. 

Nightmare [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang